Oleh: Ilham Q. Moehiddin*
Hidayatulllah.com–Paham Gender telah berkali-kali diulas kaum feminis. Beberapa saat yang lalu, Emmy Astuti, Sekretaris Wilayah-Sulawesi Tenggara Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi juga menulis masalah ini. Seringkali, paham Gender diseret kaum feminis dengan perspektif ke-Islam-an, untuk mencoba menembus pemahaman keperempuanan Muslim, tetapi telah keliru menempatkan nash-nash Al-Quran yang suci, terhadap ide dan gagasannya tentang Paham Gender dan feminisme.
Tetapi, mari kita berdiskusi tentang hal ini. Bahwa, sesungguhnya dua kutub pemikiran ini tidaklah salah pada tempatnya masing-masing, namun sangat keliru jika kedua aliran pemikiran ini coba diselaraskan, hingga menimbulkan perdebatan yang jelas sekali tidak akan berakhir. Saya akan buka diskusi kritis ini dengan Surat Iqra:1-5;
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Yang telah menciptakan manusia dengan segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajarkan manusia dengan pena. Mengajarkan kepada manusia apa-apa yang belum diketahuinya.” [QS (96): 1-5].
Seperti judul tulisan ini, konsep Gender tidak dikenal dalam Islam. Tetapi, bahwa posisi dan kedudukan perempuan dalam Islam dan hubungannya dengan laki-laki, telah ada sejak awal Islam, disiarkan oleh Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW adalah sosok yang santun, pemurah, dan menyayangi semua orang. Ini tak terbantah. Sebagai pemimpin agama besar, Rasulullah SAW memiliki tanggung jawab yang berat dalam membina hubungan setiap manusia, setiap Muslim, khususnya dalam interaksi positif antara perempuan dan laki-laki.
Tidak saja dalam Al-Quran, dalam Al-Hadist sekalipun konsep gender tidak ditemukan. Jika ada yang mengatakan hal sebaliknya, itu hanya upaya syubhat untuk menegaskan kefasikannya. Islam hanya mengenal keistimewaan posisi dan kedudukan perempuan. Selanjutnya saya akan menyebutnya dan memperkenalkannya sebagai ‘keistimewaan’ Muslimah. Konsep ini sangat berbeda dengan apa yang disebut sebagai paham Gender, atau malah feminisme. Akan kita lihat mengapa posisi perempuan penting dalam tradisi Islam.
Kehidupan Rasulullah SAW, sejak beliau bayi, kanak-kanak hingga masa awal kerasulan, beliau sangat dipengaruhi oleh beberapa tokoh perempuan. Sebut saja Halimah binti Abi Dzuaib, seorang perempuan Badui yang menyusui beliau saat bayi. Kemudian, Khadijah, istri pertama beliau, yang juga sekaligus menjadi pemeluk Islam pertama. Ada Aisyah, istri lain Rasulullah SAW, yang juga termasuk para perawi hadist yang utama karena dia hampir selalu hadir di saat-saat genting kehidupan Nabi, atau pada saat turunnya ayat.
Para perempuan yang disebut di atas sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan Rasulullah SAW. Maka tidak heran jika, Rasulullah SAW menempatkan perempuan dalam suatu keistimewaan. Masih banyak peristiwa yang menggambarkan betapa besar peran perempuan dalam perjalanan awal Islam.
Bahkan, setelah wafatnya Rasulullah SAW pun, perempuan Muslim makin memperlihatkan eksistensinya. Para perempuan Muslim melihat adanya kekuasaan, pengaruh besar dan kekuatan yang mereka lihat dari para istri Nabi. Mereka pun kemudian mendesak kalifah dan suami-suami mereka, bahwa hak istimewa yang diberikan Rasullullah pada istri-istrinya, juga harus diberikan pada mereka. Mulai saat itulah, para perempuan menggunakan hijab.
Riwayat lain juga menyebut, bagaimana Aisyah memerangi pengaruh Abdullah Ibnu Saba dalam perang Jamal. Menjelang berakhirnya kekalifahan Usman, muncullah seorang Yahudi, Abdullah Ibnu Saba. Dalam sejarah dia dikenal sebagai orang yang berpura-pura menjadi Muslim, sedang dalam hatinya penuh dengan kebusukan dan bermaksud merusak Islam dari dalam.
