Oleh: Kholila Ulin Ni’ma
DESEMBER 2015 lalu publik kembali dikejutkan oleh kelakuan mahasiswa PTAIN. Kali ini belasan Mahasiswa UIN DIY ikut merayakan Misa malam Natal di dalam sebuah gereja di Solo yang dipimpin oleh Pendeta Wahyu Nugroho.
“Pak Wahyu adalah dosen kami di Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Beliau mengajar mata kuliah teks suci Al-Quran dan kitab agama lain. Kami ingin mengucapkan selamat Natal saja dengan datang ke sini,” beber Taufik, salah seorang mahasiswa yang turut hadir dalam perayaan tersebut. Para jemaat gereja menyambut mereka dengan hangat, bahkan usai acara, ada beberapa yang meminta foto bersama mahasiswa/i UIN tersebut dengan latar belakang pohon Natal.
Meski sang rektor sudah meralat acaranya sebenarnya, namun banyak kalangan mengkritik tindakan ini. Bagaimana mungkin mahasiswa perguruan Tinggi Islam yang lulusannya diharap melahirkan dadi oleh masyarakat, justru melakukan aktivitas pendangkalan aqidah?
Bagaimana nasib aqidah umat kelak jika lulusan-lulusan seperti ini memimpin umat. Para ulama, termasuk MUI pun turut mengecam dan mengkritik tindakan ini. Namun mereka tidak mengindahkan fatwa haram dari MUI tersebut. Mereka seolah-olah ingin menunjukkan, “Beginilah toleransi itu.”
Toleransi ala Liberal
Tak lama kemudian pihak UIN Sunan Kalijaga, melalui Wakil Rektornya, memberikan klarifikasi bahwa mahasiswa yang hadir dalam perayaan natal itu hanya ‘menyaksikan’ (‘bukan mengikuti’) prosesi Natal. Mereka adalah para mahasiswa/i prodi S2 Agama dan Filsafat Fakultas Ushuluddin, konsentrasi Studi Agama dan Resolusi Konflik pada mata kuliah Studi al-Qur’an dan Perbandingan Kitab Suci agama-agama. Mereka sedang melakukan observasi lapangan tentang prosesi Natal sebagai bagian dari proses akademis-ilmiah. Mereka juga melakukan kegiatan demikian pada prosesi Waisak, Nyepi dan Imlek.
Sebenarnya tak hanya di UIN Yogyakarta, Perguruan Tinggi lain yang berlebel Agama Islam pun juga melakukan hal yang sama yang membuat kita tercengang dan geleng-geleng kepala. Apa yang dilakukan oleh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini sudah dianggap biasa oleh berbagai Perguruan Tinggi Agama Islam, khususnya jurusan ushuluddin. Ada yang melaksanakan buka bersama di Klenteng, adapula yang membantu persiapan sampai mengikuti ritual perayaan hari raya Hindu Budha dengan ‘dalil’ toleransi beragama. Partisipasi yang mereka lakukan dalam berbagai perayaan itu dianggap bagian dari proses akademis-ilmiah dengan dalih ‘tidak ada dalil yang mengharamkannya’.
Tindakan tersebut jelas merupakan toleransi yang salah kaprah dan melanggar batas-batas syariah Islam. Yang dilakukan para mahasiswa itu, sesungguhnya bukan bentuk toleransi yang diajarkan Islam, melainkan toleransi liberal yang diajarkan Barat, yang memang tidak mengenal syariah Islam sebagai batas-batasnya.
Mengutip kitab Naqd at Tasaamuh al Libraali (Kritik Terhadap Toleransi Liberal) karya Prof. Muhammad Ahmad Mufti yang menyebutkan toleransi liberal didasarkan pada tiga ide pokok yakni sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan; relativisme, yaitu paham yang memandang kebenaran suatu agama itu relatif (tidak mutlak benar) dan pluralisme, yaitu paham yang memandang kebenaran semua agama yang bermacam-macam.
“Sesungguhnya ketiga ide pokok paham tersebut semuanya batil dan bertentangan dengan Islam!”
Bagaimana Islam Memandang Toleransi?
