Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Agung Pribadi
K.H. Shalahudin Wahid ketika menjadi anggota Komnas HAM tahun 2003 juga bercerita seperti ini di Teater Utan Kayu, Jakarta Timur.
Suwarno, salah seorang saksi sejarah, mengatakan bahwa dalam peristiwa Cemedok tahun 1965, ada sekitar 50 anggota Banser, GP Anshor mati diracun oleh anggota Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), organisasi underbouw PKI.
Saksi lain yang bernama Ishak juga menuturkan, ia melihat ayahnya dibantai oleh anggota PKI dan baru ditemukan jasadnya sepekan kemudian. Sedangkan korban lainnya mengaku bahwa PKI selalu mengintimidasi guru Madrasah, mengambil paksa tanah milik Yayasan Islam dan para kiai, serta sering membakar masjid. Itulah sebabnya, mereka berharap agar peristiwa sejarah itu benar-benar menjadi pelajaran dalam kehidupan berbangsa di masa mendatang (Liputan6.com 01/10/2002 ).
Salim Said ahli politik dan sejarawan mengatakan, “Saat itu, sebelum ditumpas, PKI banyak melakukan aksi sepihak di daerah. Mereka membagi-bagikan tanah milik kiai. Mereka menekan kiai. Di pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur, PKI tak hanya berkonflik dengan umat Islam. PKI dan kaum Marhaen juga saling membunuh.
Tapi yang mengherankan, saat itu di Jakarta pimpinan Marhaen (Soekarno, red) dengan pimpinan PKI saling berpelukan,” tandas Salim dalam acara Tabayyun Kebangsaan; Pemberontakan PKI 1948/65 di mata NU/GP Ansor, di kantor PP GP Ansor, Jl. Kramat Raya, Jakarta Pusat, Senin (15/10) (NU online).
Pada 1965 ini, fitnah, penghinaan, serta pembunuhan dilakukan PKI di berbagai tempat, sehingga terjadi konflik sosial yang bersifat horizontal antara pengikut PKI dengan kelompok Islam, terutama NU.
Serang-menyerang terjadi di berbagai tempat ibadah, perusakan pesantren dan masjid dilakukan, termasuk perampasan tanah para kiai. Bahkan pembunuhan pun dilakukan. Saat itu NU melakukan siaga penuh yang kemudian dibantu oleh GP Ansor dengan Banser sebagai pasukan khusus yang melindungi mereka.
Choirul Anam (Cak Anam), mantan ketua GP Anshor Jawa Timur yang menjadi saksi sejarah tahun 1965, mempertanyakan sikap Komnas HAM yang tak melakukan investigasi terhadap sejumlah pembunuhan terhadap kiai dan santri. Salah satunya pembantaian terhadap para anggota GP Ansor, beserta para kiai di Magetan yang jumlah korbannya mencapai ratusan orang. Belum lagi di daerah lain.
Kisah-kisah di atas sebenarnya hanya sebagian dari begitu banyak kasus penyerangan, pembunuhan, dan pembantaian yang dilakukan PKI ketika mereka sedang berada di atas angin.
Sayangnya tidak banyak saksi korban PKI yang mau menuliskan memoar atau catatan atas apa yang mereka alami di pertengahan tahun 60-an tersebut.
Sebaliknya, banyak mantan anggota PKI atau simpatisan PKI yang menuliskan memoar tentang berbagai peristiwa seputar gerakan PKI, tetapi menyembunyikan fakta kekejaman PKI dan hanya mengungkap betapa mereka menjadi korban. Bahkan tidak sedikit mantan anggota PKI yang menyangkal bahwa mereka dulu anggota PKI, padahal banyak saksi yang jelas-jelas di masa lalu melihat mereka begitu aktif sebagai aktivis gerakan PKI atau organisasi di bawahnya.
Sebagai contoh, penulis merasa kurang puas membaca buku memoar Oei Tjoe Tat, terutama yang berkenaan dengan peristiwa G30S. Di sana ia mengatakan tidak mengetahui peristiwa itu.
Atau ketika penulis bertemu langsung dengan Pramoedya Ananta Toer, yang setelah bebas selalu berkelit bahwa ia bukan angota PKI dan menunjukkan sikap seperti tidak tahu banyak tentang PKI. Sekalipun mungkin saja ia bukan anggota PKI tapi sepak terjangnya sangat menguntungkan PKI.
Suatu hari, penulis bertemu langsung dengan Pram dalam sebuah seminar di Universitas Indonesia. Saat itu penulis bertugas sebagai moderator dan Pram menjadi pembicaranya.
Pram saat itu berkata dia tidak tahu apa-apa tentang komunis. Kemudian penulis langsung bertanya, “Pak Pram, saya di rumah punya buku karangan Pak Pram, judulnya Realisme Sosialis, yang menjelaskan panjang lebar tentang komunisme marxisme dan teori realism sosialis dalam sastra. Artinya, Pak Pram sangat tahu benar tentang komunis. Bagaimana pendapat Pak Pram?” Dan Pramoedya Ananta Toer tidak menjawab pertanyaan penulis.
Sejarah mencatat, ketika Soekarno mencanangkan Demokrasi Terpimpin sebagai haluan negara dengan Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom) sebagai akarnya para sastrawan yang antikomunisme menggabungkan diri mereka dalam Manifest Kebudayaan (Manikebu) yang didirikan pada 17 Agustus 1963 dan menyebut diri mereka sebagai penganut humanism universal.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Padahal saksi hidup penanda tangan Manifes Kebudayaan tahu benar sepak terjang Pramoedya yang di masa lalu berusaha menjegal seniman dan sastrawan lain.
Pram meneror para sastrawan Manifes Kebudayaan agar dipecat dari jabatan publiknya dan karya-karya mereka dilarang untuk diterbitkan, serta tulisan-tulisan mereka dilarang dimuat dalam majalah dan koran.
Akhirnya, Presiden Soekarno membubarkan Manikebu pada 18 Mei 1964. “Para sastrawan Manikebu kemudian menjadi sengsara, terpojok, dan tanpa karya,” kata Taufiq Ismail.
Penulis juga tahu bahwa ada ketidakadilan yang dialami Pram sehingga mendekam di penjara, tapi itu bukan berarti Pram juga boleh menutup-nutupi keterlibatannya dan aksinya di masa lalu.
Sekarang Pram digambarkan seperti orang tidak bersalah dan korban ketidakadilan HAM. Padahal jika dilihat background-nya, ia korban dari aksinya sendiri.
Sekarang memang saatnya rekonsiliasi, saling memaafkan untuk masa depan yang lebih baik. Tapi bukan berarti sejarah pembantaian yang dilakukan PKI boleh dihapuskan. Wallahu A’lam Bish Shawab.*
Penulis buku “Gara-Gara Indonesia”, alumnus Jurusan Sejarah Universitas Indonesia