Namun, seorang ulama tak cukup dengan penguasaan ilmu agama. Menurut Farid, mengutip pendapat Ibnu Rajab al-Hanbali bahwa seorang ulama bukan ditentukan oleh seberapa banyak kitab yang ditulisnya, tapi diukur seberapa besar ketaatannya kepada Allah. Inilah yang disebutnya juga dengan istilah ulama robbani, seperti yang diungkapkan dalam firman Allah:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنۡ يُّؤۡتِيَهُ اللّٰهُ الۡكِتٰبَ وَالۡحُكۡمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُوۡلَ لِلنَّاسِ كُوۡنُوۡا عِبَادًا لِّىۡ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰهِ وَلٰـكِنۡ كُوۡنُوۡا رَبَّانِيّٖنَ بِمَا كُنۡتُمۡ تُعَلِّمُوۡنَ الۡكِتٰبَ وَبِمَا كُنۡتُمۡ تَدۡرُسُوۡنَۙ
”Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah,” tetapi (dia berkata), Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya!” (QS: Ali Imran:79)
Menjadi seorang ulama itu tak mudah. Tak cukup hanya dengan menempuh pendidikan akademis formal, tapi ia harus membuktikan teladan dalam hidupnya dan dedikasinya dalam berdakwah. Karena itulah, beberapa ormas Islam, seperti Muhammadiyah memiliki program khusus untuk mencetak kader ulama.
Meminjam istilah Prof. Din Syamsuddin yang pernah menjabat Ketua Umum Muhammadyah bahwa kader adalah jantungnya organisasi, kaderisasi adalah nafasnya organisasi.
Menurut KH. Ghofar Ismail, Ketua Divisi Kaderisasi Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, kebutuhan ulama di Muhammadiyah sangat penting, sesuai yang diamanatkan dalam surat Attaubah ayat 122 bahwa harus ada sekelompok yang mendalami agama (tafaqquh fiddin), lalu mereka kembali kepada masyarakatnya untuk memberikan pencerahan. “Ulama itu bukan profesi, karena tugas seorang ulama itu menjalankan misi para nabi,” jelasnya.
Ada tiga misi yang diemban oleh ulama, menurut KH. Ghafar Ismail yaitu: 1) harus mengajak kepada khairu ummah (sebaik-baiknya umat); 2) membangun umat sebebagai ummatan wasathan (umat yang di tengah), dan 3) menjadi umat yang teladan dan menjadi saksi bagi umat manusia. Untuk mencetak kader ulama, Muhammadiyah sudah menyiapkan 376 pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia, asrama mahasiswa di 30 Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) beserta tujuh Ma’had ‘aly dan program studi Keislaman di kampus-kampus Muhammadiyah.
Selain itu, banyak kader Muhammadiyah yang juga tersebar di kampus-kampus Islam baik di Indonesia maupun luar negeri. “Kalau semuanya serius digarap, in syaaAllah kita tidak akan kekurangan ulama,” ungkapnya optimis.
Meski demikian, kaderisasi ulama di Muhammadiyah bukan tanpa masalah. Karena, standar yang harus dipenuhi seorang ulama di Muhammadiyah sangat banyak.
Selain harus menguasai berbagai cabang ilmu syariat, seorang kader ulama juga harus menunjukkan kesalehannya, terlibat dalam masyarakat dan memahami manhaj tarjih dan gerakan tajdid Muhammadiyah. Kader ulama tarjih yang diharapkan, tidak sekedar cerdik cendekia dalam ilmu keislaman, juga menjadi mujahid dakwah dan pembimbing umat.
Mereka harus memiliki visi yang luas, jiwa kepemimpinan dan manajemen serta memahami persoalan-persoalan kemanusiaan, kemasyarakatan, kebangsaan serta perkembangan iptek.
Masalah regenerasi ulama menjadi isu lama yang sudah dibahas oleh Muhammadiyah, terutama untuk menyiapkan ulama tarjih. Sejak tahun 1968, Muhammadiyah mulai menjalankan program pendidikan ulama tarjih (PUTM).
Di tingkat menengah, Muhammadiyah memiliki pesantren seperti Madrasah Muallimin dan Muallimat di Yogyakarta, dan Pesantren Darul Arqom, Garut. Sedangkan, di tingkat pendidikan tinggi, program ini diterapkan di berbagai kampus Muhammadiyah, seperti Universitas Muhammadyah Yogyakarta, Universitas Ahmad Dahlan dan Universtas Muhammadiyah Malang. Setelah menyelesaikan pendidikan tinggi, mereka wajib mengabdi selama 3 tahun.
Program serupa dijalankan oleh ormas Islam, seperti Persatuan Islam (Persis). Program kaderisasi ulama, yang dimulai dengan mendidik para santri yang tersebar di 1.500 pesantren milik Persis. Pesantren dianggap sebagai tempat ideal untuk proses kaderisasi ulama, karena di dalamnya terjadi proses modeling atau uswah hasanah dari seorang kyai kepada santri-santrinya. Mereka tidak hanya belajar ilmu agama, juga mengenal bagaimana seharusnya menjadi sosok seorang kyai atau ulama.
Namun, mencetak ulama itu, menurut KH. Amin Mukhtar, tidaklah mudah dan tidak bisa dilakukan secara instan, berbeda dengan mendidik seorang mubaligh. Seorang ulama terdiri dai tiga kategori, yang disebutnya sebagai ulama ensiklopedis, ulama spesialis dan ulama generalis.
Pada saat ini, menurut Kyai Amin, sulit untuk menghasilkan ulama yang memiliki wawasan ensiklopedia sebagaimana para imam mazhab seperti Imam Ahmad bin Hanbal atau Imam Syafi’i. Karena, tak ada lagi yang mampu menguasai banyak cabang ilmu syariat. “Ulama saat ini tidak lagi bisa menjadi mujtahid individual, tapi hanya mujtahid kolektif”, jelasnya. Dalam pendidikan ulama Persis, ada beberapa cabang ilmu yang wajib dikuasai secara individu (fardhu ain), seperti adab, ilmu manthiq dan balaghah. Setelah itu, santri boleh memilih untuk menguasai beberapa cabang ilmu lainnya (fardhu kifayah), seperti ilmu kalam, hadist, usul fikih dan ilmu hisab.
Untuk menyiapkan kader ulama juga dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan meluncurkan program Pendidikan Kader Ulama (PKU) sejak tahun 1985. Namun, pendidikannya bersifat non formal dan berlangsung singkat.
Tentu, program ini menjadi pelengkap berbagai pengkaderan ulama yang dijalankan oleh ormas Islam dan lembaga dakwah lainnya. Setidaknya, PKU ikut berperan menyadarkan umat tentang peran pentingnya kehadiran ulama.
Mereka tidak hanya harus memenuhi kualifikasi ilmu juga kualifikasi akhlak. Karena, ulama merupakan pewaris para nabi, sebagimana disebutkan dalam hadist, “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR: At-Tirmidzi).
Misi ini juga dijalankan oleh Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), yang didiirikan oleh negarawan sekaligus ulama, yaitu Mohammad Natsir. Dewan Dakwah lebih memfokuskan pada gerakan dakwah di pedalaman.
Untuk menyiapkan kader dai, maka didirikanlah Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir. Sekolahnya gratis dan alumninya wajib berbakti sebagai da’i di pedalaman. “Gerakan dakwah kami harus berbeda dengan ormas-ormas Islam lainnya, untuk saling melengkapi,” jelas Dr. Ahmad Zen Annajah. Wakil Ketua Umum Dewan dakwah.
