Oleh: Kholila Ulin Ni’ma
KONTRAK karya PT Freeport Indonesia akan berakhir pada 2021 mendatang dan bisa mengajukan perpanjangan operasi paling cepat pada 2019.
Sesuai peraturan pemerintah nomor 77 tahun 2014, Freeport Indonesia harus melepas 20% saham tahun ini. Adapun saham pemerintah Indonesia di perusahaan itu baru mencapai 9,36%.
Faktanya, renegosiasi perpanjangan kontrak tambang di Papua sampai tahun 2041 sudah dilakukan. Peristiwa ini tak urung membuat gaduh jagat politik Indonesia.
Sesuai Pasal 83 huruf g UU No. 4/2009 tentang Minerba, IUPK bisa diberikan maksimal 20 tahun dan bisa diperpanjang dua kali masing-masing 10 tahun sehingga totalnya 40 tahun. Jika IUPK tersebut jadi diberikan kepada PTFI mulai tahun 2021 nanti, itu artinya PT Freeport akan mendapatkan legalitas untuk terus menguras kekayaan emas, perak, dan tembaga di Papua hingga tahun 2061.
Penjarahan Gunung Emas di Papua
Lisa Pease, seorang penulis asal amerika Serikat, menulis artikel berjudul “JFK, Indonesia, CIA and Freeport Sulphur.” Artikel yang dimuat di Majalah Probe (Maret 1996) dan di situs Real History Archives (realhistoryarchives.com) itu menggambarkan jejak penjajahan Freeport di Indonesia.
Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya, nyaris bangkrut ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun pada tahun 1959. Saat itu di Kuba, Fidel Castro sebagai presiden baru berusaha menasionalisasikan seluruh perusahaan di negeri itu. Freeport Sulphur yang baru saja hendak melakukan pengapalan nikel produksi perdananya dari Kuba, akhirnya terkena imbasnya. Maka terjadi ketegangan di Kuba.
Ditengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur melakukan pertemuan dengan Direktur pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen.
Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita jika dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jacques Dozy di tahun 1936. Uniknya, laporan itu sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja di perpustakaan Belanda. Namun, Gruisen tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu dan kemudian membacanya.
Dengan berapi-api, Gruisen bercerita kepada pemimpin Freeport Sulphur itu, bahwa selain memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan alamnya yang begitu melimpah. Kandungan biji tembaga yang ada disekujur tubuh Gunung Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah, bukan hanya tersembunyi di dalam tanah. Di situ ditemukan kandungan tembaga sebanyak 13 juta ton di atas permukaan tanah dan 14 juta ton di perut bumi. Tak berlebihan bila Dozy menamai gunung temuannya itu Erstberg alias gunung bijih.
Mendengar hal itu, Wilson sangat antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat untuk mengecek kebenaran cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar, maka perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari kebangkrutan yang sudah di depan mata.
Selama beberapa bulan, Forbes Wilson melakukan survey dengan seksama atas Gunung Ersberg dan juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini kelak ditulisnya dalam berjudul The Conquest of Cooper Mountain. Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar, yang untuk memperolehnya tidak perlu menyelam lagi karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah.
Dari udara, tanah di sekujur gunung tersebut berkilauan ditimpa sinar matahari. Wilson juga mendapatkan temuan yang nyaris membuatnya gila kegirangan. Karena selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi bijih emas dan perak!!
Freeport Sulphur bergegas mengadakan Kontrak Karya dengan Indonesia. Namun, di saat yang sama, masih terjadi sengketa wilayah Papua Barat di mana Belanda belum mau menyerahkannya kepada Indonesia. Di sinilah mulai muncul peran Amerika Serikat yang secara politik, berkepentingan agar Indonesia berganti haluan menjadi negara lebih pro-barat, ketimbang pro uni soviet dengan paham komunisme mereka.
Lewat diplomat AS, Elsworth Bunker, akhirnya terselenggara Perjanjian New York, pada 15 Agustus 1962, yang menetapkan kesediaan Belanda per 1 oktober 1962, menyerahkan wilayah Papua Barat kepada Indonesia. Tak lama setelah itu, gejolak politik dalam negeri Indonesia pun seiring dengan keinginan Amerika Serikat. Namun, lagi-lagi freeport terkendala dengan presiden Soekarno yang juga ingin menasionalisasikan perusahaan-perusahaandi Indonesia. Berbagai upayapun dilakukan hingga muncul Soeharto sebagai pemimpin Indonesia generasi berikutnya yang pro-barat.
