Oleh: Kholila Ulin Ni’ma
MASYARAKAT dibuat kaget dengan adanya fatwa Mejelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengatakan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS) Kesehatan tidak sesuai dengan syariat Islam.
Meskipun hasil Ijtimak Ulama V Tahun 2015 tersebut hanya menyatakan ‘tidak sesuai syariat’, tetap saja hal itu membuat masyarakat resah dan mulai berpikir tentang kehalalannya.
Pasalnya sudah banyak dari mereka yang terlanjur mendaftarkan diri dan keluarga sebagai penerima layanan BPJS.
Hasil Ijtimak MUI tersebut setidaknya memuat tiga poin yang menyebabkan BPJS kesehatan ini tidak sesuai dengan syariah.
Pertama, adanya riba yakni berupa bunga sebesar 2 persen dibebankan pada peserta BPJS jika mereka menunggak iuran.
Kedua, BPJS dinilai mengandung unsur gharar serta maisir. Gharar berarti ketidakjelasan kualitas dan kuantitas suatu produk sehingga bisa mengandung unsur penipuan.
Jika ada seorang karyawan yang gajinya dipotong tiap bulan oleh perusahaan dengan alasan membayar BPJS, maka yang diberikan oleh pihak BPJS kepada pihak rumahsakit hanya sekian persen. Dan sisanya tidak jelas kemana. Sedangkan maisir (judi) berarti merugikan sebagian pihak dan secara besar menguntungkan pihak tertentu tanpa harus kerja keras.
Ketiga, tidak mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam karena dalam sistem akad (hukum) salah satu pihak dirugikan dalam BPJS, yakni pihak peserta.
Karyawan perusahaan yang menjadi peserta BPJS yang terlambat membayar iuran lebih dari 3 bulan akan diputus. Ini jelas merugikan karyawan. Gaji karyawan dipotong perusahaan dengan dalih BPJS tapi tidak dibayarkan. Non-karyawan yang menjadi peserta BPJS yang terlambat membayar iuran lebih dari 6 bulan akan diputus. Ini juga merugikan karena uang yang sudah masuk ke BPJS akan hangus.
Sudah Ada Peringatan
Sebenarnya sejak dikeluarkannya UU 24/2011 Tentang BPJS ini sudah banyak suara yang mengingatkan rusak (fasad)-nya UU ini jika diterapkan dalam masyarakat. Kerusakanya nampak jelas dalam dua aspek.
Pertama, pengebirian fungsi dan tanggung jawab negara dan pemerintah sebatas regulator. UU ini secara fundamental telah mengubah kewajiban negara dalam memberikan jaminan sosial menjadi kewajiban rakyat, serta mengubah jaminan sosial menjadi asuransi sosial.
Padahal makna ‘jaminan sosial’ jelas berbeda sama sekali dengan ‘asuransi sosial’. Jaminan sosial adalah kewajiban Pemerintah dan merupakan hak rakyat, sedangkan dalam asuransi sosial, rakyat sebagai peserta harus membayar premi sendiri. Itu artinya rakyat harus melindungi dirinya sendiri.
Pada jaminan sosial, pelayanan kesehatan diberikan sebagai hak dengan tidak membedakan usia dan penyakit yang diderita, sedangkan pada asuransi sosial peserta yang ikut dibatasi baik dari segi usia, profesi maupun penyakit yang diderita. Disamping itu, akad dalam asuransi termasuk akad batil dan diharamkan oleh syariat Islam.
Kedua, UU ini juga telah memposisikan hak sosial rakyat berubah menjadi komoditas bisnis.
Bahkan dengan sengaja telah membuat aturan untuk mengeksploitasi rakyatnya sendiri demi keuntungan pengelola asuransi. Artinya, apabila hak sosial rakyat didekati sebagai komoditi bisnis, maka posisi rakyat yang sentral substansial direduksi menjadi marjinal residual. Sementara kepentingan bisnis justru ditempatkan menjadi yang sentral substansial.
Ini tentu sangat berbahaya karena berarti negara telah mempertaruhkan nasib jutaan rakyatnya kepada kuasa pasar, dimana dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini pasar mengemban semangat kerakusan yang predatorik yang dikendalikan oleh kekuatan kapitalis global yang bakal merongrong hak sosial rakyat melalui badan-badan usaha asuransi.
Hal ini sudah terbukti di mana-mana, termasuk di Indonesia di mana institusi bisnis asuransi multi nasional saat ini tengah mengincar peluang bisnis besar di Indonesia yang dibukakan antara lain oleh UU 40/2004, Pasal 5 dan Pasal 17, juga UU 24/2011 Pasal 11 huruf b dimana disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi. Ini merupakan bukti nyata dari pengaruh neoliberalisme yang memang sekarang sedang melanda Indonesia. Padahal Allah telah berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا
“… dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (QS An-Nisa’: 141)
Perlu Peran Negara
Meskipun kerusakannya berusaha ditutupi dengan kedok jaminan sosial, namun pada akhirnya akan tercium bau busuknya juga, karena sesungguhnya program ini sudah rusak dari akarnya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِنْ فَوْقِ الأرْضِ مَا لَهَا مِنْ قَرَارٍ
”Dan perumpamaan kalimat (penulis: konsep) yang buruk seperti pohon yang buruk, yang tercerabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun.”(QS: Ibrahim: 26)
Oleh karena itu selayaknya kita meminta kepada pihak terkait untuk membatalkan penerapan program BPJS tersebut karena bila diberlakukan akan makin memberatkan kehidupan ekonomi rakyat.
Mereka hanya akan menjadi obyek pemalakan dengan kedok jaminan sosial, sehingga rakyat yang sudah menderita akan semakin sengsara.
Fatwa MUI terkait “keharaman” BPJS bisa jadi hanya akan menjadi wacana saja karena sifatnya tidak mengikat masyarakat untuk diikuti.
Dan lagi perang media juga terus dilancarkan untuk memberikan gelombang kebingungan pada masyarakat, sebagian malah diarahkan membully majelis ulama dan bertujuan agar ulama tak memiliki wibawa. Sehingga hal ini juga menegaskan kepada seluruh rakyat bahwa kita memerlukan penerapan syariah Islam dalam negara.
Karena dengan itu sajalah, negara akan benar-benar menyejahterakan rakyat, serta melegalkan aturan yang tidak menjadikan rakyat sebagai obyek pemalakan dengan dalih apapun sebagaimana dalam sistem kapitalis sekarang ini karena hal itu diharamkan oleh syariah Islam. allahu a’lam bish-shawaab.*
Alumni Program Pascasarjana IAIN Tulungagung