Oleh: Muh. Nurhidayat
PEMERINTAH RI, melalui Kementerian Pertahanan tetap berencana membeli pesawat intai tanpa awak (UAV) buatan Israel untuk memperkuat alat utama sistem persenjataan (alutsista) kita. Mengingat Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, maka UAV dibeli melalui pihak ketiga, dirakit dan dilabel oleh Filipina.
Sayang, hingga kini rencana tidak simpatik tersebut kurang direspon, apalagi ditentang sebagian besar masyarakat negara ini.
Selain karena rencana kenaikan harga BBM—meskipun akhirnya dibatalkan—menjadi opini publik yang berkembang selama 2 bulan terakhir, juga ada dugaan pemerintah sengaja membatasi penyebaran informasi tentang rencana ini agar tidak banyak masyarakat yang mengetahuinya.
Hal ini nampak pada sangat minimnya frekuensi—nyaris tidak ada—reportase rencana pembelian pesawat intai tersebut di televisi. Beberapa kali informasi tersebut disampaikan sekilas melalui running text berita yang hampir tidak pernah diperhatikan pemirsa. Selain itu, tidak ada pula program talk show di televisi-televisi nasional yang membicarakan hal tersebut. Informasi secara lebih mendetail justru disampaikan oleh media-media massa Islam di internet.
Padahal berdasarkan kajian jurnalistik, rencana pembelian pesawat mata-mata buatan negara Zionis untuk memperkuat alutsista militer Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, memiliki nilai berita (news value) yang amat tinggi.
Nampaknya, keinginan untuk membeli pesawat mata-mata dari negara Simon Perez menunjukkan adanya beberapa masalah komunikasi perasaan yang ‘diderita’ pemerintah RI.
Pertama, pemerintahan yang kini dipimpin SBY tidak lagi memiliki perasaan untuk taat pada aturan hukum dasar Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Bukankah Israel adalah bangsa penjajah yang tidak sejalan dengan sila ke-2 Pancasila dan bertentangan dengan paragraf ke-1 Pembukaan UUD 1945? Dengan demikian, secara yuridis—dalam kacamata hukum Indonesia—pemerintahan SBY-Boediono dianggap inkonstitusional.
Kedua, rencana tersebut seolah memperlihatkan realitas bahwa pemerintah sekarang tidak memiliki perasaan untuk menghormati sikap politik luar negeri para pendiri negara (founding father) dan pemimpin-pemimpin sebelumnya.
Harus diakui, meskipun Soekarno dikenal sekuler dan banyak memenjarakan para ulama dan politisi Islam, namun ia sangat tegas terhadap Israel, sehingga tidak pernah mau mengakui adanya negara Zionis tersebut.
Pada masa pemerintahan Soekarno, bentuk pemboikotan atas bangsa Zionis tidak hanya dalam hal hubungan diplomatik saja, namun juga sampai pada hal-hal yang dianggap remeh, yaitu melarang PSSI berada satu lapangan pertandingan dengan kesebelasan Israel dalam babak kualifikasi Piala Dunia. Padahal dengan kualitas para pemain PSSI saat itu, pertandingan melawan timnas Israel yang masih sangat lemah dapat mempermulus Indonesia menuju Piala Dunia.
Sikap proklamator kemerdekaan tersebut juga diteruskan pemerintahan Soeharto, Habibie, dan Megawati. Mungkin pemerintahan SBY mengikuti gaya kepemimpinan Gus Dur yang cenderung pro-Zionis. Bedanya, Gus Dur terang-terangan ingin menjalin hubungan dagang dengan Israel—meskipun batal karena ditolak masyarakat, pemerintahan SBY diam-diam menginginkan jual-beli secara gelap dengan negara yang pernah dikomando Yitzak Rabin.
Ketiga, dengan keinginan membeli pesawat Israel, pemerintah RI saat ini seakan berkomunikasi kepada dunia bahwa mereka telah kehilangan empatinya kepada rakyat Palestina, negara yang dijajah Zionis sejak 1948 silam. Seharusnya pemerintah sekarang sadar, bahwa tiga tahun sebelum dijajah, Palestina merupakan salah satu ‘sahabat dekat’ yang turut mengakui dan mendukung kemerdekaan Indonesia, yang diproklamasikan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945.
Dengan demikian, melakukan transaksi jual-beli, terlebih jual-beli alutsista dengan Israel adalah penyimpangan dari sikap politik luar negeri Indonesia. Apalagi, secara demokratis rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim tentu tidak sependapat dengan rencana tersebut. Sebagai komunitas Muslim terbesar di dunia, umat Islam di Indonesia sangat berempati atas penderitaan saudara seiman mereka di Palestina yang selama 64 tahun dijajah bangsa Zionis Israel.
Sejak mulai pertama kali dijajah lebih dari 6 dekade silam, sudah sulit dihitung lagi secara statistik berapa jumlah rumah/sekolah/poliklinik/masjid yang dibom atau di-bouldozer secara paksa. Kita pun sulit menghitung berapa jumlah pasti umat Islam Palestina yang disiksa dan dibunuh, jumlah anak-anak dan remaja yang ditangkapi/dipenjara, bahkan jumlah wanita Muslimah Palestina yang dinodai kehormatannya di penjara-penjara maupun di permukiman-permukiman yang diduduki kaum Zionis.
Sudah semestinya pemerintah menunjukkan perasaan empatinya kepada rakyat Palestina yang telah mengalami pelanggaran HAM oleh Israel. Jika di masa pemerintahan Soekarno kita pernah mengirimkan Pasukan Garuda di bawah bendera PBB untuk mencegah Israel menembaki rakyat Mesir di daerah-daerah yang diduduki tentara Zionis, demikian pula tahun 2006 SBY sendiri mengirim Pasukan Garuda ke untuk mencegah Israel menembaki rakyat Suriah di perbatasan, maka sangat layak jika Pasukan Garuda juga dikirim ke Palestina untuk mencegah Isreal menembaki rakyat yang terjajah secara permanen selama 64 tahun.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Namun demikian, jika tidak sanggup mengirimkan Pasukan Garuda-nya ke Palestina, maka minimal pemerintah kita tidak mau membeli barang-barang buatan Israel, terlebih barang tersebut adalah pesawat mata-mata untuk kebutuhan militer.
Untuk mencegah pemerintah merealisasikan rencana tidak berperasaan itu, maka para tokoh Islam negara ini, baik dari kalangan MUI, MIUMI, Komite Nasional untuk Rakyat palestina (KNRP), Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina (KISPA), Komite Umat untuk Palestina (Komat-P), Sahabat AL Aqsha, dan ormas-ormas Islam (Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Hidayatullah, Wahdah Islamiyah, Front Pembela Islam, dan lain-lain), serta kalangan akademisi untuk mengingatkan pemerintahan SBY. Para tokoh Islam diharapkan dapat membangun opini publik tentang kemudharatan pembelian pesawat buata Israel, terutama kemudharatan di mata agama dan di mata umat Islam seluruh dunia. Wallahua’lam.
Penulis adalah Dosen dan Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Ichsan Gorontalo