Oleh: Andi Ryansyah
MINGGU ini kita disibukkan dengan pro kontranya hari lahir Pancasila, 1 Juni. Rasanya yang terpenting dari peringatan ini, kita mengamalkan Pancasila saja lah. Karena belakangan ini kita sudah bosan melihat Pancasila oleh sebagian kalangan ramai digembar-gemborkan, dipidatokan, disemboyankan, dan dikampanyekan, tapi sepi-sepi saja diamalkan dalam kehidupan nyata. Bahkan malah dikhianati.
Ada partai yang berteriak ideologinya Pancasila dan katanya partai wong cilik, tapi mendukung calon gubernur yang menghancurkan rumah orang miskin. Ada pejabat publik yang menegaskan Pancasila sebagai ideologi negara, tapi menodai kesucian agama. Ada pemimpin yang berkata “Saya Indonesia, Saya Pancasila”, tapi membiarkan tambang emas dirampas asing. Beribu kali diucapkan pun Pancasila itu, akan kosong saja kata-katanya. Tak berdampak!
“Yang Pancasilais itu kan bukan yang ‘senang ngomong’ Pancasila melulu,” ujar Tokoh NU, mantan Menteri Agama, Kiai Saifuddin Zuhri, dalam Panji Masyarakat, 15/10/1978. “Bahwa esensi Pancasila tidak pada ‘ngomong’nya, tapi perbuatan.”
Kiai Saifuddin betul! Pertanyaannya, yang seperti apa perbuatan Pancasila itu? Dijawab oleh anaknya, Menteri Agama yang sekarang, Lukman Hakim Saifuddin. Kata Lukman, Pancasila pada hakikatnya merupakan wujud dari pengamalan dan pelaksanaan nilai agama (Republika, 2/6/2017). Itu artinya, orang-orang yang menjalankan ajaran agamanya, otomatis juga mengamalkan Pancasila. Jadi sangat mengherankan kalau ada kalangan yang masih doyan membenturkan syariat agama dengan Pancasila.
Kalau hari-hari ini kita tidak merasakan hidup berpancasila, barangkali memang itu karena kita belum sepenuhnya mengamalkan ajaran agama. Kita masih memisahkan politik dengan agama, tidak adil menegakkan hukum, intoleran, berkata kasar, mencaci dan memusuhi saudara sebangsa, bertindak sewenang-wenang, tidak berdaulat atas kekayaan sumber daya alam, korupsi, membiarkan yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin, dan seterusnya. Karenanya sangat mendesak kita menerapkan kehidupan beragama sekarang ini.
Seorang cendekiawan muslim, Prof.Dr.Deliar Noer, dalam bukunya Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal (1983) menyebutkan, di antara syarat hidupnya lingkungan penghayatan dan pengamalan Pancasila adalah kehidupan beragama. “Tidak pada perumusan-perumusan, tidak pada penjabaran yang sengaja disusun, dan tidak pada bentuk-bentuk penyelenggaraan yang sengaja dipersiapkan apalagi dengan biaya jutaan,” terangnya.
Untuk menciptakan kehidupan beragama, sangat diperlukan peran aktif umat Islam. Mengingat jumlahnya paling banyak di negeri ini. Tentu akan sangat memberikan pengaruh besar bagi kehidupan beragama. Terlebih Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Baca: Jangan Pertentangkan Islam dan Pancasila
Dakwah Media BCA - Green
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Selain umat Islam, peran penguasa juga sangat penting dalam menjaga agama. Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali, menyatakan, agama sebagai pondasi dan peguasa adalah penjaganya. Sesuatu tanpa pondasi, maka akan runtuh. Begitu pun sesuatu tanpa penjaganya, maka akan musnah. Menjaga dengan cara seperti apa? Misal, dengan menjamin dan melindungi kebebasan warga negaranya untuk menjalankan ajaran agamanya masing-masing, atau membuat kebijakan-kebijakan yang memuat syariat agama.
Kita bersyukur sudah ada UU Peradilan Agama, UU Perkawinan, UU Haji, UU Zakat, UU Wakaf, UU Perbankan Syariah, UU Jaminan Produk halal dan lain sebagainya. Tentu ini menggembirakan. Apalagi kalau Undang-Undang semacam ini lebih banyak lagi diproduksi. Meski begitu, masih banyak juga Undang-Undang yang bertentangan dengan agama, terutama hukum pidana. Ini yang harus disesuaikan.
Kalau umat dan penguasa bisa menjaga kehidupan beragama, maka niscaya terjaga pula Pancasila. Menjalankan ajaran agama akan semakin mengokohkan Pancasila.
Karenanya jangan lagi ukuran Pancasila selalu ditempatkan di belakang pemujaan terhadap tokoh. Tapi tempatkanlah ia sekarang di belakang agama.*
Penulis adalah pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)