Tak lama berkuasa, Presiden Soeharto langsung menerbitkan UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, sebagai jalan yang dianggap paling cepat guna menumbuhkan pembangunan ekonomi. Gayung pun bersambut. Pada tanggal 7 April 1967, Freeport mempunyai hak ekslusif kontrak karya penambangan batubara seluas 10 ribu hektar di sekitar Gunung Eistberg dan Grasberg, selama 30 tahun, dengan kemungkinan diperpanjang minimal 2 kali 10 tahun. Freeport mendapat hak konsensi lahan penambangan seluas 10.908 hektar untuk kontrak selama 30 tahun terhitung sejak kegiatan komersial pertama dilakukan.
Tahun 1988, Freeport menemukan adanya cebakan endapan tembaga dan emas dengan cadangan lebih dari 400 metrik ton. Dengan alasan membutuhkan tambahan dana investasi yang kelewat besar, Freeport mulai mengurus perpanjangan kontrak karya untuk 30 tahun kedua.
Penguasaan Freeport atas tambang emas dan tembaga di Papua, kian moncer menyusul pada tahun 1996, kontrak kerja Freeport diperpanjang untuk 30 tahun kedua. Bahkan, Freeport kembali mendapat lahan ekplorasi tambahan, menjadi dua blok. Blok A di wilayah Gunung Grasberg dan Etsberg seluas 10 ribu hektar, serta Blok B mencakup seluruh dataran tinggi hingga perbatasan Papua Nugini, seluas dua juta hektar.
Hasil tambang Freeport di Papua juga sempat menurun, akhirnya berhasil mengakuisisi Mc Moran Oil and Gas. Namanya pun berubah menjadi Freeport Mc Moran Cooper and Gold Incorporation.
Namun, komposisi kepemilikan saham PT Freeport Indonesia, tidak ada yang berubah. Yakni 81,27 persen milik Freeport Mr Moran, 9,36 persen milik pemerintah Indonesia dan 9,36 persen milik PT INdocopper Investama Corporation sebagai swasta Indonesia. Sementara komposisi saham Indocopper, terdiri dari 50,48 persen milik PT Nusamba Mineral Industri, 49 persen dikuasai Freeport Mc Moran dan 0,52 persen milik publik.
Begitulah seterusnya, semua perjanjian-perjanjian pengeksplotasian tambang-tambang di bumi Indonesia dilakukan secara tak wajar, tak adil dan terus-menerus serta perjanjian-perjanjian tersebut akan berlaku selama puluhan bahkan bisa jadi ratusan tahun ke depan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kekayaan alam Indonesia pun digadaikan, kekayaan Indonesia pun terjual, dirampok, dibawa kabur ke negara-negara pro-zionis, itupun tanpa menyejahterakan rakyat Indonesia selama puluhan tahun lamanya.
Tahun 1996, seorang eksekutif Freeport-McMoran, George A.Maley, menulis sebuah buku berjudul “Grasberg” setebal 384 halaman dan memaparkan jika tambang emas di Irian Barat itu memiliki deposit terbesar di dunia, sedangkan untuk bijih tembaganya menempati urutan ketiga terbesar didunia.
Maley menulis, data tahun 1995 menunjukkan jika di areal ini tersimpan cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar dollar AS dan masih akan menguntungkan untuk 45 tahun ke depan.
Ironisnya, Maley dengan bangga juga menulis jika biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar di dunia yang ada di Irian Barat itu merupakan yang termurah di dunia!!
Freeport sama sekali tidak mau kehilangan emasnya itu dan membangun pipa-pipa raksasa dan kuat dari Tambang Grasberg (Grasberg Mine) atau Tembagapura sepanjang 100 kilometer langsung menuju ke Laut Arafuru dimana telah menunggu kapal-kapal besar yang akan mengangkut emas dan tembaga itu ke Amerika.
Ini sungguh-sungguh perampokan besar yang direstui oleh pemerintah Indonesia sampai sekarang!!
Kini gunung emas itu telah menjadi lembah yang dalam. Semua emas, perak, dan tembaga yang ada digunung tersebut telah dibawa kabur ke Amerika, meninggalkan limbah beracun yang mencemari sungai-sungai dan tanah-tanah orang Papua hingga ratusan tahun ke depan.
Dan menurut penelitian Greenpeace, Operasi Freeport McMoran di Papua telah membuang lebih dari 200.000 ton tailing perharinya ke sungai Otomina dan Aikwa, yang kemudian mengalir ke Laut Arafura. Dan hingga 2006 lalu saja diperkirakan sudah membuang hingga tiga miliar ton tailing yang sebagian besar berakhir di lautan.
Untuk melancarkan misinya, Freeport McMoran sendiri telah menganggarkan dana untuk para penguasa di Indonesia dan keluarganya yang walau jumlahnya sangat besar bagi kita, namun bagi mereka terbilang kecil karena jumlah laba dari tambang itu memang sangat dahsyat.* (BERSAMBUNG)
Alumnus Pascasarjana IAIN Tulungagung