Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo. Tidak sembarang Wali Kota, tapi teristimewa ia putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi). Baru terpilih beberapa bulan lalu sebagai Wali Kota, tanpa pesaing berarti.
Gibran bisa disebut sebagai Wali Kota Plus. Tentu Plusnya ini tidak main-main tidak sembarang Plus, tidak sekadar tambahan untuk menguatkan namanya. Plus yang disandangnya itu punya bobot yang mantap surantap.
Karena itu, pekan lalu ia disambangi, atau lebih tepat disowani beberapa tokoh partai tingkat pusat. Tidak kurang Zulkifli Hasan, Ketua Umum PAN, Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB, Fahri Hamzah, Wakil Ketua Partai Gelora, dan Ahmad Muzani, Sekjen Partai Gerindra.
Tidak kurang beberapa Menteri Kabinet Indonesia Maju 2, juga sowan menemuinya. Solo lalu menjadi kota penting yang mesti dikunjungi para petinggi partai dan pejabat negeri ini. Maka sirene polisi yang mengawal para tamu itu akan ramai semarak menuju Kantor Wali Kota.
Sebagaimana lazimnya, lalu mereka ramai-ramai memuji Gibran, dan bahkan tidak segan ada yang sudah memberikan garansi untuk mendukung Gibran maju sebagai Gubernur DKI Jakarta, di 2024 nanti. Meski diembel-embeli mau melihat kinerja Gibran dulu sebagai Wali Kota Solo.
Baru menjabat beberapa bulan saja sebagai Wali Kota eh sudah dijanjikan pada jabatan yang lebih tinggi lagi. Pantat belum anget duduk di kursi Wali Kota, eh sudah dijanjikan disediakan kursi lain yang lebih mentereng. Itulah plusnya Gibran.
Tidak ada yang salah dari Gibran, justru suasana yang dibangun para petinggi partai, itu patut disyukurinya. Tidaklah salah jika Gibran lalu mengatakan, Wong saya gak minta mereka bicara demikian, kok. Bahkan saya gak mengundang, mereka sendiri malah yang datang menemui saya. (Nikmat imajiner omongan itu, jika dialek dan intonasi diserupakan dengan suara Gibran?).
Lalu untuk apa para petinggi partai itu menemuinya, ini sebenarnya yang patut dipertanyakan, meski tetap sulit bisa dimengerti. Tapi yang pasti, tidak lain karena Gibran itu Wali Kota Plus. Dengan mendatanginya hitungan-hitungannya pun setidaknya akan plus juga. Pastilah Sang Bapak, Presiden Jokowi, setidaknya akan memberi penilaian yang membuat rasa nyaman.
Soal “hitung-hitungan” tadi, yang pasti cuma petinggi partai itu yang faham. Kita yang diluaran cuma bisa melihat dari luaran saja, setidaknya ada keakraban yang dibangun di sana.
Hitungannya tentu bukan angka, tapi penyikapan psikologis yang dibangun. Rumusnya tidak bisa dipelajari, bahkan bisa jadi tidak bisa dipakai di tempat lain. Rumus kekhususan, namanya.
Untuk Memastikan Arah Pembangunan
Bisa jadi para petinggi partai itu mendatangi Gibran, tentu karena mereka adalah partai-partai pengusung Gibran saat maju sebagai kandidat Wali Kota Solo. Ingin memastikan jalannya pemerintahan di Solo.
Hanya PKS sajalah yang memilih dengan tidak memilih Gibran. PKS menjadi satu-satunya partai politik yang menyatakan tidak memilih baik Gibran, maupun kandidat lain dari jalur independen. PKS membebaskan pemilihnya untuk memilih yang dianggap baik dari keduanya. Atau meski tidak dinyatakan, untuk tidak memilih keduanya.
Tidak ada yang salah dari partai-partai yang memutuskan mengusung Gibran, pun tidak ada yang salah dengan pilihan PKS yang menentukan sikap tidak memilih siapa-siapa. Semuanya punya hitung-hitungan politik tersendiri.
Bagaimana dengan Partai Gelora, kan belum punya perwakilan di DPRD Kota Solo, kenapa kok lalu ikut-ikutan mencalonkan Gibran. Itulah hebatnya Partai Gelora, yang “mencuri” mengambil space panggung yang ada. Tidak saja di Solo, atau Medan, bahkan di kota-kota lain.
Bahkan Fahri Hamzah ikut menyemarakkan kampanye Bobby Nasution di Medan. Bobby adalah menantu dari Jokowi. Tentu simpatisan Fahri, tidak semua suka melihat sikapnya “membela” memenangkan keluarga Jokowi. Sekali lagi, semua punya hitung-hitungan politiknya sendiri.
Biasa sajalah menyikapi hal demikian. Apa yang dilakukan Fahri Hamzah dengan Partai Gelora, itu adalah ijtihad politiknya. Tentu semua telah dihitungnya dengan matang.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kematangan berpolitik Fahri dan kawan-kawannya di Partai Gelora, tidaklah perlu diragukan. Mereka itu politisi yang matang di pohon. Tidak karbitan. Jadi mereka telah menghitungnya dengan cermat. Lalu pilihan diputuskan.
Banyak yang kecewa, ya pasti. Tapi lambat laun semuanya akan terjawab. Satu hal, daya kritis Fahri Hamzah masih tetap kuat, meski penyampaiannya lebih soft. Justru tampak kematangannya.
Semua akan ditentukan pada saatnya, apakah ijtihad politik yang dipilih dalam berselancar dalam pilihan politiknya itu tepat, atau sebaliknya. Para pemilihlah yang mempunyai hak suara, yang nanti menentukan pilihannya. Jalan masih panjang, kronik politik pun bisa jadi akan makin keras, semua partai akan diuji.
Beberapa kawan dalam dua hari ini yang kecewa mengirimkan video viral, bagaimana kehangatan Bang Fahri Hamzah dengan Gibran dan juga putra bungsu Pak Jokowi, Kaesang. Dialog hangat diantara mereka, lalu banyak yang mencibirnya. Dalam politik itu hal biasa saja, antara suka-tidak-suka… dan seterusnya.
Gibran memang akan terus dibanjiri para tetamu, baik petinggi partai, atau para pejabat tinggi negeri. Semua mendatanginya dengan penuh harap. Dan itu hal biasa. Gibran saat ini bisa diibaratkan roti manis yang sedang dikerubuti semut. Memang menggiurkan. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya