Hidayatullah.com–Politik sudah terlanjur digambarkan jahat dan ‘machevialis’. Ketika berbicara politik, pasti tergambarkan suatu praktik kotor dengan segala modusnya, mulai dari money politic, aksi teror, suap menyuap, dan lain sebagainya. Tidak cukup itu, politik sudah kadung biasa mengajari bermuka dua; di depan umum berwajah manis, tapi sebenarnya ia jahanam. Sebab itulah banyak kalangan terlanjur percaya bahwa tidak pantas Islam dibawa-bawa dalam kancah politik. Kalaupun ada yang memaksa, tidak mungkin berhasil, pasti kalah! Pasti tidak tahan bersaing! Sebab Islam terlalu suci, katanya. Namun, apakan sebenarnya demikian?
Dan bagaimana kepemimpinan dalam Islam menurut al-Baqillani? Berikut hasil diskusi Institute for Study the Study of Islamic Thougth and Civilization (INSISTS) bersama Hasan Darojat, di Segambut Malaysia beberapa saat lalu. Resume diskusi ini ditulis ulang oleh Ahmad Dimyati.
***
Tulisan ini tidak muluk-muluk ingin mengonsep suatu teori politik yang betul-betul pas dan sempurna buat umat Islam, kalaupun nantinya hal itu juga tercapai. Tapi tulisan ini ingin menyatakan bahwa ada yang perlu dipelajari dari khazanah intelektual Islam tentang politik dan kepemimpinan negara. Ada banyak pemikiran ulama dahulu yang perlu digali pelajarannya, di mana di sana tersimpan teori-teori matang bagaimana seharusnya kepemimpinan dalam umat Islam.
Abu Bakar ibn al Tayyib al-Baqillani merupakan salah satu ulama yang cukup awal menkonseptuliasasikan teorinya tentang hal ini. Lahirn di Basrah, thn 338 H/950 M dan meninggal di Bagdad, tahun 403 H/1013 M, al-Baqillani termasuk ulama yang produktif menelurkan karya-karya otoritatif dalam berbagai bidang. Beberapa kitab yang sampai kepada kita diantaranya: al-Tamhid, Manaqib al-Aimmah al-Arba’ah, I’jaz al-Quran, al-Inshaf, dan al-Taqrib wa al-Irsyad. Dua kitab yang pertama adalah yang berbicara masalah kepemimpinan dalam Islam.
Al-Tamhid, salah satunya yang pernah di-tahqiq oleh Joseph Richard McCarthy, seorang orientalis yang memang memfokuskan diri dalam mengkaji al-Baqillani, mempunyai bab khusus berbicara tentang imamah (kepemimpinan). Sayangnya McCarthy membuang bab ini sebagai bagian dari editannya. Bukan tidak beralasan membuangnya, namun alasannya cuma diplomatis, yakni karena bukan bagian dari akidah, katanya. Padahal konsep imamah ini, jika diamati dari berbagai kutub turath dahulu, pembahasan imamah dimasukkan dalam Usul al-Din (asas-asas agama). Maknanya, alasan McCarthy itu seperti cuma untuk mengelabuhi pembacanya dari agenda-agendanya. Mungkin imbas dari agendanya adalah, di masa kita sekarang, ketika bincang masalah usuludin, termasuk Fakultas Ushuludin di kampus-kampus Islam, tak pernah ada disiplin ilmu tentang imamah. Padahal, perbincangan ini amat perlu dikembangkan dalam rangka mengembangkan konsep kepemimpinan dalam Islam.
Sepertinya, untuk mengenal konsep politik dalam pemikiran al-Baqillani tidak cukup membaca kitab al-Tamhid-nya saja, sebab kitab ini hanya sebagiannya yang membahas imamah. Yang lebih fokus membahas konsep kekuasan dalam Islam ini adalah kitab Manaqib-nya. Kepemimipinan yang dibahas pada kitab ini mengambil obyek khalifah yang empat. Makanya kitab ini disebut Kitab manaqib al-Aimmah al-Arba’ah.
Kepemimpinan dalam Islam
Al-Baqillani dalam merumuskan konsep kepemimpinannya menggunakan lima pijakan; Al-Qur’an, hadis, ijma’, qiyas dan hujjah akal. Dari telaah ilmiahnya, di mana al-Baqillani mendasarkan diri pada khabar mutawatir dan ahad, ia menyimpulkan bahwa kepemimpinan dalam Islam harus ada dan tidak bisa ditolak keberadaannya. Gunanya adalah untuk mengatur dan membentengi umat dari serangan musuh, untuk pengawasan, penegakan hukum, pendistribusian harta fai’, pengamanan umat dalam ibadah haji dan penyiapan tentara untuk mengawasi musuh.
