Sambungan artikel PERTAMA
Maka dari itu di dalam forum ini terdapat pula usulan agar universitas Islam untuk sementara ini mengadopsi standar European Union dan Bologna Process. Tentu untuk Negara-negara Islam perlu penyesuaian disana-sini sesuai dengan kultur masing-masing.
Selain itu, untuk program credit transfer and mobility kendala yang akan dihadapi adalah bahasa. Perbedaan bahasa dalam medium pengajaran akan menyulitkan para mahasiswa.
Tapi ini dianggap suatu pengayaan bagi mahasiswa dan bukan halangan. Mungkin untuk joint research kesamaan bahasa sangat diperlukan.
Diantara kesimpulan forum ini yang terpentingnya adalah; Pertama, dunia Islam perlu membuat jaringan internasional (international network) dalam pengembangan perguruan tinggi. Kedua, dunia Islam perlu bekerjasama agar dapat membuat kreasi-kreasi ilmiah. Ketiga, dunia Islam harus mempunyai suatu badan tersendiri untukquality assurance yang diakui secara internasional dengan guideline dan frameworkyang jelas.
Dari pembahasan forum ini nampaknya belum dipersoalkan bagaimana umat Islam dapat mempunyai sendiri standar jurnal terindeks Scopus.
Inti dari pembahasan dalam Forum Rektor ini adalah membangun kesadaran bersama bahwa umat Islam harus bersatu dan bekerjasama dalam bidang sains dan teknologi. Yang dapat melakukan ini tidak lain adalah universitas di Negara-negara Islam.
Di sini sejatinya tempat dimana umat Islam bisa merajut Ukhuwwah Islamiyah melalui program-program akademik di universitas, sehingga apa yang dihasilkan umat Islam dapat memberi manfaat untuk umat Islam di seluruh Negara Islam, bahkan untuk umat yang lain pula. Hal ini sudah terjadi dalam sejarah Islam dan harus bisa diulang kembali dimasa kini.
Kerjasama-kerjasama
Dalam acara ini dari Indonesia hadir Prof.Dr.Muhammad Nuh, mewakili rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Prof.Dr.Yazidi, Rektor Universitas Nahdatul Ulama Surabaya. Prof. Dr. Amal Fathullah Zarkasyi, Rektor Universitas Darussalam dan wakilnya Dr.Hamid Fahmy Zarkasyi. Tidak ketinggalan Prof.Dr. Basyaruddin dari BAN PT.
Dalam kesempatan ini beberapa universitas mananda tangani Memorandum of Understanding (MoU) dan Memorandum of Agreement (MoA).
Tidak ketinggalan Universitas Darussalam Gontor menanda tangani MoU dan MoA dengan Universitas Marmara Istanbul (almater Presiden Erdogan), Universitas Erbakan Konya, Turki; International University of Kyrgyzstan di Rusia; Istanbul Zaim University dan The Istanbul Foundation for Science and Culture yang dikenal dengan Yayasan Nursi.
Kerjasama ini akan mencakup bidang-bidang yang luas. Diantara adalah riset bersama (joint research), pertukaran mahasiswa (student mobility), pertukaran staff pengajar dan administrasi (joint lecturer and staff), sabbatical leave dan lain sebagainya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Apa yang bisa dipetik dari forum ini adalah bahwa ternyata kualitas universitas-universitas di Indonesia masih belum bisa bersaing dengan universitas dinegara Islam yang lain apalagi universitas di dunia.
Kualitas universitas di Indonesia perlu terus ditingkatkan, lebih-lebih universitas-universitas Islam swastanya. Kualitas tata kelolanya, kualitas dosen dan mahasiswanya, kualitas hasil-hasil penelitiannya, kuantitas dan kualitas produk sains dan teknologi yang dihasilkan haruslah berlevel internasional.
Jika kita introspeksi diri secara jujur, maka obsesi beberapa tokoh cendekiawan Muslim dan juga pejabat pemerintah untuk menjadikan Indonesia pusat studi Islam masih memerlukan perjalanan panjang. Rencana membangun Universitas Islam Internasional memerlukan konsep matang yang melibatkan semua unsur dan pakar. Tidak dimonopoli oleh sekelompok orang saja.
Pelaksanaannya pun harus dilakukan secara professional tanpa berfikir kepentingan golongan, kelompok, apalagi partai politik. Pendidikan harus dipisahkan dari politik.*
Penulis adalah Wakil Rektor Universitas Darussalam (UNIDA)