Oleh: Ady Amar
Hidayatullah.com | ENTAH kenapa yang muncul dalam mimpi semalam itu sosok Harun Masiku. Orang yang tidak saya kenal, kecuali namanya saja.
Harun Masiku, itu politisi PDI Perjuangan. Gagal ke Senayan, meski uang sudah banyak keluar. Gagal sebagai legislator, tapi keinginan kerasnya tidak surut. Segala cara ditempuh.
Dan mulailah atur mengatur, bagaimana cara bisa menggusur kawan separtai. Maka, itu melibatkan seorang komisioner KPU. Konon terlibat juga petinggi partainya.
Tidak berhasil, dan yang tertangkap oleh komisi anti rasuah, KPK, justru komisioner KPU itu. Dan Harun Masiku lari entah ke mana, serasa di telan bumi.
Sampai semalam tiba-tiba eh tanpa dinyana ia muncul dalam mimpi. Sama sekali tidak kelihatan seperti pelarian yang lusuh. Tetap tampil menawan, sebagaimana pada foto di poster saat sebagai calon legeslatif.
Dia tidak pakai baju merah sebagaimana warna partainya. Dalam mimpi itu ia pakai t-shirt hitam dan sepertinya dipadu dengan celana jeans. Tampilan rapi.
Saya tanya, “Abang ke mana saja?”
Jawabnya, “Ada, di seputaran Jakarta saja, kok.”
“Ya, tapi abang tahu tidak kalau selama ini dicari-cari KPK?”
“Ya tahulah, kan itu ada dalam pemberitaan. Bahkan tahu siapa saja yang mempertanyakan kemampuan KPK menangkap saya.”
“Kok Abang bisa menghilang begitu, sehingga tidak tertangkap-tangkap?” tanya saya ngebet.
“Ya kan saya memang tidak sedang dicari. Kalau dicari serius, mustahil gak tertangkap, iya kan?” songong juga nih orang pikir saya.
“Aneh ya, kok Abang seperti banyak orang sangka, memang sebagai pihak yang dilindungi. Bahkan ada yang mengatakan, tidak mungkin Harun Masiku itu bisa ditangkap… kenapa ya Bang, apa benar yang disangkakan orang-orang itu?”
Sayang belum sampai Harun Masiku menjawab pertanyaan yang semestinya bisa sedikit banyak membuka misteri di balik pelariannya, suara azan Subuh melengking dari masjid dekat rumah membangunkan, dan tentu membuyarkan mimpi bertemu Harun Masiku.
Mimpi-Mimpian Itu Semacam Dialog Imajiner
Apakah benar kisah di atas, mimpi bertemu Harun Masiku itu? Jika benar pun, tidak perlulah mimpi demikian, lalu yang bermimpi harus diperlakukan semacam Babe Heikal Hasan, yang disidik tentang kebenaran mimpinya bertemu Nabi Muhammad ﷺ.
Masa mimpi buronan Harun Masiku, harus juga dipersoalkan pihak-pihak yang akrab lapor melaporkan. Seperti kurang kerjaan saja, atau justru itu memang kerjaannya. Gak ngerti juga, ya.
Bermimpi Harun Masiku di atas, itu tentu sekadar mimpi-mimpian. Mimpi tidak sebenarnya, yang lalu bisa buat bahan tulisan. “Mimpi Harun Masiku”, itu ide penulisannya tentu dari ramai-ramai mempersoalkan kebenaran atas mimpi.
Apakah mimpi-mimpian akan juga dipersoalkan, kok gak yakin itu akan dipersoalkan ya… Meski, sekali lagi… sekali lagi ya, itu bisa dapat point jika dilaporkan.
Kelompok yang suka lapor melaporkan, itu pastinya tidak faham benar akan hadirnya Orde Reformasi, yang kreatifitas dan kekritisan adalah hal biasa di era demokrasi.
Era Orde Baru yang represif, yang menyumpal demokrasi, itu saja tidak sampai ada tragedi mimpi yang dipersoalkan, dan lalu dilaporkan pada kepolisian.
Mimpi yang diceritakan itu, sama saja dengan dialog imajiner. Adalah Christianto Wibisono, pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), suka menulis opini dengan teknik dialog imajiner. Itu di pertengahan tahun ’80an, dikenal sebagai puncak-puncaknya represif.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Tidak tanggung-tanggung, tulisan dari dialog imajinernya itu, tokoh yang diwawancarai adalah Bung Karno– saat itu membicarakan Presiden Pertama– itu “dianggap” tabu. Apalagi yang didialogkan itu, meski tersirat, berbagai hal sensitif dalam mengoreksi Orde Baru.
Entah berapa belas tulisan yang dibuatnya. Tidak tahu apakah kumpulan tulisannya itu, “Dialog Imajiner dengan Bung Karno”, itu lalu dibukukan. Tidak tahu persis.
Dialog imajinernya itu dimuat dibanyak media mainstrem. Tulisan-tulisannya itu, tidak lalu sampai sang penulis dimasalahkan. Ia terus menulis, dan aman-aman saja.
Christianto Wibisono, membangun narasi atas pertanyaan dan jawaban Bung Karno berdasar apa yang diinginkannya. Bertanya dan dijawabnya sendiri, layaknya drama monoplay, yang dimainkan seorang artis di atas pentas, dan dalam berbagai peran.
Karenanya, “mimpi” bertemu Harun Masiku di atas, itu sekadar dialog, yang dibangun dengan narasi sekadarnya. Tentu agar tidak ada pihak yang tersinggung, lalu cemen memilih harus lapor melaporkan.*
Penulis kolumis,tinggal di Surabaya