Pada era Mohammad Natsir, Dewan Dakwah banyak berperan untuk mengirimkan para santri, ada yang berasal dari Muhammadiyah, Persis, NU dan ormas Islam lainnya untuk mengenyam pendidikan Islam di berbagai perguruan tinggi di Timur Tengah. Karena saat itu, menurut Dr. Ahmad Zen, Dewan Dakwah tidak memiliki kader langsung. “Kami berharap setelah mereka lulus belajar di luar negeri, kembali ke Indonesia dan mewarnai pergerakan dakwah di tanah air,” jelasnya.
Menurut Dr. Ahmad Zen, kebutuhan dai di berbagai daerah sangat besar. Karena itu, Dewan Dakwah mendidik generasi muda di akademi dakwah.
Untuk tingkat kabupaten, misalnya kader yang dibutuhkan cukup yang lulus setingkat diploma. Mereka tidak perlu menguasai semua cabang utama ilmu syariat. Pendidikan da’i yang singkat, seperti yang pernah dijalankan oleh Masjid Salman ITB juga tidak boleh ditinggalkan. Meski demikian, beberapa kader potensial tetap diarahkan untuk mengejar pendidikan tinggi hingga pasca sarjana.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Da’i yang tugasnya sebagai mubaligh tentu berbeda dengan ulama yang wawasan keilmuannya lebih luas. Ulama menjadi rujukan bagi masyarakat untuk berguru ilmu agama, Gelar ulama, yang kita kenal dengan istilah Kyai, Ajengan atau Tuan Guru merupakan pengakuan masyarakat terhadap otoritas keilmuan mereka.
Tradisi keulamaan yang berkembang di lingkungan Nahdhatul Ulama, biasanya lahir dari keluarga pesantren. Dalam penelitian yang ditulis Hiroko Horikoshi dalam bukunya Kyai dan Perubahan Sosial, seorang ulama kemungkinan besar lahir dari keluarga ulama, dengan kata lain ia memiliki orangtua seorang ulama. Sehingga kader ulama tadi dapat melanjutkan keulamaan orangtuanya di tengah-tengah masyarakat. Seorang putra ulama lebih mudah mendapatkan pengakuan sebagai ulama daripada seseorang yang bukan putra dari ulama.
Ada juga pola keulamaan yang terbangun karena hubungan pernikahan. Seorang kyai memilih salah seorang santrinya yang unggul untuk dinikahkan dengan putrinya. Jika sang kyai tidak memilki anak laki-laki, maka mantunya diharapkan menjadi pelanjut kepemimpinan pesantrennya.
Pola lainnya seorang kyai pesantren menikahkan putra atau putri mereka dengan anak dari pimpinan pesantren lainnya. Model ini ini juga berkembang di pesantren tradisional untuk memperkuat tradisi keulamaan.
Seorang santri yang bukan keturunan ulama bisa menjadi seorang ulama. Karena, ia telah menunjukan kredibilitasnya menguasai berbagai ilmu syariat, baik melalui jalur berguru ke berbagai pesantren atau melalui jalur formal pendidikan tinggi. Kemudian, ia aktif berceramah dan menjadi rujukan dalam berbagai persoalan di masyarakat. Ia pun mendirikan majelis ta’im, lembaga dakwah atau pesantren yang akhirnya ia mendapat pengakuan dari masyarakat sebagai ulama.
Seorang ulama itu tentu lahir dari sebuah proses yang panjang. Mereka terseleksi karena kapasitas keilmuannya, akhlaknya dan pengabdiannya dalam berdakwah. Semua ormas Islam dan lembaga dakwah harus bekerjsama secara sinergis dalam merumuskan sebuah desain untuk mencetak kader-kader ulama.
Semuanya membutuhkan pengelolaan yang intensif dan pendanaan yang besar. Karena itu, masyarakat umum harus dilibatkan, antara lain dengan menggerakan dana umat untuk mendukung agenda besar yang sangat mendesak ini. Wallahu ‘alam.*
Penulis Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Dosen Fakultas Agama Islam UHAMKA. Artikel merupakan resume Program Ngeshare Bersama Para Tokoh Ormas Islam dan Lembaga Dakwah