Ahad, (28/3) kemarin, Obama berkunjung ke Pakistan serta menemui Presiden Afghanistan Hamid Karzai dan ingin melihat langsung kondisi medan jihad itu.
Sebelumnya, pada masa kampanye sebelum menjadi presiden, ia menyatakan akan mengirimkan 20.000 pasukan AS ke bumi Afghanistan. Pada tanggal 18 Februari 2009, Obama memerintahkan Menlu AS untuk mengirimkan 17.000 tentara ke negara yang merdeka dari jajahan Inggris tanggal 19 Agustus 1919 ini.
Dalam pernyataan tertulisnya, Obama sempat menyatakan bahwa penambahan ini harus dilakukan melihat kondisi Afghanistan yang tidak stabil. Kemungkinan jumlah tentara AS di sana diperkirakan mencapai 30.000 tentara, ditambah 30.000 tentara dari NATO (Islammemo, 25/7/09). Obama ingin menjadi pelanjut estafet ‘perjuangan’ yang baik dalam menyelesaikan persoalan dengan pasukan Taliban. Ia kelihatan bersikeras menuntaskan “rekomendasi tugas” dari pemerintah sebelumnya untuk memberantas terorisme di negeri kecil di kawasan Asia Tengah ini.
Di Afghanistan kini telah tersebar sebanyak 128.000 tentara internasional, sepertiganya berasal dari Amerika. Dan berdasarkan keputusan pemerintahan Paman Sam, sebanyak 30.000 tentara AS akan dikerahkan guna memperkuat pasukan NATO di Afghanistan, hal itu sudah berjalan sejak bulan Agustus tahun lalu. Beradasarkan laporan David Petrus, hingga saat ini, sebanyak 10.000 dari tentara yang akan dikirim itu telah tiba di Afghanistan. (islammemo, 17/3/10). Terkait dengan strategi perang barunya ini, Amerika lebih mengintensifkan serangan masif dalam menghadapi Taliban, seperti serangan yang digelar tentara NATO dan Afghanistan pada tanggal 13 Februari lalu, dalam sebuah operasi militer gabungan di provinsi Helmand yang diklaim sebagai serangan terbesar semenjak penggulingan terhadap Taliban oleh tentara NATO pada di 2001 silam. Serangan Februari lalu itu kemudian dilanjutkan dengan menyerbu propinsi Kandahar yang juga menjadi pusat dari pertahanan Taliban.
Pejabat AS di Departemen Pertahanan bahwa militer AS berencana mengirimkan 2.500 pasukan ke utara Afghanistan untuk memperkuat pasukan dikerahkan di sana, menyusul meningkatnya pengaruh Taliban. Tentara Amerika ini akan dikerahkan di utara negara itu. Di saat yang sama kemungkinan besar 30.000 pasukan tambahan yang akan dikirimkan oleh Presiden Barack Obama akan dikerahkan ke selatan Afghanistan, tempat paling penting karena di sana terdapat benteng Taliban (islammemo, 20/3/10).
Peperangan terus memanas di wilayah Selatan Afghanistan, yang merupakan jantung pertahanan tentara Taliban ketika mereka berjaya menguasai negeri Mullah, Afghanistan. Di bulan Desember tahun 2009 lalu, Dewan Keamanan PBB telah memperpanjang masa keberadaan pasukan NATO di Afghanistan yang disertai dengan penambahan pasukan. Berdasarkan keputusan itu, keberadaan tentara NATO diperpanjang hingga tanggal 13 Oktober 2010.
Sebagian pengamat politik melihat kedatangan Obama ke Afghanistan sebagai penegasan sikap dari Obama untuk menolak perundingan damai yang ingin diadakan oleh Karzai dengan Mullah Umar, pimpinan tertinggi pejuang Taliban.
Pilihan Sulit
Dengan pengiriman kekuatan yang seakan tidak terbatas dan usaha yang tak kenal lelah, apakah mungkin AS bisa menaklukkan pejuang Taliban Afghanistan? Bagaimanakah masa depan AS di sana? Akankah kekuatan Taliban ini akan tunduk dibawah tentara AS dan kekuatan multi nasional yang ada disana?
Jawabannya memang agak sulit. Namun bila melihat beberapa kenyataan di lapangan, nampaknya akan sulit bagi Obama untuk mewujudkan harapannya yang sudah banyak memakan korban harta dan jiwa itu. Obama terpaksa harus menggigit jari, bila ternyata pilihan untuk melanjutkan ekspedisi berdarah di negara Hamid Karzai ini adalah pilihan yang tidak tepat. Artinya, ia akan sulit menundukkan perlawanan para mujahidin yang ada bumi Taliban ini. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal:
Pertama, fakta sejarah. Usaha untuk melawan dan bertahan sudah dilakukan oleh rakyat Afghanistan sejak lama. Di tahun 1978, pasukan gerilya Afghan sudah terbentuk untuk menentang sistem komunis yang didalangi oleh Uni Soviet (Islamstory.com). Awal Perlawanan rakyat Afghan adalah untuk melawan sistem komunis yang berkembang dalam negeri. Sistem pemerintahan komunis di Afghanistan ini dijalankan oleh Presiden Afghanistan Hafizullah Amin (berkuasa 14 September-27 Desember 1979), dan dilanjutkan oleh presiden Babrak Caramel (27 Desember 1979-24 November 1986) yang mendapat dukungan kuat dari Uni Soviet.