Ia menyadari ketidakmampuannya merobohkan Islam dengan kekuatan dan kekerasan. Karena itu, ia mengalihkan siasatnya dengan memperalat kondisi yang bergejolak dalam lingkungannya. Sebagai sesuatu yang berkaitan dengan Islam, baik itu ayat dan hadist Rasulullah SAW, dijadikannya hujjah (alat pembenar) untuk menunjang kehendak dan pendapatnya. Kekacauan demi kekacauan yang dibuatnya itu, berakhir pada titik dimana umat Muslim tidak dapat mentolerirnya lagi, dan berpuncak pada munculnya Aisyah memimpin pasukan Muslim dalam perang Jamal, (H. Soekarno dan Ahmad Supardi, 2001, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, Angkasa).
Pun, tentang hal peran perempuan dalam kesultanan Islam. Prof. DR. A. Syalabi menerangkan, “Khalifah Muawiyah kerap kali mengundang para ulama, sastrawan, sufi dan ahli sejarah untuk menghadiri majelisnya. Mereka dipertemukan dalam gelanggang untuk munazharah (diskusi) ilmiah dan kesusasteraan. Munazharah itu dihadiri semua ahli dari golongan laki-laki dan perempuan.” Atau, siapa yang tak kenal Fakhroenvissa Sheika Shulda, sastrawan dan penyair terkemuka Baghdad pada zaman Sultan Harun Al-Rasyid.
Namun sekali lagi, peran-peran perempuan Muslim ini, tidak bisa disejajarkan atau bahkan disamakan dengan gerakan feminisme atau disebut sebagai kemandirian gender. Sebab tingkatan peran perempuan Muslim lebih tinggi dari sekadar gagasan feminisme. Gambaran di atas juga untuk menegaskan bahwa riwayat-riwayat tersebut, oleh kaum feminis, tidak boleh dijadikan hujjah untuk membenarkan ide dan gagasan mereka. Bukan itu maksud tulisan ini. Sebab dasar dari dua kutub pemikiran ini sangat berbeda; feminisme adalah produk sekulerisme Eropa, sedangkan ‘keistimewaan’ Muslimah terbentuk dari tradisi Islam.
Muslimah tidak pernah dikenalkan dengan konsep kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Sebab, tanpa konsep kesetaraan seperti yang dikampanyekan para kaum sekuler feminis, laki-laki dan perempuan dalam Islam telah setara. Wanita Muslim memiliki posisi yang istimewa dalam kehidupan Islam. Wanita Muslim tahu benar bagaimana perbedaan mendasar antara perempuan dan laki-laki sehingga mereka memperoleh hak dan posisi istimewa dalam Islam dan kekhususan dari Rasulullah SAW. Mereka tahu benar bagaimana bersikap terhadap laki-laki atau suami mereka, dan bagaimana Rasulullah SAW mengistimewakan posisi mereka terhadap suami mereka.
Klaim Ayat
Dalam opini saudari Emmy Astuti, dikatakan bahwa soal hak waris, sebelum datangnya Islam, perempuan tidak memiliki hak waris sedikitpun. Saudari Emmy telah keliru dalam hal ini.
Mengutip Muhammad bin Ishaq (wafat + 767 M), ahli sejarah terkemuka periode klasik Islam, menyebutkan, pada zaman pra Islam, keturunan sering diperhitungkan dari garis perempuan. Secara resmi harta diwarisi oleh perempuan, tetapi ini pun tidak memberi perempuan kekuatan dan pengaruh. Laki-laki kadang mengawini perempuan hanya untuk mendapatkan warisannya secara resmi.
Kemudian Islam memperbaiki ini dengan menentukan hak waris bagi anak perempuan seperdua dari anak laki-laki. Ini untuk mencegah laki-laki mengambil perempuan dari golongannya hanya untuk menguasai hartanya. Langkah Rasulullah SAW ini kemudian ditegaskan Allah SWT dalam surat An-Nisa. (Karen Armstrong, Muhammad Sang Nabi, 1991, Risalah Gusti).
Di sini jelas sekali, bahwa Emmy Astuti –yang menyebut dirinya feminis Muslim– telah keliru dan tidak mampu menjelaskan tentang latar-belakang turunnya ayat tersebut. Dalil-dalil yang digunakannya lemah. Secara historis, Emmy tidak mengecek kebenaran sejarah peristiwa tersebut. Ini tentu fatal.
Tradisi Muslimah ini sudah dilakukan dan terus berkembang dalam Islam selama 12 abad (600 – 1800 M), bahkan sebelum para pemikir sekuler Eropa menemukan konsep gender dan gerakan feminisme.
Artinya, Islam telah lama mendukung dan mengenal nash-nash yang berhubungan dengan kehidupan laki-laki dan perempuan. Pada saat wanita Muslim merasakan “kemerdekaan” mereka lewat keistimewaan yang diajarkan Rasulullah SAW, wanita Eropa justru saat itu masih terbelenggu sistem kastorian yang dikembangkan para bangsawan dan kaum terpelajar Eropa.
