Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | “Kudeta” dalam tanda kutip, adalah kudeta-kudetaan, atau dalam konteks tulisan ini, adalah rencana kudeta yang gagal. Itu yang terjadi pada Partai Demokrat, yang coba dikudeta.
Mungkin baru di negeri ini ada partai dikudeta, dirampas hak kepemimpinannya, diganti dengan pimpinan baru. Itu bisa pemimpin dari dalam, atau dari luar.
Bisa juga memakai pemain lawas yang tersingkir, dan yang masih punya “greget” di partainya. Sepertinya “kudeta” model demikian yang kerap dipakai.
Sejarah “kudeta” partai politik bukan hal baru, dan tulisan ini membatasi pada Orde Reformasi. Kudeta paling awal mengena pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dimulai dari pecat-memecat antara Suryadharma Ali (Ketua Umum) dan Muhammad Romahurmuziy (Sekjen).
Kubu Romahurmuziy mendahului mengadakan Muktamar Surabaya, 15-18 Oktober 2014, padahal kubu Suryadharma Ali jauh sebelumnya telah mencanangkan Muktamar 30 Oktober 2014, di Jakarta.
Sebelum Muktamar Jakarta diselenggarakan, keluarlah SK Menkumham mengesahkan hasil Muktamar PPP Surabaya, dengan Ketua Umumnya Muhammad Romahurmuziy.
Muktamar PPP Jakarta tetap dilaksanakan, dan mengangkat Djan Faridz sebagai Ketua Umum. Dan menolak SK Menkumham itu, dan lalu menuntutnya ke PTUN Jakarta, dan kalah. Maka “kudeta” PPP itu berhasil.
Tidak lama kemudian Suryadharma Ali meringkuk di penjara, tuduhan korupsi. Beberapa tahun kemudian ketua umum hasil kudeta, Romahurmuziy, juga ngalami hal sama, ditangkap OTT KPK di Surabaya. Diangkat sebagai Ketua Umum di Surabaya, dan ditangkap juga di kota yang sama.
Setelah itu “kudeta” dialami partai hasil reformasi, Partai Amanat Nasional (PAN). Dan itu di Kongres PAN V di Kendari, Sulawesi Tenggara. Kongres kisruh dengan lempar-lemparan kursi antar kubu Zulkifli Hasan (Zulhas), Ketua Umum yang ingin maju lagi, dan kubu “God Father“, M. Amien Rais.
Muncul di kongres itu dua tokoh elit yang juga mantan ketua umum sebelumnya, Sutrisno Bachir dan Hatta Rajasa. Dua tokoh yang sebenarnya sudah lama tidak aktif di PAN. Mereka itu semua anak didik politik Amien Rais. Di Kendari mereka berhadap-hadapan untuk “menggulingkan” sang guru.
Mereka semua berpihak pada Zulhas, sedang Amien Rais mencalonkan figur Mulfachri Harahap untuk memimpin PAN. Zulhas sendiri adalah besan dari Pak Amien Rais. Perang antarbesan. Dalam politik semua bisa terjadi.
Lalu, Amien Rais yang memang bersikap kritis pada pemerintah tersungkur di Kendari. Bukan itu saja, Amien Rais “diusir” dari rumah yang didirikan dan dirawatnya, PAN. Akhir yang mengenaskan.
Maka “kudeta” terhadap tokoh kritis yang dianggap krikil tajam dalam sepatu kekuasaan, itu dianggap berhasil. Amien Rais sadar bahwa ada tangan kuat yang bermain dalam kongres itu, lalu ia memilih untuk tidak melawan.
Lalu permainan model kudeta itu juga akan dimainkan lagi, dan itu pada Partai Demokrat. Memakai para mantan pengurus yang sudah lama tidak aktif, dan tidak “bergigi”, baik di mata Pengurus Cabang/Daerah dan apalagi Pengurus Pusat.
