Oleh: Endang Abdulrahman
”Dan hendaklah takut kepada Allah orang – orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak – anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklak mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (an-Nisaa’ : 9)
RAMADHAN ini, Pimpinan Pusat Hidayatullah dan Pimpinan Pusat Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PP Perhimpunan KB PII) sepakat melakukan kerjasama pembinaan di bidang pendidikan dan dakwah untuk meningkatkan SDM umat dengan prinsip amar maruf nahi munkar.
Nota kesepahaman (Memorandum Understanding) ditandatangani langsung oleh Dr Abdul Mannan, Ketua Umum PP Hidayatullah dan Dr Tanri Abeng MBA, selaku Ketua Umum PKB PII.
Kerjasama ini yang dilaksanakan bersamaan dengan Buka Bersama PKB PII di Kantor Pusat PLN, Jakarta Selatan, Selasa, 23 Agustus 2011 ini, sengaja dilakukan dalam rangka memperluas ekspansi dakwah ke tengah masyarakat, khususnya di kalangan generasi muda Islam.
Sebagaimana diketahui, Hidayatullah adalah organisasi keislaman yang masih muda namun cukup cepat perkembangannya di Indonesia, khususnya dalam pendirian pesantren, pengiriman dai-dai muda dan pendirian lembaga-lembaga pendidikan Islam di seluruh Nusantara. Sementara itu, Pelajar Islam Indonesia (PII) adalah orgasisasi pelajar yang cukup senior yang sepak-terjangnya tak boleh dinafikkan begitu saja.
Tak lama setelah PII berdiri pada tahun 1947, Belanda melancarkan agresi militer yang pertama. Dalam agresi ini kader PII terlibat dalam usaha mempertahankan negara melalui pembentukan Brigade PII di Ponorogo pada 6 November 1947 yang dipimpin oleh Abdul Fattah Permana. Korps yang baru dibentuk ini ikut serta sebaga pendamping Jenderal Sudirman dalam perang gerilya. Secara khusus Jenderal Sudirman mengapresiasi peran PII dalam pidatonya pada peringatan Hari Bangkit I PII tahun 1948 di Yogyakarta. Karena itu sudah langkah yang tepat, Hidayatullah menggandeng PII yang sangat dikenal kuat dan bagus dalam membina pengkaderannya. Tak ada salahnya ke depan bisa menggandeng organisasi Islam yang lain untuk membina umat.
Antara kader dan gemerlap kampus
Basis Pengkaderan, dua kata itu sering kita dengar dan memang pantas disematkan kepada Ormas Hidayatullah. Perkembangan dari tahun sekitar 1976 terasa kini semakin besar dan kokoh. Pesantren merupakan bidang garapan utama dalam pengembangan pendidikan, dakwah dan sosial Hidayatullah. Ratusan pesantren Hidayatullah dengan ribuan kader sudah tersebar seantero Nusantara, dari pulau Sumatera di bagian Barat negeri ini hingga Papua di bagian Timur. Sungguh prestasi yang tidak boleh dikecilkan dari sebuah usaha membumikan Islam di Nusantara ini.
Berbicara kegemilangan, maka tidak luput dari para pionir atau kader awal yang begitu gigih memperjuangkan tersebarnya syiar Islam melalui Pesantren Hidayatullah.
Pengorbanan jiwa dan raga sudah mereka derma kan, yang kelak akan menjadi tauladan bagi generasi selanjutnya. Sebut saja diantaranya para pendirinya, Ust. Abdullah Said (alm), Ust. Ahmad Hasan Ibrahim, Ust. Usman Palese, Ust. Muhammad Hasyim HS, Ust. Muhammad Nazir Hasan dll.
Pernah suatu kali ia Ust. Abdullah Said (alm) menyampaikan motivasinya, yang menyulut semangat tinggi para kadernya saat itu,
“Kita perlu menggurat sejarah, bukan sekedar membaca sejarah. Kita hendaknya jangan hanya kagum membaca sejarah apa yang telah dilakukan oleh Nabi dan sahabat-sahabatnya serta kecemerlangan pejuang-pejuang Islam dibelakang ia. Tapi kita juga harus berbuat sesuatu yang pantas dicatat oleh sejarah,” demikian pesan beliau.
Kini, sejarah telah mencatat perjuangan mereka. Pesantren Hidayatullah hadir di seluruh Nusantara dan berdiri dengan kokoh. Subhanallah walillahilhamd.
Bukti tak terbantahkan adalah ratusan pesantren dengan berbagai keunggulannya telah berdiri. Namun pernahkah kita berfikir 50 tahun kedepan bahwa apakah di antara kader-kader pemegang amanah sebagai pelanjut di berbagai tempat dan posisi itu adalah anak dan cucu yang lahir dari rahim Hidayatullah sendiri.
Pertanyaan sederhana memang. Namun jangan remeh kita memandangnya. Perkembangan dunia yang teramat cepat sering manarik kita pada tahap demi tahap pemenuhan tututan jaman. Kesibukan menjalankan amanah terkadang melenakan kita dari kepedulian pada perkembangan anak-anak kita sendiri. Asyiknya kita dalam merawat dan mendidik ummat, jangan sampai meninggalkan luka perih saat isak tangis anak-anak kita melepas kepergian kita.