Ketika Aisyah menjadi salah satu tokoh utama dalam Islam dan memimpin pasukan melawan para penyeleweng agama Allah SWT dalam perang Jamal, di belahan bumi lain wanita Eropa dilarang terlibat dalam politik, bahkan sampai tahun 1800 wanita Venesia masih dilarang membaca buku.
Lantas apa yang hendak diperbandingkan di sini? Dalam opini saudari Emmy Astuti, diangkat sejumlah ayat untuk mendukung ide dan gagasan feminisme yang coba dikaitkannya dengan Islam. Ayat-ayat yang disebutkan itu benar. Namun ketika ayat-ayat ini merujuk klaim yang ditunjukkan untuk mendukung gagasan feminisme, terlihat jelas tidak tepat.
Sebut saja; Al-Mu’Min:40, At-Taubah:71-72, Al-Baqarah:187, An-Nahl:97, Al-Ahzab:35, adalah sekian ayat yang membicarakan kedudukan dan persamaan laki-laki dan perempuan dalam tataran keimanan. Sesuatu yang abstrak dan ukurannya hanya Allah SWT yang mengetahui. Padahal dalam gagasan feminisme dan gerakan gender, yang menjadi tuntutan adalah persamaan dan kedudukan secara harfiah dan fisik. Nash-nash ini tidak cukup untuk mendukung gagasan adanya paham gender dan feminisme dalam Islam.
Jadi benarlah, jika penggunaan ayat-ayat suci Al-Quran untuk sekadar menegaskan ide dan gagasan feminisme dan gender pada kaum Muslimah tidaklah tepat. Untuk hal di atas, sesungguhnya Allah SWT telah memperingatkan umat Muslim dalam firman;
“Maka sampaikanlah olehmu apa yang telah diperintahkan kepadamu secara tegas (terang-terangan), dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu daripada (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan kamu.” [QS (15): 95-95].
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” [QS: 15:9]
Untuk lebih jelas, mari kita tengok apa dan bagimana ide dan gagasan feminisme itu sesungguhnya. Sebagai produk sekulerisme Eropa, feminisme, gerakan gender dan kajian wanita mulai tumbuh sekitar awal tahun 1800. Sebagai gerakan abad pertengahan, feminisme di Eropa dilihat sebagai sebuah gagasan yang baru. Tidak mengherankan memang. Sebab pada saat itu, Eropa sedang dalam transisi politik dan reformasi pemikiran yang sangat hebat. Perang Dunia I dan Perang Sipil di Amerika mengacaukan tatanan politik, dan pada saat itulah ide dan gagasan feminisme seperti memperoleh peluang.
Jika Anda seorang feminis, pastilah Anda mengenal Simone de Beauvoir, salah satu peletak dasar feminisme. Maka ketika bukunya, The Second Sex, mengupas secara kompleks pemikirannya tentang feminisme dan gerakan wanita, seketika The Second Sex “dibaptis” menjadi buku wajib dalam pemikiran feminisme. Buku ini membantu para feminis untuk mengerti arti sepenuhnya tentang otherness (yang lain atau objek) perempuan. Kendati dalam peletakan konsep-konsepnya, Beauvoir juga dipengaruhi Jean Paul Sartre, di mana bagian filsafatnya yang paling dekat dengan feminisme adalah etre-pour-les autres, atau being for others (ada-untuk-orang lain).
Dan dalam pandangan Sartre, bahwa apa yang terjadi adalah pengalaman pada suatu saat “saya” sebagai objek mengobjekkan orang lain (saya subjek-orang lain objek) dan dapat juga terjadi “saya” sebagai subjek diobjekkan orang lain (saya objek orang lain subjek).
Dengan mengadopsi prinsip-prinsip eksistensialisme, terutama konsep etre-pour-autrui atau ada-untuk-orang lain, Beauvoir yakin bahwa antara hubungan dua jenis, laki-laki telah mengklaim dirinya sebagai jati diri dan perempuan sebagai yang lain, atau laki-laki sebagai subjek dan perempuan sebagai objek. Beauvoir menegaskan dalam The Second Sex, bila hal ini benar, itu berarti ada ancaman bahwa perempuan kelak ingin menjadi subjek. Jadi, bila laki-laki ingin terus menjadi bebas, ia harus mensubordinasikan perempuan, dengan menindasnya. (Simone de Beauvoir. The Second Sex (1949), terj. H.M. Parsley. Great Britain: Penguin Books, 1989).
