Ada Muslim tetapi liberal dan sekular, ada yang Muslim namun semangatnya untuk menggembosi aspirasi umat Islam, ada Muslim tapi masa bodoh terhadap agamanya, ada Muslim tapi berfikirnya sederhana, yang penting ekonomi sejahtera, urusan lain tidak peduli, bahkan ada pula yang mengaku Muslim, namun sejatinya dia pengasong aliran sesat. Itulah semua fakta hidup yang harus kita hadapi saat ini. Kalau orang yang merasa beriman berbeda bobotnya dengan orang tidak beriman, sedangkan dalam Pemilu, suara semua orang nilainya sama, terus dengan itu kita ngambek (mogok, red) tidak mau ikut Pemilu karena pelaku maksiat juga ikut Pemilu, lantas bagaimana caranya untuk membagi masyarakat antara yang beriman dan yang tidak beriman?
Khulafa’ur Rasyidin dan Kompromi
Semua umat Islam pasti menginginkan kembali pada cita-cita ideal, yaitu terwujudnya masyarakat ideal seperti pada masa Nabi dan Khulafa’urrasyidin, di mana masyarakat Islam hidup dalam naungan syariat Allah.
Jangan dilupakan, sistem pengangkatan ke 4 Khalifah yang dimulai dari terpilih Abubakar Ash-Shiddiq ra sebagai Khalifah, dilanjutkan oleh Umar bin Khathab ra, terus dilanjutkan oleh Khalifah Utsman bin Affan ra dan diakhiri oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib ra.
Semua metode pengangkatannya –pun berbeda-beda. Jadi kalau sistem demokrasi dan Pemilu dianggap sistem bid’ah dan harus ditolak, bagaimana cara kita menerapkan yang Sunnah?
Khalifah Abubakar dipilih secara aklamasi di Saqifah Bani Saiddah (suatu tempat pertemuan masyarakat di Madinah saat itu) ketika waktu sepeninggal Rasul kaum Anshar selaku penduduk asli Madinah sebelumnya berniat hendak memilih pemimpinnya sendiri, namun berhasil dicegah dan diganti dengan pemimpin yang paling cocok yaitu Khalifah Abubakar ra.
Begitu pula sebelum Khalifah Abubakar ra meninggal, beliau sudah berwasiat agar sepeninggal beliau nanti haruslah Umar bin Khathab ra yang menggantikan. Begitu pula ketika Khalifah Umar menjelang meninggal, beliau telah membentuk tim formatur yang dipilih dari shahabat-shahabat utama untuk memilih khalifah pengganti beliau, maka jadilah Utsman bin Affan ra sebagai khalifah selanjutnya.
Setelah Khalifah Utsman meninggal, tinggal satu orang yang paling layak diangkat sebagai khalifah, karena tinggal beliau manusia yang paling baik dan layak untuk menjadi khalifah, maka tampillah Khalifah Ali bin Abi Thalib ra sebagai khalifah keempat atau terakhir masa Khulafa’ur Rasyidin, selanjutnya adalah masa-masa kerajaan.
Itupun harus dipahami semua khalifah pun mendapatkan masalah yang tidak kecil, ada yang diganggu dengan munculnya nabi-nabi palsu, ada yang diganggu dengan pembangkangan dari sebagian rakyat dan pejabatnya, dsb. Semua pemimpin memiliki problem yang berbeda di setiap zamannya. Yang dahulu merupakan problem besar, bisa saja di masa sekarang sudah bukan problem lagi. Begitu pula sebaliknya, yang masa lampau itu bukan merupakan masalah, bisa saja sekarang menjadi masalah serius yang harus diprioritaskan.
Jadi jika Pemilu dan system demokrasi langsung dianggap sesat, maka seharusnya ada contoh dan penjelasan model pemilihan pemimpin Islam yang dianggap sunnah, itulah yang ditunggu dan dibutuhkan umat.
Apakah system aklamasi? Wasiat? Sistem formatur atau langsung penunjukkan? Semuanya pun berbeda. Tapi sejarah Islam memberikan pengalaman ada empat cara yang berbeda.
Setelah kita bahas masalah “caranya”, sekarang kita akan bahas masalah “out-putnya”. Apakah sistem demokrasi dapat memuaskan keinginan umat Islam?
Namanya juga demokrasi, sudah pasti tidak akan memuaskan semua orang. Ada keberhasilan-keberhasilan, namun ada pula ketidakberhasilan-ketidakberhasilan, ada yang didapat, namun ada pula yang terlepas, tergantung bargaining masing-masing pihak. Bukankah di zaman Nabi ketika mengadakan Perjanjian Hudaibiyah dengan pihak Musyirikan Makkah, harus rela membuang klausul “dari Muhammad Rasullulah….” Cukup diganti dengan istilah “dari Muhammad bin Abdillah…” karena ingin kompromi dengan pihak lawan.
Dan masih banyak hal lagi yang harus diberikan konsesi terhadap pihak lawan, padahal mayoritas Shahabat Nabi tidak rela dengan hal itu dan menginginkan konfrontasi senjata. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi Wassalam tetap mengutamakan kompromi dan musyawarah, dibanding melakukan peperangan.
Bukankah di zaman Khalifah Umar bin Khathab juga memilih orang-orang yang berkompeten sebagai tim formatur untuk memilih pemimpin selanjutnya? Yang mungkin menjadi masalah di sini, di masyarakat modern sekarang yang masyarakatnya heterogen dan plural otomatis wakil rakyat akan semacam itu. Ada Muslim, ada Non-Muslim, ada sekular dll. Semua membawa dan mewakili konstituennya. Kalau di masyarakat yang Islam dan serba homogen, mungkin urusannya lebih sederhana dan nyaman. Namun di masyarakat yang heterogen seperti di Indonesia saat ini, sudah pasti membutuhkan kompromi-kompromi politik, negosiasi, koalisi dsb.
Memang tidak semua keinginan ummat Islam dapat dipenuhi, karena pihak ‘mereka’ juga akan memperjuangkan segala keinginannya. Semakin tinggi dukungan dan partisipasi politik umat Islam, maka semakin besar capaian umat Islam di bidang politik.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kalau masalahnya mengapa masih banyak ummat Islam yang tidak mendukung kepentingan umat Islam? Itulah tugas kita semua, tugas para dai untuk berdakwah dan berjihad untuk menjelaskan ke mereka bagaimana ajaran Islam jika mampu diterapkan akan mengayomi semua warga negara baik itu Muslim maupun non-Muslim itu sendiri.
Ada kaidah fikih yang cukup terkenal, “yang tidak dapat diambil semua, janganlah ditinggalkan semua.” Tentu dalam demokrasi kita baru mendapat sekian persen dari perjuangan, janganlah berputus asa, karena sejatinya energi kita yang kita berikan baru sekian persen pula.
Sunnatullah selalu berlaku, siapa yang banyak menanam dia akan banyak menuai. Kalau kita ingin mendapat lebih banyak hasil, haruslah berjuang lebih banyak lagi.
وَلاَ تَهِنُواْ فِي ابْتِغَاء الْقَوْمِ إِن تَكُونُواْ تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللّهِ مَا لاَ يَرْجُونَ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita (kesakitan) pula, sebagaimana kamu kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS An-Nisa 104).”*
Penulis pemerhati masalah keislaman, tinggal di Jakarta