Pasukan Soviet mendapat perlawanan sengit dari gerakan-gerakan yang ada di Afghanistan. Diantaranya adalah unsur-unsur perlawanan yang dipimpin oleh Qalbuddin Hikmatyar (pimpinan Al-Hizbul Islami Al-Afghani), Maulai Muhammad Yunus Khalish (pimpinan Al-Hizbul Islami), Burhanuddin Rabbani (dengan Al-Jam’iyyah Al-Islamiyah Al-Afghaniah-nya), Abdurrasul Sayyaf (pimpinan Al-Ittihad Al-Islami lil Muajahidin Al-Afghan), Muhammad bani Muhammadi (pimpinan Harakah Tsaurah Islamiyah), dan Shibghatullah Mujaddidi (pimpinan Al-Jabhah Al-Wathaniyah). Unsur-unsur ini mampu menggerakkan perjuaangan rakyat hingga pasukan Uni Soviet terpaksa harus angkat kaki dari Afghanistan pada tanggal 18 Februari 1989. Kemudian disusul dengan gerakan Taliban yang muncul tahun 1994 dibawah pimpinan Mulla Muhammad Umar. Ia pun menjadi sasaran tuduh atas peledakan WTC yang terjadi pada tanggal 11 September 2001.
Catatan sejarah Afghanistan menunjukkan bahwa gerakan perlawanan rakyat Afghanistan tidaklah mudah dipatahkan. Terbukti ketika menghadapi berbagai serangan musuh dengan persenjataan pemusnah yang lengkap dan super canggih. Kekuatan asing yang ingin menduduki negara miskin ini, sejak pemerintahan Inggris yang berhasil diusir tanggal 19 Agustus 1919, menyusul Uni Soviet yang angkat kaki tanggal 18 Februari 1989, dan kini sedang disutradarai AS, tetap saja tak mampu meruntuhkan pertahanan pasukan gerilya ini.
Kedua, secara realita. Semangat membasmi ‘teroris’ ternyata tidak membantu usaha AS untuk bergerak di Afghanistan. Inggris malah menarik dukungannya atas perang ini dengan bertambahnya kerugian mereka. Hal ini menyebabkan AS harus menambah pasokan jumlah tentara untuk Afghanistan. Menteri pertahanan AS, Robert Gates, mengakui susahnya kondisi yang ada di Afghanistan dan kekhawatiran akan hilangnya dukungan rakyat atas perang tersebut. Gates menyatakan bahwa harapan kemenangan masih jauh dan belum ada harapan untuk menang dalam satu tahun ke depan ini. Oleh karena itu ia mengajak untuk mengubah strategi agar tidak kehilangan dukungan publik (27/7/09).
Karzai juga menyatakan bahwa pengiriman stok tentara ke Afghanistan tidak menjamin perbaikan keamanan. Ia mengajak untuk mengadakan perundingan dengan pemimpin spiritual Taliban, Mullah Umar.
Jenderal David Petrus, komandan perang tentara Amerika di Timur Tengah dan Asia Tengah mengatakan, di tahun 2010 ini tentara NATO akan menghadapi masa-masa tersulit di Afghanistan. Dihadapan Komite Angkatan Bersenjata Majelis Senat Amerika, Petrus menjelaskan, bahwa di tahun 2010 ini NATO akan menghadapi perang yang hebat dengan Taliban, terkhusus di beberapa titik wilayah strategis. (Islammemo, 17/3/10).
Situs Berita Mufakkiratul Islam juga memberitakan bahwa jumlah korban jiwa dari pasukan militer AS semakin meningkat dalam tiga bulan terakhir ini. Pasukan AS yang lengkap dengan segala jenis senjatanya kewalahan menghadapi gerakan pasukan Taliban yang melawan secara gerilya. Terhitung 57 orang tentara AS tewas pada Bulan Januari dan Februari kemarin, dan 28 orang menemui menyusul tewas pada Bulan Maret ini.
Ketiga, kuatnya pertahanan Taliban. Delapan tahun bukan waktu singkat bagi AS untuk menerobos pertahanan pasukan Taliban. Namun ternyata hingga hari ini, AS masih belum banyak berkutik dengan perlawanan pasukan rakyat Afghanistan ini. Pihak AS malah berkeinginan bekerjasama dengan tentara bayaran (mercenaries) untuk mempelajari langkah-langkah ke depan yang akan diambil dalam perang Afghanistan (Washingthon Post, 26/7/09).
Pertanyaannya, apakah kegagalan pasukan AS menundukkan perlawanan rakyat Afghanistan ini karena kekurangan pasukan dan lemahnya persenjataan, ataukah karena kuatnya pertahanan yang dimiliki oleh rakyat Afghanistan? Jawabannya jelas, pasukan Taliban mempunyai sebuah sistem pertahanan yang tidak mudah diruntuhkan. Bahkan dengan dengan adanya sekitar 128.000 pasukan asing di dalam negeri, masih saja pasukan Taliban mampu melancarkan serangan yang menimbulkan banyak kerugian.
