Sambungan artikel PERTAMA
Pelajaran yang disampaikan oleh dai Wali Songo juga mencerminkan pemikiran akidah Sunni Asy’ari. KH. R. Abdullah bin Nuh mengatakan, kalau naskah wejangan Sunan Bonang dipelajari, maka akan ditemukan nama-nama kitab sebagai sumber pengambilan, antara lain; kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali, Talkhis al-Minhaj karya imam Nawawi,Qutul Qulub karya Abu Thalib al-Makki, Tamhid fi Bayani al-Tauhid karya Abu Syukur As-Salami, serta ajaran para ulama Asya’irah lainnya seperti Imam Daud al-Anthoky, Muhyiddin Ibn Arabi, Ibrahim al-Iraqi, Abdul Qadir al-Jailani dan lain-lain (KH.R. Abdullah bin Nuh,Ringkasan Sejarah Wali Songo, hal. 8). Semua karya dan ulama tersebut dalam akidah menganut madzhab Imam Asy’ari.
Dalam babab Cirebon juga ditulis bahwa Sunan Gunung Jati adalah seorang penganut akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, dalam fikih mengikut Imam Syafi’I (Idrus Alwi al-Masyhur, Membongkar Kebohongan Sejarah dan Silsilah Keturunan Nabi Saw di Indonesia, hal. 163).
Pertumbuhan dan penerimaan madzhab Asy’ari di bumi Nusantara, selain karena dibawa oleh para dai bermadzhab Asy’ari juga dipengaruhi oleh situasi di negeri-negeri Muslim Arab. Lebih khususnya pada saat Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dan Raja-raja Mamalik Mesir mengambil alih kuasa di Mesir, menggantikan dinasti Fatimiyah yang beraliran Syi’ah.
Sebagaimana dimaklumi dalam sejarah, pemerintahan Ayyubiyah maupun kerajaan Mamalik merupakan penganut gigih Aswaja bermadzhab teologi Asyari dan bermadzhab fikih Syafi’i. Setelah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi berkuasa, selain ia mengalahkan Kristen dalam perang salib juga mendirikan tiga buah madrasah tinggi di Kairo dan Iskandariyah untuk menyebarkan faham Ahlussunnah yang bermadzhab Syafii. Termasuk melanjutkan Universitas Al-Azhar Kairo yang diubah ajarannya dengan Aswaja.
Keberhasilan dan kemenangan Shalahuddin al-Ayyubi menjadikannya dikagumi Muslimin penjuru dunia. Hingga berita kemenangan umat Islam dibawah Shalahuddin al-Ayyubi sampai ke bumi Nusantara. Sebagai idola umat Islam, maka ajaran al-Ayyubi banyak dianut beberapa negeri.
Selain itu, muballigh Islam pada kekuasaan Ayyubiyah dan Mamalik Mesir bertebar ke seluruh penjuru dunia, hingga ke Indonesia yaitu dari Pasai di Aceh Utara, Perlak di Aceh Timur, Muar di Malaysia, Aru di Sumatra Timur, Kuntu di Riau, Ulakkan di Pantai Barat Sumatera Barat dan Jepara di Jawa Timur. Seorang Ulama utusan Kerajaan Mamalik bernama Syekh Ismail as-Shiddiq datang ke Kerajaan Pasai untuk mengajarkan teologi Aswaja dan fikih Syafi’iyyah (KH. Sirajuddin Abbas, Sejarah Keagungan Madzhab Syafii hal. 258).
Selain faktor di atas, ada faktor lain yang menjadikan teologi Sunni-Asy’ari menjadi identitas Muslim Nusantara, yaitu karakter keseimbangan antara naqal (teks wahyu) dan aqal.
Dengan naqal sebagai asas dan aqal yang memperkokohkannya. Keseimbangan ini penting dalam membudayakan ilmu dalam masyarakat bumi Nusantara.
Perpaduan seimbang antara naqal dan aqal menjadikan peradaban Islam yang dibangun oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah mampu berkembang pesat sehingga membentuk pusat-pusat peradaban dunia seperti Baghdad (Asia Barat), Cordoba di Andalusia (Eropa), Istanbul di Turki, Kairo di Afriku Utara, Delhi India, Aceh dan Demak di Indonesia, dan Malaka di Malaysia serta melahirkan banyak saintis yang pada waktu yang sama merupakan ulama-ulama yang mumpuni (Khalif Muammar,Kerangka Pemikiran Ahl Al-Sunnah wa al-Jamaah Peranannya dalam Penyatuan Ummah dalam Himpunan Makalah WISE 2016, hal. 90).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Karakter madzhab Asy’ari yang tidak semata-mata berasaskan naqal saja, tetapi dengan aql untuk menghuatkan hujjah melahirkan tradisi ilmu mantiq, falsafah, yang dengan keduanya mempercepat perkembangan ilmu pengetahuan.
Sehingga lahirlah sarjana-sarjana Muslim hebat di bumi Nusantara seperti Nuruddin al-Raniri, Hamzah Fansuri, Abdushomad al-Falimbangi, Raja Ali Haji, Syekh Yasin al-Fadani, Syekh Mahfudz Turmusi, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Yusuf al-Maqassari, dan sarjana-sarjana lain-lain yang bertaraf internasional.
Dengan demikian, maka pemikiran keseimbangan antara naqal dan aqal madzhab Asy’ari ini perlu dijadikan referensi untuk membangun peradaban dan kebudayaan ilmu di bumi Nusantara. Sebagaimana keberhasilan peradaban silam di Timur Tengah. Kejumudan ilmu pengetahuan selayaknya dibangunkan lagi dengan cara membudayakan pemikiran ilmiyah ulama-ulama Asya’irah. Sebab, mereka tidak hanya penolong agama tetapi pembangkit ilmu pengetahuan.*
Pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) dan dosen di INI Dalwa Bangil-Pasuruan