Dalam konteks kekinian urgensi kepemimpinan ini semakin tampak. Umat Islam saat ini seakan buih di atas lautan yang teromang ambing tak tahu hal yang dituju disebabkan kepemimpinan yang nihil. Ke mana merujuk dan kepada siapa berpandu, umat ini tak putus-putus bingung. Bahkan ditengah kebingungan itu sudah bukan suatu yang asing lagi terjadinya pertikaian antara saudara, konfrontasi sesama muslim, perang saudara, dan sejenisnya. Tidak hanya itu, umat Islam mudah sekali diacak-acak, difitnah, diobok-obok dari internal maupun eksternal umat Islam. Semua itu tidak mengherankan, sebab salah satu instrumen untuk meninggikan agama Allah sudah musnah, belum lagi bisa diwujudkan lagi, yakni kepemimpinan dalam Islam.
Dilihat dari karakter kepemimpinan para pengganti Rasulullah SAW yang empat, Abu Bakar, Umar, Uthman, dan Ali radhiyallahu ‘anhu, dan berdasarkan dalil-dalil otoritatif yang mendasari pendapatnya, al-Baqillani menyimpulkan tiga karakter bagi pemimpin Islam: pertama, keturunan Quraisy. Karakter ini dahulu disepakati menjadi syarat baik di kalangan sahabat, tabiin, maupun tabiit tabiin. Namun sepertinya syarat ini bukanlah physicly Quraisy, tapi karakter dan mental Quraisy di saat itu. Artinya, mungkin di saat itu karakter orang-orang Quraisy memang unggul seperti tampak pada khalafaurrasyidin yang empat. Salah satu keterangan dari Ibn Khaldun menyebutkan bahwa sebenarnya al-Baqillani juga menyetujui akan adanya kepemimpinan yang datang dari luar klan Quraisy.
Kedua, menurutnya pemimpin itu harus berilmu. Ini untuk menghindari kekacauan dalam kepemimpinannya. Selain ilmu teras agama, al-Baqillani menyebut sebagai asas dalam kepemimpinan adalah ilmu bagaimana membentengi rakyat, manajemen dan administrasi. Karakter kedua ini cukup signifikan sebab posisi pemimpin adalah posisi cergas, lugas, tegas dan tangkas yang sanggup menghadapi badai problematika umat, membaca celah-celah manfaat di antara tebing-tebing kemudharatan umat, walau dalam keadaan mendesak sekalipun. Dan pemilihan pemimpin seperti bukan sekedar performannya, tapi karena ilmunya. Jika sebaliknya, pemimpin itu bodoh, maka yang terjadi hanyalah merusak, dan kerusakannya itu ada di puncak kedahsyatannya. Kerusakan di dunia saat ini, misalnya, tidak bisa dinafikan lagi adalah sebab pemimpin yang tidak memenuhi kriteria ini. Namun demikian, agar tidak simplistis dan latah dengan konsep ilmu Barat yang ‘artifisial’, maka istilah berilmu ini seharusnya dirujuk kepada worldview Islam.
Ketiga, pemimpin baginya adalah harus mempunyai keberanian dan ketahanan emosi dalam melaksanakan kepemimpinannya. Hal itu demi tegaknya keadilan dalam segala aspek. Dengan kata lain, seorang pemimpin adalah betul-betul memposisikan diri sebagai yang betul-betul adil di hadapan umatnya. Ketidakadilan sering terjadi akibat kekurang tegasan dan kelemahan terhadap goncangan pihak-pihak tertentu yang memang mengancam stabilitas kepemimpinan itu. Adil, berwibawa, dan bersahaja adalah bagian dari karakter ini, barangkali.
Namun demikian, pemimpin tidak harus orang yang bersih dari dosa. Menurut al-Baqillani, pemimpin dalam Islam itu tidak harus yang ma’shum (terjaga dari dosa). Sebab yang demikian itu hanya Nabi adanya, yang selain nabi pasti ada dosa, walaupun kemudian ada yang diampuni oleh Allah. Bagaimanapun, pemimpin harus diambil dari yang terbaik dari umat ini (al-afdhal). Dan menurutnya, pemimpin itu bukan ditunjuk, walaupun itu juga bisa terjadi, tapi dipilih (ikhtiyar). Ini untuk menangkis pandangan kaum Syiah bahwa dahulu Rasulullah Saw menunjuk Ali, walaupun hadith yang digunakannya adalah hadith ahad. Ini bisa dimengerti dari judul buku al-Baqillani, mengapa judul itu berjudul Kitab manaqib al-Aimmah al-Arba’ah. Karena selepas imam yang empat (khalafaurrasyidin), kepemimpinan tidak lagi dipilih, tapi ditunjuk.