Saat mereka kecil, permasalahan belum terasa sebagai beban, karena mereka adalah anak yang mudah diatur dan dialihkan. Bahkan terkadang tersirat pengertian bahwa pendidikan anak adalah tanggung jawab umminya. Abinya tidak ikut campur biar tidak membingungkan sang anak –begitu memang dalam sebuah kasus– yang sedang dalam perkembangan awal.
Pada perkembangan selanjutnya, anak-anak kita kemudian mulai menempuh proses cita-citanya. Sebagian memilih sekolah lanjutan favoritnya baik negeri maupun swasta di daerahnya. Tetapi tidak sedikit juga yang memasukkannya ke sekolah Integral dengan berbagai pertimbangan tentunya.
Sekolah lanjutan pertama dan atas lancar ditempuh dengan gemilang tanpa ada beban apapun. Namun ketika memilih jenjang pendidikan tinggi inilah letak kekhawatiran kita pada perkembangan selanjutnya. Kita akan dihadapkan pada fakta, bahwa idealisme, kemandirian dan cita-cita berperan aktif mendorong anak-anak kita menentukan langkah penting mereka selanjutnya.
Memori mereka yang terekam selama masa sekolah akan mulai menujukkan jati dirinya. Pesan moral dari keluarga, guru-guru dan kawan-kawannya akan saling berebut menyeruak menembus angan dan cita-citanya. Adakah idealisme yang tercermin dalam sikap dan cara berpikirnya? Munculkah keinginan dan cita-citanya menegakkan Islam melalui lembaga Hidayatullah yang telah membersarkan mereka berikut kedua orangtuanya selama ini, yang telah pula diperjuangkan dengan darah dan air mata para assabiqunal awwalun?
Beban mulai terasa berat manakala anak-anak kita diam seribu bahasa, ditambah cita-cita mereka ternyata nihil untuk mengikuti jejak kita –orang tuanya– dalam medan perjuangan ini.
Pertanyaan lain yang selalu menggelayut dalam benak kita –terutama penulis– seberapa seringkah kita –terutama abi– menghiasi alam fikiran mereka dengan nasiihat bahwa betapa indahnya menjadi seorang pejuang di Hidayatullah. Betapa mulianya pekerjaan yang menjadi amanah di Hidayatullah.
Nampaknya, suasana masa kecil mereka dalam keluarga akan tergambar dalam langkah mereka saat berada diperguruan tinggi, mungkin juga di SMA. Kebanggan atau tidak sekalipun pada harapan kita sebagai orang tuanya akan mewarnai perjalanan mereka.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Kampus perguruan tinggi –minus kampus dan PT milik Hidayatullah– banyak menjanjikan jalan tercapainya cita-cita. Satu dunia tersendiri yang berbeda dengan dunia sekolah.
Kebebasan berpendapat, otonomi berfikir dan demokratisasi menjadi hiasan keseharian dari tingkah polah mahasiswa. Saat ini kita bertanya, dimana posisi dan status anak kita.
Mereka akan berhadapan dengan kebebasan memilih. Kebaikan atau keburukan. Penulis yakin anak-anak kita tidak akan memilih keburukan. Namun ketika dihadapkan pada kebaikan, apakah ada jaminan kebaikan itu sejalan dengan visi dan misi yang dibangun dalam lembaga Hidayatullah?
Aktivis harakah adalah aktifitas itu yang selalu menggoda dan mewadahi –dengan segala ketakjubannya–idealisme anak-anak kita. Adakah kemampuan untuk mempertahankan idealisme sebagai anak kader muda Hidayatullah ketika mereka berdiskusi dan berinteraksi dengan harakah lain? Atau sebaliknya, mereka menjadi santapan lezat untuk dirubah dan tergerus fikrahnya? Wal ‘iyaadu billah.
Karena itu, tak ada salahnya, organisasi induk Hidayatullah menata ulang pengkaderan pada level generasi muda yang saat ini mulai tumbuh subur.
Banyak orang di zaman sekarang berpikiran anak adalah investasi. Mereka menyekolahkan anak-anaknya di sekolah unggulan yang mahal, menyertakan mereka mengikuti les-les sesuai dengan hobinya, mengikutkan bimbingan belajar agar termasuk ”ranking” di kelasnya, bahkan tidak sedikit yang memaksakan anak-anaknya mengikuti ini dan itu, dalihnya klasik, agar anak kelak bisa bertahan hidup di dunia yang makin kompetitif tersebut.
Selain itu, hampir bisa dipastikan, rata-rata gerakan kepemudaan di Indonesia, selalu berorientasi pada politik yang akhirnya menghamba kekuasaan. Mudah-mudahan para pemuda Hidayatullah tidak silau dengan kondisi seperti itu.
Maka untuk menguatkan jati diri Hidayatullah sebagai basis pengkaderan, setiap kita harus memiliki kemampuan membina anak cucu kita sendiri –sejak kecil tentunya– agar di masa yang akan datang mereka akan menjadi kader lembaga yang bisa melanjutkan perjuangan dan cita-cita Hidayatullah. Wallahu a’lam.
Penulis adalah aktivis Hidayatullah-Batu, Jawa Timur