Dalam buku yang lain, pemikiran Sartre tentang kebebasan dan Tuhan, dianggap sangat berbahaya dalam hubungannya dengan Akidah dan Tauhid dalam Islam. Konsepsi tentang kebebasan inilah yang merupakan penolakan Tuhan oleh Sartre. “Seandainya Tuhan ada”, kata Sartre, “tidak mungkin saya bebas. Seandainya Tuhan Maha Tahu dan Maha Segalanya, kalau begitu tidak ada lagi kreativitas kebebasan. Tuhan yang absolut itu akan menghancurkan kebebasan saya, karena itu Engkau saya tolak,” demikian Sartre. (Dagfinn Dagfinn, “Sartre on Freedom”, dalam Paul Arthur; The Philosophy of Jean-Paul Sartre; Jurnal Perempuan Edisi-2).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Tetapi, kajian wanita tidak sama persis dengan feminisme. Kalaupun keduanya dinyatakan sebagai hal yang identik, akan muncul pertanyaan baru: feminisme macam apa? Seperti kita ketahui, feminisme memiliki banyak aliran: feminisme marxis, liberal, radikal, psikoanalisis, sosialis, dan seterusnya. Namun demikian dapat dikatakan bahwa memang ada kaitan erat antara kedua hal tersebut. Feminisme sebagai gerakan politik di satu pihak dan kajian wanita sebagai kegiatan akademis di pihak lain, kerap tumpang tindih. Rumusan yang paling tepat mengenai hubungan antara kedua hal tersebut adalah perkembangan kajian wanita dirangsang oleh gerakan feminisme. (Sandra Kartika & Ida Rosdalina, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, LSPP dan Asia Foundation, 1999).
Nah, kita telah menemukan titik-titik di mana dua kutub antara gagasan feminisme dan Keistimewaan Muslimah tidak dapat bertautan. Berbagai perbedaan mendasar dan bertolak belakang menjadi landasan pengertian ini. Bagaimana mungkin para feminis mendesakkan ide dan gagasan feminisme sekuler Eropa (kendati telah banyak pengaruh yang disebut sebagai feminisme yang Indonesianis) kepada perwujudan Keistimewaan Muslimah? Bagaimana mungkin para feminis menyebut diri feminis Muslim, sedang kedua hal ini tidak saling bertautan. Penggunaan istilah ini justru terdengar rancu bagi kalangan Muslimah.
Jadi Al-Quran tidak pernah mengulas tentang paham Gender, namun posisi perempuan dalam Islam adalah istimewa. Sesungguhnya Islam tidak pernah menutup diri terhadap ide dan gagasan lain di luar Islam, selama ide dan gagasan itu tidak bertentangan dengan hukum Al-Quran dan Sunnah Rasul. Bagi Ahlul Sunnah, sumber hukum itu terdiri dari Al-Quran dan Sunnah Rasul, tapi jika ada hal-hal baru, yang memerlukan ketetapan hukum, sedang dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul belum ada jawabannya, maka hendaknya para pemimpin mereka melakukan Ijtihad-nya, baik dengan jalan Ra’yu maupun dengan jalan Qiyas. Demikianlah tuntunan Rasulullah SAW.
Sayangnya, ide dan gagasan feminisme dan tentunya paham Gender tidak ditemukan hukumnya dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul. Karena sifatnya yang bertentangan dengan nash-nash Islam, bahkan untuk ijtihad terhadap ide dan gagasan feminisme sangat sulit dilakukan. Bahkan pula dengan jalan Ra’yu maupun dengan jalan Qiyas.
Ada pesan bijaksana bagi kaum feminisme; yakni jika hendak mengetahui keindahan arsitektur sebuah rumah, jangan hanya memandanginya dari kejauhan, kemudian membuat penilaian-penilaian, tetapi cobalah jejaki halamannya lalu masuklah dalam rumah itu. Kadangkala penilaian kita akan lebih objektif ketika kita berada di dalam daripada penilaian kita saat masih melihatnya dari kejauhan.
Jadi, jelaslah bahwa posisi dan kedudukan perempuan Muslimah telah menempati level dan tingkat kesadarannya sendiri, yang telah sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadist. Apa yang salah dengan pemahaman ini menurut gagasan feminisme? Tentu tidak ada, sebab Keistimewaan Muslimah sejatinya telah berjalan di jalurnya sendiri. Dan, seharusnya gerakan gender dan sekuler feminisme, silakan berjalan di jalurnya pula.
Bagi Muslimah yang merasa terus didesakkan dengan bentuk-bentuk syubhat, hendaklah bersabar dan mengingat firman Allah ini. “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik.” [QS: 73:10].[IQM/hidayatullah.com]
Penulis adalah jurnalis dan kolomnis.