Akan memasukkan, dan jika itu benar, adalah figur luar partai yang tidak ada hubungan historis dengan Partai Demokrat. Figur itu adalah Pak Moeldoko, kepala Kantor Staf Presiden (KSP).
“Kudeta” itu untuk sementara gagal total, tapi tidak mustahil akan dipakai strategi lain yang lebih canggih, bisa dengan halus, atau bahkan kasar. Skenario itu bisa dibuat dengan model dan cara apa saja yang memungkinkan.
Berkah “Kudeta” Gagal
Bagaimana nasib partai-partai lainnya, apakah juga akan bernasib sama, diganggu oleh isu “kudeta”, tentu itu tergantung. Bisa dilihat dari seberapa pentingnya partai itu untuk bisa diganggu.
Dua partai yang berhasil “dikudeta” itu (PPP dan PAN), lalu menjadi partai penurut. Karenanya, akan sulit bersaing dalam pemilihan legislatif (Pileg) tahun 2024. Bisa lolos dari electoral threshold parliament 4% itu saja sudah bagus. Malah prediksi pengamat mengatakan sulit untuk bisa lolos.
Sedang Partai Demokrat, yang dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), anak muda dengan pangkat Mayor, yang coba “dikudeta”, jika itu benar, oleh Jenhderal (Pur) Moeldoko, mendapat berkah.
Blessing in disguise… dan dari gagal kudeta itu, justru berkah yang diraup-didapat. Isu kudeta gagal itu bisa dikemas menjadi nilai tersendiri buat Demokrat. Menjadi iklan gratis yang hadir di benak publik.
Tidak perlu banyak narasi diumbar untuk menaikkan “bendera” partainya di mana-mana. Karena bendera atas nama “dizalimi” itu tercipta dengan sendirinya. Dan itu dibaca baik oleh publik.
Tampaknya AHY, bisa jadi secara kebetulan, mengulang sejarah Ayahanda Pak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang memakai konsep “dizalimi”, dan itu oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
“Dizalimi” itu lalu mengerek nama SBY melambung di hati rakyat, dan pada tahun 2004, ia memenangi kontestasi Pilpres mengalahkan Ibu Megawati. Soal mengemas “rengekan” demikian Pak SBY memang jagonya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Hari-hari ini publik diajak AHY untuk menantikan balasan suratnya. Surat sebagai ketua partai, yang dilayangkan pada Presiden Jokowi. Mustahil surat resmi partai itu tidak dibalasnya.
Tapi balasan dari Presiden Jokowi itu mesti dipikirkan dengan cermat. Surat itu memang tampak menjebak dan politis sifatnya. Menjawab dengan “tidak tahu” dengan rencana Pak Moeldoko itu punya konsekuensi, setidaknya meminta pihak Kepolisian untuk menyelidiki kebenaran kabar itu. Mustahil juga jika menjawab, “tahu” atas rencana “kudeta” itu, pastilah punya konsekuensi hukum serius.
AHY dan Partai Demokrat dalam beberapa hari ini, dan bahkan sampai pekan-pekan depan, akan bisa memainkan isu “kudeta” ini dengan baik. Mencicil berita sedikit demi sedikit pola dari rencana “kudeta” gagal itu terus ditiupkan. Sah-sah saja jika itu didasari pada data-data yang dipunya.
Mengemas isu yang meski tidak mengenakkan, itu bisa jadi berkah tersendiri jika bisa memainkannya secara baik, terukur dan tanpa menambah-nambahkan hal yang tidak semestinya.
AHY bisa kokoh menghadapi itu semua, karena partai yang dipimpinnya itu solid, dari daerah sampai pusat. Karenanya, sulit ditembus kekuatan luar untuk merebut partainya dengan cara-cara yang diada-adakan.
Dan jangan lupa, Partai Demokrat itu masih punya begawan strategi politik yang tidak cuma bisa membaca kecenderungan politik yang ada. Tapi juga “jago” memainkan suasana batin publik… Pak SBY sulit dicari tandingannya. (*)
Kolumnis, tinggal di Surabaya