Oleh karena itu, proses pemilihan pemimpin bagi al-Baqillani adalah dilakukan oleh orang-orang tertentu saja, yakni orang-orang yang dapat dipercaya, kapabel, dan kredibel. Istilahnya adalah afadhil al-muslimin. Mereka dikenal dengan ahl al-hill wa aqd, di mana jumlah orang ini tidak ada batasan yang pasti dalam pandangannya. Jadi mereka yang memilih pemimpin yang terbaik nantinya. Ini berbeda dari pola pemilihan pemimpin langsung oleh masyarakat, yang setiap orang boleh memilih, tanpa memandang kapasitas pemilihnya. Sistem ini mengingatkan kita pada sistem perwakilan rakyat (DPR-MPR) yang memilih presiden di suatu negara.
Mengenai batas masa kepemimpinan, al-Baqillani tidak menyebutkan adanya pembatasan, selagi masih mampu dan adil seseorang boleh meneruskan tugas-tugas sebagai pemimpin. Hal itu penting karena perlunya adanya kesinambungan kinerja pada setiap program dalam kepemimpinannya. Sebaliknya, yakni ketidaksinambungan akan terjadi, apabila pemimpin dibatasi masa jabatannya dan diganti dengan yang baru dalam masa yang singkat, maka yang sering terjadi diskoneksi kebijakan dan arah program yang menyebabkan kekacauan baik yang sifatnya sederhana hingga yang besar, sebagaimana yang biasa terjadi di masa kita saat ini. Walau bagaimanapun, kepemimpinan bisa dibatalkan. Mengenai pembatalan kepemimpinan ini al-Baqillani menyebutkan empat point: (a) pemimpin telah melanggar Syariat Islam; seperti tidak adil dan dhalim (b) adanya penyakit fisik dan mental sehingga menghalangi diri dalam memimpin; (c) hilangnya pemimpin, semisal jatuh dalam tahanan musuh; dan (d) sudah ada yang lebih layak untuk memimpin.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Catatan Akhir
Paparan singkat ini memberikan beberapa catatan penting tentang konsep imamah dalam Islam. Bahwa ada kerja-kerja orientalis manipulatif untuk menghapus pembahasan teori kepemimpinan dalam bagian yang asas dalam Islam. Sehingga pembahasan Ushul al-Din tidak lagi membicarakan kepemimpinan, sebagaimana yang dibuat oleh Joseph Richard McCharty. Kalaupun belakangan muncul istilah siyasah syar’iyyah, namun biasanya muncul di bawah pembahasan syariah yang bukan fundamental lagi.
Selain itu, konsep kepemimpinan menurut Imam al-Baqillani ini sebaiknya menjadi referensi politik masa kini, sebagai pertimbangan dan renungan, sehingga tidak melulu berkaca kepeda konsep Barat dengan demokrasinya. Artinya, ada yang banyak perlu dikoreksi dari konsep yang dijalankan sekarang dalam politik.
Walaupun demikian, bukan berarti yang datang dari luar Islam kemudian harus ditampik. Meminjam istilah Dr Hamid Fahmy Zarkasyi, adaptasi perlu dijalankan, bukan adopsi.
Pada peringkat ini perlu namanya afirmasi dan negasi; afirmasi dari segala yang baik dan negasi terhadap yang jelek, lebih-lebih dalam pandangan alam.
Al-Baqillani baru satu tokoh yang membentangkan masalah kepemimpinan. Masih banyak tokoh-tokoh Islam yang meninggalkan khazanah keilmuannya tentang kepemimpinan dalam Islam yang seyogyanya menjadi referensi politik bagi umat Islam saat ini. Ini penting sebab identitas secara politik sangat perlu bagi umat Islam. Jika Barat begitu susahnya mencari identitas dirinya dalam peradaban, maka Islam sebenarnya tidak susah, sangat mudah menemukan identitasnya dalam segala bidang, termasuk politik. Hanya, semuanya itu bergantung kepada kita semua, mau meneruskan identitas itu atau kita terus bubar. [Disarikan dari hasil Diskusi Insists-Malaysia, bersama Hasan Darojat, mahasiswa ISTAC-IIUM. Presentasi Hasan Darojat ini bisa dibaca di Jurnal, vol. V No. 2, 2009/hidayatullah.com].