Sambungan artikel PERTAMA
Charles J. Adams, mengungkapkan bahwa hukum Islam merupakan subjek terpenting dalam kajian Islam karena sifatnya yang menyeluruh, meliputi semua bidang hidup dan kehidupan muslim. Berbeda dengan cara mempelajari hukum-hukum lain, studi tentang hukum Islam memerlukan pendekatan khusus, sebab yang termasuk bidang hukum Islam itu bukan hanya apa yang disebut dengan istilah “law” dalam hukum Eropa, tetapi juga termasuk masalah sosial lain di luar wilayah yang dikatakan “law” itu. Lebih spesifik lagi diutarakan oleh Mohammad Daud Ali, bahwa tujuan hukum Islam secara umum sebagaimana sering dirumuskan adalah tercapainya kebahagiaan hidup manusia di dunia dan diakhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat, yaitu sesuatu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial.
Terkait dengan keberlakuan hukum Islam, Ichtijanto mempertegas dan mengeksplisitkan makna receptio a contrario dalam hubungannya dengan hukum nasional. Ia mengartikulasikan hubungan itu dengan sebuah teori hukum yang disebutnya teori eksistensi. Teori eksistensi mengokohkan keberadaan hukum Islam dalam hukum nasional.
Teori ini mengungkapkan, bentuk eksistensi hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional ialah sebagai: pertama, ada (exist) dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional. Kedua, ada (exist) dalam arti dengan kemandiriannya dan kekuatan wibawanya, ia diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional. Ketiga, ada (exist) dalam arti norma hukum Islam berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional. Keempat, ada (exist) dalam arti sebagai bahan utama dan sumber utama hukum nasional. Sifat keadaan hukum Islam dalam teori eksistensi yang terkait dengan teori al-Maqashid Syariah apabila disandingkan dengan teori lingkaran konsentris, pluralisme hukum dan receptio a contrario menemukan tempatnya. Teorisasi-teorisasi yang disampaikan di atas merupakan refleksi atas perkembangan politik hukum di Indonesia terhadap hukum Islam.
Dangka menjembatani antara penerimaan umat Islam atas hukum Islam dan kedaulatan negara yang diwujudkan dalam politik hukum, maka nilai-nilai mashlahat yang terkandung dalam hukum Islam (al-Maqashid Syariah) dilarutkan dalam rumusan peraturan perundang-undangan. Pelarutan ini tidak berarti nilai-nilai hukum Islam kehilangan maknanya. Sesuatu yang dilarutkan tentu tidak lagi terlihat bentuk aslinya, namun demikian dapat dirasakan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal inilah yang mendasari penulis mengedepankan teori solvasisasi (pelarutan) hukum dalam rangka mendukung positivisasi nilai-nilai kemaslahatan hukum Islam dalam proses legislasi nasional.
Dalam pelarutan kedua sistem hukum tersebut (hukum Islam dengan hukum positif), diperlukan suatu konsentrasi yakni perbandingan hukum positif dan hukum Islam (al-Maqashid Syariah). Oleh karena yang akan dipositifkan adalah al-Maqashid Syariah, maka al-Maqashid Syariah disimbolkan sebagai hukum pelarut (solvent), sedangkan hukum positif disimbolkan sebagai hukum terlarut (solute). Dapat juga disebut hukum pelarut sebagai hukum yang mempengaruhi (variabel pengaruh), sedangkan hukum terlarut sebagai hukum yang dipengaruhi (variabel terpengaruh).
Baca: Diskriminasi Penerapan Hukum terhadap Ulama dan Aktivis Islam
Nilai-nilai mashlahat hukum Islam memilik konsentrasi terbesar, karena sebagai hukum pelarut (solvent). Namun demikian, dalam proses pemberlakuannya tetap memerlukan keberlakuan secara yuridis formal, dalam hal ini oleh negara sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan. Di sini terlihat, secara materil kedudukan hukum Islam memiliki konsentrasi terbesar, tetapi secara formil negara juga memegang peranan yang besar dalam proses pembentukannya. Hal ini dapat dimengerti oleh karena negara berkedudukan sebagai pembentuk keberlakuan hukum secara yuridis formal. Interaksi hukum pelarut dengan hukum terlarut inilah merupakan inti dari teori solvasisasi hukum.
Dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan terhadap agama, keturunan, jiwa, akal dan harta, maka keberlakuan teori solvasisasi hukum ini sangat efektif dan berdayaguna dalam upaya menjaga kepentingan agama dan negara. Keberlakuan teori solvasisasi hukum bermanfaat dalam upaya menginternalisasikan teori al-Maqashid Syariyah sebagai wujud dari teori al-Mashlahah al Mursalah dalam perundang-undangan nasional Indonesia. Keberadaan teori solvasisasi hukum mengakomodasi kepentingan agama dan negara. Teori solvasisasi hukum ini sebagai landasan teoretis keberlakuan al-Maqashid Syariah dalam sistem hukum nasional. Terciptanya hubungan koopratif antara al-Maqashid Syariah dengan hukum positif adalah manifestasi relasi negara dan agama dalam paradigma negara simbiotik.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Keberlakuan teori solvasisasi hukum, mempunyai dasar legitimasi yang kokoh yakni mengacu kepada Pembukaan UUD 1945, alinea 3 dan alinea 4 serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), yakni pengakuan tentang eksistensi agama dalam negara hukum Indonesia. Bahwa agama dan negara dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Indonesia adalah bukan negara agama tetapi negara beragama. Paradigma negara Indonesia terhadap agama adalah simbiosis mutualisme, keduanya saling membutuhkan.*
Dosen tetap Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Pengurus Komisi Hukum dan Peraturan Perundang-undangan MUI Pusat. Tulisan diambil dari disertasi penulis, “Membangun Politik Hukum Sistem Ketahanan Nasional Terhadap Ancaman Ekspansi Ideologi Transnasional Syiah Iran” di Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2015