Sambungan artikel PERTAMA
Contohnya, dengan mengutip pendapat para ulama tasawuf sebelumnya. Para sufi dinamanakan demikian karena kemurnian (shafa) hati dan kebersihan tindakan mereka. Bisyr ibn Harits mengatakan : Sufi adalah orang yang hatinya tulus (shafa) hatinya terhadap Allah. Ulama lain mengatakan:
الصوفي من صفت لله معاملته، فصفت له من الله عز وجل كرامته
Sufi adalah orang yang perilakunya murni tulus karena Allah dan mendapat kemulyaan yang tulus dari Allah.
Al-Kalabadzi yang memberikan pengertian substansial ini penting. Khususnya untuk memberi pencerahan kepada orang yang menyesatkan ulama sufi. Dengan penjelasan itu, maka semestinya sudah selesai, dan final. Karena, substansi tersebut tidak lain ajaran Islam itu sendiri.
Ada dua tema penting lagi yang diungkapkan oleh al-Kalabadzi dalam kitab ini. Yaitu tentang syariah dan tauhid (akidah). Kajian ini tidak kalah pentingnya dengan menjelaskan pengertian sufi pada bab pertama tadi. Sebab, pada dua masalah inilah biasanya tasawuf dibenturkan.
Tentang pandangan para sufi tentang syariat dijelaskan pada bab 29 yang berjudul : “Qouluhum fi al-Madzahib al-Syar’iyyah” (Pendapat para ulama sufi tentang madzahab syar’iyah).
Al-Kalabadzi menjelaskan, dalam fiqih para sufi mengambil pendapat fiqih yang paling hati-hati (ahwath), paling dipercaya dan paling kuat. Khususnya bila terjadi perbedaan pendapat di antara fuqaha’ (ahli fiqih).
Supaya lebih jelas lagi, contohnya bila ada dua pendapat dalam satu masalah. Ulama satu berpendapat makruh, dan ulama satunya berpendapat boleh (mubah). Maka, pendapat yang paling hati-hati adalah ikut pendapat makruh. Inilah yang diambil kaum sufi. Sampai Syekh Nawawi al-Bantani pernah mengatakan, makruh bagi para muqarrabun (orang yang dekat dengan Allah) itu seperti hukum haram bagi kita. Maksdunya, mereka tidak melakukan perkara makruh, sebagaimana kita menghidari perkara yang haram. Yang sunnah jadi wajib bagi mereka.
Sampai pada perkara mengerjakan shalat al-Kalabadzi perlu menjelaskan sikap para sufi. Menurutnya, tradisi sufi tidak pernah meremehkan dan menunda-nunda shalat wajib. Mereka sepakat shalat wajib harus segera ditunaikan pada awal waktu. Mereka tidak meremehkan, tidak mengakhirkan apalagi meninggalkannya.
Dalam bab tentang tauhid, akidah al-Kalabadzi sama dengan akidah para ulama-ulama salaf. Tidak ada tajsim,tasybih,ta’thil, dan lain-lain. Penjelasannya tentang akidah cukup sederhana (apalagi untuk ukuran zamannya beliau), tidak rumit, tidak terlalu filosofis namun sistematis, tidak ada unsur syirik. Bahkan unsur-unsur yang bisa menarik perdebatan tidak ada di dalam kitab ini.
Jangan dibayangkan kitab “at-ta’arruf” ini sama dengan karya-karya Ibnu ‘Arabi, puisi Rumi atau statemen al-Hallaj.
Rupanya, kitab al-Kalabadzi ini ditulis untuk mengakhiri isu-isu negative tentang tasawuf. Hal itu diceritakan oleh al-Kalabadzi sendiri tentang motivasi menulis kitab “al-ta’arruf” ini. Kitab ini ditulis atas permintaan orang-orang untuk mendudukkan sufi dan tasawuf. Ia menjelaskan bahwa yang mendorong saya menulis ini adalah untuk menjelaskan tariqah para sufi, akhlaknya, perilakunya, dari ucapan, akidah tauhidnya dan hal-hal yang dinisbatkan kepada para sufi saya jelaskan sampai syubhat-syubhat yang beredar di kalangan orang-orang yang belum mengetahui pemikiran para sufi. Hal ini supaya orang yang tidak paham menjadi paham, orang yang belum kenal menjadi mengenalnya. Serta terhindar dari penafsiran yang salah dari orang-orang jahil (Muqaddimah al-Ta’arruf li Madzhabi Ahli Tasawuf, hal. 7).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Al-Kalabadzi berusaha meyakinkan bahwa yang ia tulis adalah pendapat yang dipercayai oleh para sufi, madzhab mereka telah ia tahqiq. Sehingga, konon ada ulama sufi terdahulu mengaku tercerahkan oleh kitab ini. Kata dia:
لولا التعرف ماعرفت التصوف
“Kalau bukan kitab “At-Ta’arruf, aku tidak mengenal tasawuf” (Ahmad Syamsuddin,Muqaddimah al-Ta’arruf, hal. 4). Konon, statemen ini diucapkan oleh Syihabuddin Surahwardi al-Maqtul (wafat tahun 1191 M).
Walhasil, kitab ini meski tidak tebal, tetapi boleh dikatakan kitab ensiklopedis (mausu’ah) tentang tasawuf tertua setelah kitab al-Luma’ yang ditulis oleh al-Sarraj. Maka, jika kita ingin penasaran apa itu sufi dan tasawuf, silahkan baca kitab ini. Wallahu a’lam bis showab