Oleh: Fahmi Salim
Hidayatullah.com | MASIH ingat dengan aksi brutal seorang teroris yang menembaki jamaah di Masjid An-Noor dan Linwood, Christchurch, Selandia Baru? Aksi yang disiarkan lewat video livestreaming oleh pelaku ini telah menewaskan 51 kaum Muslimin dan melukai puluhan orang. Salah seorang korbannya adalah warga negara Indonesia. Saat ini, pelaku yang bernama Brenton Tarrant sudah divonis penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat, yang dibacakan hakim pengadilan pada Kamis lalu, 27 Agustus 2020.
Hukuman ini tentu belum bisa menggantikan rasa duka kaum Muslimin. Tak hanya soal luka fisik, juga trauma psikis yang dialami umat Islam Selandia Baru yang belum tersembuhkan, “Saya kembali teringat dengan peristiwa yang memilukan itu, sulit diungkapkan dengan kata-kata,” ujar Reza Abdul Jabbar, saat kami tanya dalam program Ngaji Syar’ie (NGESHARE), “Ngaji Dulu, Alim Kemudian.” Reza adalah warga negara Indonesia yang lama tinggal di Selandia Baru, yang juga aktif sebagai pendakwah selain sebagai pengusaha ternak sapi. Saat itu, sebagai Imam Invercargill ia diminta Pemerintah Selandia Baru ikut terlibat mengurusi jenazah korban kekejaman teroris. Kisah selengkapnya lihat di link ini: https://youtu.be/vKLQDyil3KE
Selandia Baru adalah negara yang dikenal paling aman di dunia, tapi tiba-tiba dikejutkan dengan aksi teroris ini. Apakah ini bukti masih adanya Islamophobia atau ketakutan sebagian warga barat terhadap tumbuhnya Islam di berbagai belahan bumi ini, termasuk di Selandia Baru. Kita tidak berharap pelaku menyesal apalagi meminta maaf dengan aksi kejamnya ini, namun perilaku kejamnya telah mengganggu nalar kita sebagai manusia beradab, bahkan dikhawatirkan bisa menjadi inspirasi kekejaman serupa di negara minoritas Muslim lainnya.
Namun, sebagai orang beriman, kita memiliki modal kesabaran, seperti ayat yang dibacakan Reza dalam surat Al Baqarah. “Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS Al Baqarah: 153). Ayat selanjutnya, ayat 154, menggambarkan bagaimana kondisi para korban penembakan di Christchurch, yang tentu melegakan bagi orang-orang beriman.“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati, karena (sebenarnya) mereka itu hidup tetapi engkau tidak menyadarinya.”
Jauh sebelum peristiwa ini, Islamofobia sudah sengaja disebarkan melalui berbagai media mainstream barat dan kajian orientalisme yang menuduh Islam sebagai agama perang melalui doktrin jihadnya. Kemudian, Islam sengaja diidentikan dengan agama teroris pasca tragedi ‘nine eleven’ (11 September 2001), yang meruntuhkan menara kembar Warld Trade Center (WTC) di New York. Aksi yang diawali dengan pembacakan pesawat kemudian ditabrakkan ke gedung simbol kedigdayaan ekonomi Amerika Serikat ini, konon dilakukan oleh kelompok teroris Islam, Al Qaida.
Namun, kejadian penuh konspirasi ini akhrinya terkuak. Gedung kembar itu runtuh, bukan karena tabrakan pesawat, tapi bom yang sengaja dipasang di dalam gedung. Bahkan, mata dunia pun makin terbuka, hanya selang beberapa minggu setelah kejadian itu, Amerika Serikat menginvasi Afghanistan dan menggulingkan penguasa Thaliban, karena dituding menyembunyikan Osama bin Laden, dalang dari aksi serangan ke WTC. Irak pun jadi sasaran perang global melawan terorisme, kembali diinvasi oleh AS hingga Presiden Saddam Husein digulingkan dan bersama para pimpinan partai sosialis yang berkuasa, ‘Ba’ats’ Irak, ia dihukum mati di tiang gantungan. Hingga kini kondisi Irak pasca Saddam bukannya membaik, malah semakin tenggelam dalam konflik politik sektarian yang berdarah.
Sejak itu pula, Pressiden Amerika Serikat, George W. Bush melancarkan operasi melawan terorisme di berbagai negara, yang selalu dikaitkan dengan jejaring Al Qaida, termasuk di Indonesia. Serangan teror selalu dialamatkan kepada umat Islam sebagai tertuduh. Islam dan Muslim selalu dianggap bersalah, dan dilabeli sebagai penyebab radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.
Tragedi yang terjadi di Selandia Baru merupakan bukti bahwa Islamofobia masih menjangkiti masyarakat barat. Perang opini yang menyudutkan Islam dan umat Islam masih banyak menghiasi media-media barat, yang dikampanyekan para pemimpin politik garis keras. Namun, setelah itu, apakah cahaya Islam menjadi padam? Yang terjadi sebaliknya, banyak orang yang menjadi penasaran tentang agama Islam, yang kemudian Allah membukakan pintu hidayah bagi mereka yang belajar memahami Islam dari sumber aslinya, yaitu Al Quran. Allah Ta’ala berfirman: “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.” (QS. Ash-Shaff: 7). Begitulah skenario Allah yang terbaik, sebesar apa pun konspirasi yang dilakukan mereka untuk menjatuhkan citra Islam.