Dalam kamus al–munawwir, Toleransi (tasamuh) artinya sikap membiarkan (menghargai), lapang dada. Jadi, toleransi umat Islam terhadap kaum Nasrani yang merayakan Natal, cukup dengan sikap membiarkan. Ya, cukup dengan membiarkan. Membiarkan di sini maksudnya bukan mengakuinya sebagai kebenaran, tetapi dalam arti arti tidak melarang atau tidak menghalang-halangi. Inilah toleransi yang diajarkan dalam Islam, karena Islam mengajarkan bahwa kaum non-muslim hendaknya dibiarkan untuk beragama dan beribadah menurut keyakinan mereka, mereka tidak diganggu dan tidak juga dipaksa untuk masuk Islam. (kitab Muqaddimah Al Dustur, 1/32 karya Syeikh Taqiyuddin An Nabhani)
Sedangkan toleransi diartikan sebagai “partisipasi” (musyarakah) yang dilakukan muslim dalam hari raya Natal, misalnya dengan mengucapkan selamat Natal, atau hadir dalam Natalan bersama, apalagi hadir dalam Misa Natal di gereja, jelas itu sudah melanggar syariah Islam, dan bukan seperti ini toleransi yang diajarkan syariah Islam.
Dua alasan utamanya. Pertama, karena perbuatan termasuk termasuk perbuatan menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar), yang sudah diharamkan dalam ajaran Islam. Yang dimaksud menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar), adalah menyerupai kaum kafir dalam hal-hal yang merupakan ciri-ciri khas kekafiran mereka, seperti akidah, ibadah, adat istiadat, atau gaya hidup (pakaian, kendaraan, perilaku dll) kaum kafir. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 4/175).
Menghadiri misa Natal jelas-jelas merupakan bagian dari menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar) itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam telah melarang menyerupai kaum kafir sesuai sabdanya,”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka.” (man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum). (HR Abu Dawud, no 4033; Ahmad, Al Musnad, Juz 3 no. 5114; Tirmidzi, no 2836).
Kedua, karena kehadian para mahasiswa dalam Misa Natal di gereja tersebut merupakan bentuk partisipasi (musyarakah) muslim dalam hari raya agama lain yang juga sudah diharamkan dalam Islam.
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu Wata’ala (yang artinya),”Dan [ciri-ciri hamba Allah di antaranya adalah] tidak menghadiri/mempersaksikan kedustaan/kepalsuan.” (walladziina laa yasyhaduuna az zuur). (QS Al Furqaan: 72). Imam Ibnul Qayyim meriwayatkan penafsiran Ibnu Abbas, Adh Dhahhak, dan lain-lain, bahwa kata az zuur (kebohongan/kepalsuan) dalam ayat tersebut artinya adalah hari raya orang-orang musyrik (‘iedul musyrikiin).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Berdalil dengan ayat ini, Imam Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa haram hukumnya muslim turut merayakan (mumaala`ah), menghadiri (hudhuur), atau memberi bantuan (musa`adah) pada hari-hari raya kaum kafir. (Ibnul Qayyim, Ahkam Ahlidz Dzimmah, 2/156).
“Berdasarkan dalil ayat tersebut, perbuatan mahasiswa muslim yang menghadir Misa Natal di gereja tersebut adalah haram,”.
Khatimah
Sudahlah, umat Islam tidak perlu latah terjebak dalam perangkap seruan toleransi yang diperalat sehingga justru terlibat dalam hal-hal yang tidak dibenarkan oleh Islam. Baik mengucapkan selamat, menghadiri, maupun ikut merayakan Natal. Hal yang sama juga berlaku pada momen Tahun baru ini, karena kita tahu bahwa merayakan Tahun Baru juga bukan dari Islam. Merayakan Malam Tahun Baru dengan cara apa pun adalah kebiasaan Kaum Penyembah berhala (Paganis) Romawi yang merayakan Hari Janus, dengan mengitari api unggun, meniup terompet berpesta dan bernyanyi bersama.
Dari Abu Sa‘id Al Khudri, ia berkata: “Rasululah bersabda: ‘Sungguh kalian akan mengikuti jejak umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehingga kalau mereka masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalianpun akan masuk ke dalamnya.’ Mereka (para sahabat) bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah kaum Yahudi dan Nasrani?’ Sabda beliau: “Siapa lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. ” (Al Baqarah 120). Allahu a’lam bish shawaab.*
Penulis alumnus Pascasarjana IAIN Tulungagung