Tentara gabungan dari negara-negara adidaya di dunia bahkan dibuat tak mampu berkutik. Pasukan Taliban masih menguasai tiga perempat wilayah Afghanistan walaupun di dalam negeri ada banyak pasukan dan pengaruh kekuatan dari negara Inggris, Prancis, Spanyol, Jerman, AS dan negara-negara lainnya. (Majalah Al-Bayan, Juni 2009)
Keempat, tabiat masyarakat. Masyarakat Afghanistan dikenal sebagai masyakarat yang kokoh, tangguh dan pemberani, terutama pejuang Taliban yang berasal dari wilayah Kandahar. Orang-orang yang berada di kawasan selatan Afghanistan ini terkenal dengan perlombaan dan ‘pertunjukan rakyat’ yang dikenal dengan nama ‘parade bara api’ (ithfa’ul jamri). Perlombaan ini dilakukan dengan menggenggam bara api yang sedang menyala dalam waktu lama, sampai bara itu padam. Pemenang dalam perlombaan ini adalah mereka yang tidak bergerak atau mengaduh kesakitan. Ini menunjukkan kekuatan dan ketahanan yang dimiliki oleh rakyatnya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dr. Asyraf Izzuddin, Direktur Islamic Center For Medic Research dan Studies Dimyath-Mesir (Wawancara Buletin Sinai, November 2007) pernah menyatakan bahwa Taliban sebagai sebuah kelompok perlawanan bersenjata memiliki ideologi pemikiran. Kalau bukan karena itu, tidak mungkin mereka akan sanggup bertahan di tengah gelombang pelumpuhan, bahkan sanggup menata diri untuk kembali. Padahal AS sudah mengerahkan segala strategi agar Taliban melemah, namun yang terjadi justru sebaliknya.
Selain itu, kerugian yang mereka derita sudah sangat banyak, baik harta maupun jiwa. Jumlah rakyat sipil yang meninggal ikut mengobarkan semangat perjuangan rakyat ini. Di tahun 2008 saja, jumlah penduduk yang tewas mencapai 2100 orang yang terdiri dari anak-anak, perempuan dan orang tua (Majalah Al-Bayan, Juni 2009)
Kelima, dukungan dunia Islam. Dr. Raghib As-Sirjani dalam situsnya, islamstory.com (12/3/08) menyebutkan sikap dunia terhadap penyerangan AS ke Afghanistan ini. Agresi AS setelah 21 September ini memang mendapat dukungan dari beberapa negara seperti Mesir dan Arab Saudi. Serangan ini juga mendapat dukungan dari NATO dan Dewan Keamanan PBB.
Namun, para ulama kaum muslimin dari berbagai mazhab dan kalangan di dunia Arab yang menyatakan haramnya ikut dalam gerakan militer apapun untuk melawan Afghanistan. Ikatan Ulama Muslimin Palestina mengeluarkan fatwa, menyatakan haramnya negara-negara Islam memberikan bantuan militer kepada pasukan AS untuk menyerang negara Muslim dan membunuh rakyat sipil. Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi juga mengatakan hal yang senada. Demikian juga mantan Syeikhul Akbar, Dr. Muhammad Sayyid Tanthawi mengingatkan kepada pihak AS untuk tidak menyerang pihak manapun sebelum memiliki bukti kuat kuat. Beliau menyatakan bahwa setiap negara berhak membela diri ketika diserang dan tidak boleh menjatuhkan hukuman apapun sebelum seseorang terbukti bersalah.
Penutup
Perang terhadap “terorisme” Amerika dan sekutunya, serta usaha penerapan demokrasi adalah dua agenda besar yang sering dielu-elukan oleh AS. Afghanistan dan Iraq hanyalah salah satu kelinci percobaan. Jika AS berhasil menciptakan perdamaian dengan cara militer, maka usaha AS untuk menguasai negara-negara Arab akan menempuh jalan yang sama. Menghantam dengan segenap kekuatan, kemudian mengorbitkan salah seorang pemimpin yang loyal terhadap AS. Sebuah skenario yang sama persis telah didemonstrasikan di Iraq.
Melihat kondisi yang ada, usaha pengamanan “teroris” yang ingin dilakukan Obama nampaknya akan mengalami kesulitan. Untuk mewujudkan angan-angannya itu dia masih butuh waktu yang teramat panjang (kalau tidak bisa dikatakan mustahil). Hawa kematian yang setiap hari akan terus menghantui pasukan AS dan pasukan multinasional pendukungnya. Setidaknya semakin menjadi isyarat yang kuat bagi AS dan sekutunya, untuk selekasnya meninggalkan bumi jihad di Afghanistan atau membiarkan rakyat Afghan hidup bebas mengatur negerinya sendiri.
*)Penulis alumni PP Alkhairaat Tilamuta-Gorontalo. Sedang menempuh pendidikan Pasca Sarjana di Fakultas Darul Ulum Universitas Kairo