Perkembangan jumlah penganut Islam makin pesat di dunia, dan diperkirakan akan menyalip agama Kristen. Jumlah Muslim di Selandia Baru menurut sensus 2013 mencapai 46.149 jiwa atau naik 28 persen dari 36.072 pada sensus 2006. Mayoritas Muslim tinggal di daerah Auckland, sedangkan sisanya tinggal di Wellington, Ibu kota negara, atau empat kota besar lainnya. Muslim Selandia Baru diprediksi bakal mencapai 100.000 jiwa pada tahun 2030, menurut The Journal of Muslim Minority Affairs.
Jumlah Muslim di Selandia Baru masih minoritas hanya 2 persen dibanding populasi penduduk negeri Kiwi ini. Seperti yang dialami Reza, pada 10 tahun silam masih sulit menemukan masjid, apalagi untuk shalat jamaah di kampus-kampus. Tapi, kondisinya sekarang sudah berubah. “Ada sekitar 60 masjid yang tersebar di negeri Selandia Baru ini,” ungkapnya.
Masyarakat Selandia Baru sangat toleran dengan perbedaan agama. Bahkan, berdasarkan berbagai survey, 41% warga Selandia Baru menyebut diri mereka tidak beragama atau ateis. Bahkan, jumlah ini bisa saja terus meningkat, menurut Reza Abdul Jabbar, bisa mencapai lebih dari 60 % . Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Kate Laurell Ardern yang besar dari keluarga Mormon, juga mengklaim dirinya sebagai Agnostik, mengikuti pola beberapa negara yang tak lagi menjadikan agama faktor penting dari kehidupan sosial. “Inilah peluang dakwah bagi kita untuk menyampaikan agama tauhid,” ujar Reza, yang aktif sebagai imam masjid di Invercargill ini.
Ketika tragedi penembakan yang menimpa kaum Muslimin, kita pun disuguhi pemandangan yang mengharukan. Solidaritas masyarakat Selandia Baru begitu besar, karena didorong rasa kemanusiaan yang tinggi. Perdana Menteri Jacinda ketika berpidato mengucapkan salam, dan mengenakan kerudung sebagai bentuk penghormatan terhadap para korban. Warga Selandia Baru, bahkan para geng motor besar pun ikut berjaga-jaga ketika shalat jumat digelar seminggu setelah kejadian tragis itu.
Agama Islam sesungguhnya bukan hal yang baru bagi masyarakat Selandia Baru. Dilansir dari New Zealand Journal of Asian Studies VIII berjudul “New Zealand’s Muslim and Their Organisations”, William Shepard menyebutkan Muslim pertama di negara itu adalah 15 penambang emas China yang bekerja di Dunstan di Pulau Selatan pada 1874. Setelah itu, datang pedagang dari Gujarat, India membuka toko kecil di kota Auckland sebelah selatan. Namun, pada 1920, pemerintah Selandia Baru memperketat masuknya imigran dengan membuat aturan pembatasan imigran. Sehingga populasi umat Islam di Selandia Baru setelah Perang Dunia II tidak kurang dari 100 orang.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Pada pertengahan tahun 1960, kebijakan imigran mulai lebih longgar. Sehingga banyak tenaga kerja profesional dari berbagai negara Asia. Mahasiswa Muslim juga banyak yang datang untuk melanjutkan pendidikan di kampus-kampus Selandia Baru. Komunitas Muslim saat ini didominasi etnis India. Selain itu, ada yang berasal dari berbagai negara Arab, Malaysia, Indonesia, Iran, Somalia, Balkan dan Afghanistan. Tak mengherankan, jumlah Muslim terus melonjak. Setelah itu, imigran Muslim semakin banyak berdatangan dan menunjukan kesuksesannya, contohnya, Reza Abdul Jabbar, seorang pengusaha asal Pontianak yang kini memiliki ribuan sapi perah di Invercargill.
Reza nekat merantau ke Selandia Baru saat masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Kemudian, ia melanjutkan pendidikannya hingga pasca sarjana di Fakultas Pertanian dan Peternakan, Massey University. Setamat kuliah, ia bekerja di sebuah perusahaan peternakan sapi potong, rusa, kambing, dan domba. Setelah lama berkarir sebagai pekerja, ia kemudian memberanikan diri untuk membuka usaha peternakan sendiri pada tahun 2002, dengan modal awal 20 ekor sapi.
Karena disiplin, semangat kerja dan tentunya pertolongan Allah Ta’ala, bisnis peternakan yang digelutinya mencapai kesuksesan. Ia berhasil menjalin kerja sama dengan peternak lainnya, kemudian membangun koperasi pengolahan susu bernama Fonterra di Edendale, yang menaungi 6.789 peternakan, dan mampu mengolah 15 juta liter susu per hari. Pasaran pabrik susu menjangkau seluruh dunia, terutama Asia Pasifik.
Reza dan umat Islam lainnya yang tinggal di negara-negara barat merupakan duta-duta untuk menunjukan Islam sebagai agama rahmat bagi alam semesta, sekaligus menepis anggapan masyarakat barat yang keliru. Bahkan, Reza menjadi duta bangsa Indonesia.
Inilah bukti nubuwwah yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits shahih, “Sungguh agama Islam ini akan sampai ke bumi yang dilalui oleh malam dan siang. Allah tidak akan melewatkan seluruh kota dan pelosok desa, kecuali memasukkan agama ini ke daerah itu, dengan memuliakan yang mulia dan merendahkan yang hina. Yakni memuliakan dengan Islam dan merendahkannya dengan kekufuran”. (HR Ibnu Hibban). WAllahu ‘alam.*
Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Komisi Dakwah MUI. Artikel ini Ngeshare Bersama Reza Abdul Jabbar