Kedua muslim itu juga menguraikan cermatan mereka terhadap kata-kata dalam bahasa Arab yang diucapkan si pendeta. “Tidak hanya pengucapannya yang salah, sebagian lainnya pun sama sekali tidak pernah ada di dalam Al Qur’an.”
Sang pendeta beserta jamaahnya dan kedua muslim tadi agaknya telah mampu menembus tembok-tembok resistensi mereka masing-masing. Mendengar penilaian yang disodorkan kedua muslim tadi, sang pendeta mengakui bahwa teknik ceramah semacam inilah yang selalu diterapkannya setiap kali ia berusaha menyampaikan pemahamannya tentang Islam di hadapan warga Kristen.
Sang pendeta sepakat bahwa, walaupun mudah, metode semacam ini pada kenyataannya bukanlah menyampaikan kebenaran tentang Islam. Terlebih manakala berada di hadapan calon-calon pemimpin Kristen masa depan (mayoritas jamaah gereja Burwood adalah mahasiswa), memelintirkan ayat sama artinya dengan tidak memberikan keleluasaan kepada para individu dewasa untuk mengevaluasi kembali informasi yang mereka terima. Idealnya, berangkat dari asumsi bahwa para jamaah adalah sekumpulan individu yang mampu berpikir dewasa, maka seyogianya pemimpin ummat (dalam hal ini si pendeta) memberikan jamaah data seperti apa adanya, dan kemudian membebaskan mereka untuk memilah mana yang benar dan mana yang salah.
Mereka pun mafhum, hanya dengan cara yang menekankan keterbukaan dan kejujuran inilah, sang pendeta bisa mendapatkan manfaat lebih besar lagi dari ceramah-ceramahnya. Antara lain, pertama, sang pendeta turut andil dalam menyebarkan segala ajaran tentang kebenaran, dalam konteks ini penekanannya adalah Islam, agar dapat diapresiasi oleh warga Kristen secara dewasa pula. Kedua, sang pendeta memberikan kontribusi bagi tumbuhnya pengertian yang tulus tentang agama lain di kalangan warga Kristiani. Ini merupakan modalitas paling berharga untuk membangun jembatan keselarasan antar ummat beragama.
Dengan rendah hati, sang pendeta mengakui kekeliruannya dengan berkata, “Saya memang sering terpeleset. Saya harap anda mengerti, ceramah seperti ini hanya saya lakukan dalam keluarga besar kami.” Kedua muslim tadi, juga dengan ikhlas hati, mengakui keterbatasan-kertebatasan yang mereka punyai, termasuk melakukan otokritik terhadap metode pelintiran ayat untuk kepentingan pribadi maupun golongan.
Tentu, di balik kealpaan tetap ada kebaikan. Sang pendeta meluruskan tafsirannya tentang “jihad fi sabilillah” yang secara substansial merupakan ajaran tentang memperjuangkan Islam melalui cara-cara yang islami, baik mengejar ilmu, mencari rezeki yang halal, dan menciptakan keadilan dan perdamaian. Di samping itu, sang pendeta juga memaparkan betapa seringnya ia melakukan dialog lintas agama, termasuk dengan Ustadz Ja’far Umar Thalib (yang sempat disebut si pendeta sebagai Ketua Front Pembela Islam), K.H. Abdulllah Gymnastiar, dan K.H. Zaenuddin MZ. Diiringi oleh rasa berbaik sangka akan hal ini, paparan si pendeta semakin memantapkan keyakinan kedua pihak di atas akan keserasian dalam pertalian kebangsaan antara Islam dan Kristen.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Menghindar dari syakwasangka buruk juga kiranya yang mendorong kedua tamu di gereja Burwood tadi untuk membahas komitmen sang pendeta akan adanya proses dialog yang lebih intensif antar dua agama ini. Dalam ceramahnya di muka para jamaah, si pendeta mendeskripsikan strateginya untuk ‘masuk’ ke tengah-tengah komunitas muslim. Yaitu, dengan mengutus para anggota ministry-nya untuk mengenakan jilbab, menggunakan nama-nama islami, dan membawa identitas diri sebagai pengikut Rasulullah Muhammad (shalallaahu alaihi wassalam) ke sentra-sentra Islam, termasuk pesantren-pesantren.