oleh: Bahrul Ulum
DI banyak tempat, telah beredar sebuah poster tentang tata cara memakai pakaian dalam sholat. Disebutkan dalam poster tersebut bahwa seseorang yang memakai celana di atas mata kaki hukumnya sunnah, sejajar dengan mata kaki hukumnya makruh dan di bawah mata kaki hukumnya haram.
Tentu saja poster ini mengusik banyak pihak sehingga suatu ketika diadakan seminar untuk mendialogkan isi poster tersebut. Salah satu narasaumbernya adalah tokoh yang membuat poster, sedang lainnya pihak yang tidak setuju dengan poster tersebut.
Tentu saja perdebatan ini cukup seru karena menurut narasumber yang tidak setuju dengan poster tersebut persoalan isbal masuk wilayah ijtihad. Artinya para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya.
Kalau kita tilik pendapat para ulama salaf maupun kholaf memang beragam dalam menghukumi masalah tersebut. Sebagian mengatakan haram secara mutlak sedang yang lain menghukumi haram dengan syarat yaitu sombong.
Yang menghukumi haram secara mutalk berdasar hadits Nabi yang berbunyi:
ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
“Kain yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah Neraka.” (HR. Bukhari 5787).
Sedang ulama yang menghukumi haram dengan syarat berdasar hadits Nabi yang berbunyi:
من جر ثوبه خيلاء ، لم ينظر الله إليه يوم القيامة . فقال أبو بكر : إن أحد شقي ثوبي يسترخي ، إلا أن أتعاهد ذلك منه ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إنك لن تصنع ذلك خيلاء . قال موسى : فقلت لسالم : أذكر عبد الله : من جر إزاره ؟ قال : لم أسمعه ذكر إلا ثوبه
“Barangsiapa menjulurkan pakaiannya karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah pada hari kiamat. Abu Bakar lalu berkata: ‘Salah satu sisi pakaianku akan melorot kecuali aku ikat dengan benar’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Engkau tidak melakukan itu karena sombong’.Musa bertanya kepada Salim, apakah Abdullah bin Umar menyebutkan lafadz ‘barangsiapa menjulurkan kainnya’? Salim menjawab, yang saya dengan hanya ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya’. ”. (HR. Bukhari 3665, Muslim 2085)
Berdasar keterangan di atas berarti persoalan isbal masuk wilayah khilafiyah atau ijtihadiyah di kalangan para ulama. Artinya memang tidak ada ijma’ di kalangan ulama mengenainya.
Dalam menyikapi masalah ijtihad, para ulama telah sepakat, agar bersikap bijak dengan tidak mencela atau mencaci orang yang berbeda pendapat dengan dirinya. Imam Nawawi menjelaskan bahwa para ulama hanya mengingkari permasalahan yang diijmakkan. Adapun yang diperselisihkan (khilafiyah), tidak ada pengingkaran.” (Syarh An Nawawi ‘alaa Muslim: 2/23). Demikian juga Ibnu Taimiyyah dengan tegas mengatakan bahwa orang yang beramal dengan hasil ijtihad para ulama, tidak boleh diingkari dan tidak boleh dihajr (boikot).” (Majmuu’ al Fatawa: 20/207)
Jauhi Saling Mencela
Meski isbal sudah jelas masuk wilayah ijtihad, namun sayang sebagian kaum Muslimin kurang bijak dalam menyikapinya. Sikap bijak yang dicontohkan oleh para ulama ternyata tidak diindakan. Akibatnya, diantara mereka yang berbeda pendapat kemudian saling mencela dan mengolok.
Yang berpendapat isbal hukumnya haram kemudian mencela yang isbal. Demikian juga sebaliknya. Sikap seperti ini menunjukkan tidak adanya adab dalam memahami masalah furuiyah.
Padahal mencela dan mencaci-maki orang Muslim termasuk dosa besar dan haram hukumnya. Sifat ini merupakan ciri-ciri orang munafik.
Islam sangat melarang seseorang menghina atau mencela sesama muslim sebab kadang kala yang dicela belum tentu lebih buruk daripada yang mencela. Bahkan tidak menutup kemungkinan yang dicela lebih baik dari yang mencela.
Allah berfirman:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٌ۬ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرً۬ا مِّنۡہُمۡ وَلَا نِسَآءٌ۬ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرً۬ا مِّنۡہُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَـٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَـٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ (١١)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, Maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS: Al Hujarat [49]: 11)
Ayat ini sebagai larangan seorang Muslim mencela dan merendahkan muslim lainnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya kekufuran.” (Riwayat Bukhari Muslim)
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Celaan dan hinaan semakin besar jika ia berupa tuduhan kepada seseorang dalam hal agamanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan atau kekufuran, melainkan akan kembali kepadanya tuduhan tersebut jika yang dituduhnya tidak demikian.” (Riwayat Bukhari).
Dari Hadits ini sebenarnya bisa diambil pelajaran yang sangat berharga, bahwa perbuatan suka mencela itu bisa jadi akan kembali kepada diri kita.
Dalam rangka mencega perbuatan buruk ini, Islam mengajarkan kita agar berhati-hati dengan perbuatan tersebut. Sebab syariat telah menetapkan bahwa orang yang pertama mencela lebih besar dosanya dari dua orang yang saling mencela. Rasul bersabda, “Dua orang yang saling mencela, maka dosa yang dikatakan keduanya akan ditanggung oleh orang yang pertama kali memulai, selama yang terzalimi tidak melampuai batas.” (Riwayat Muslim)
Berdasar keterangan di atas bisa ditegaskan bahwa mencela dan menjatuhkan kehormatan sesama Muslim sangat bertentangan dengan syariat. Kehormatan adalah satu dari lima dasar kebutuhan primer (al kulliyaatu al khams) manusia yang dijaga keutuhannya oleh syariat.
Islam melarang sikap saling mengejek dan mencela sesama muslim karena akan berdampak pada keretakan persatuan dan kesatuan umat.
Sebaliknya, Islam menganjurkan agar menjauhi sifat tersebut demi kemualiaan seseorang. Ketika Rasulullah ditanya siapakah muslim yang utama, beliau menjawab, “Yaitu orang yang selamat kaum muslimin dari tangan dan lisannya.” (Riwayat Bukhari Muslim)
Semoga kita dimasukkan orang-orang yang mulia di sisi Allah dengan menjauhi sifat tercela tersebut. Amin.*
Penulis adalah Sekretaris MIUMI Jatim