Sambungan artikel PERTAMA
Filsuf dan sejarawan Patrick Boucheron dan Corey Robins dalam The Exercise of Fear: Political Uses of an Emotion, mengingatkan bahwa demi kekuasaan politik, pemerintah sering bersandar pada ketakutan dan mekanisme untuk terus membangkitkan, memperburuk, serta menguatkannya.
“Kekuatan politik terus memanfaatkan ketakutan, baik dengan menunjuk ancaman yang diangap berpotensi melemahkan kesatuan nasional, atau dengan memfokuskan perhatian penduduk pada kekuatan politik yang berpotensi mampu memecah semangat kebangsaan dan cara hidup kita,” tulis mereka. “Ketakutan adalah proyek politik yang berkembang melalui pembangunan tatanan, wacana ideologis dan tindakan kolektif.”
Sejarawan agama yang produktif, Karen Armstrong juga berpendapat sama. Dalam buku Fields of Blood, Ia menyatakan bahwa agama telah “dikambinghitamkan” untuk kekerasan yang sebenarnya tertanam dalam sifat ketamakan manusia, dan sifat kekuasaan negara, yang sejak awal mensyaratkan penundukan dengan menggunakan setidaknya 90 persen dari penduduknya.
Baca: Tempat Ibadah Non Muslim Tumbuh Cepat, Fakta Toleransi Umat Islam
Rasa takut rakyatlah yang kemudian disasar demi ketundukan, termasuk jika harus dibangun dengan sentimen agama melalui opini yang menyesatkan. Bahwa taat beragama bisa mengancam, bahwa ‘fanatik’ beragama bisa berujung pada sikap intoleran. Ujungnya, agama adalah ancaman, selama aturannya diperjuangkan, bahkan ditegakkan. Realitasnya, tentu saja ancamanbagi kekuasaan yang menyimpang, bukan ancaman bagi kepentingan rakyat. Sayangnya, opini yang digaungkan sebaliknya!
Menguak Fakta, Menepis Tuduhan
Secara historis, tidak ditemukan cerita kebrutalan dan penindasan dari institusi keagamaan di dunia Muslim, sebagaimana yang terlihat dari Gereja-gereja Eropa. Prinsip toleransi yang ditawarkan Islam sungguh sangat jauh berbeda. Prinsip toleransi yang diajarkan Islam adalah membiarkan umat lain untuk beribadah dan berhari raya tanpa mengusik mereka.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yang berbuat adil.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 247). Sekalipun dalam Al Quran ada makna kafir yang tegas, dan ada aturan terkait hukum berhubungan dengan orang-orang kafir, namun tidak lantas Islam melarang untuk sama sekali bermuamalah dengan mereka. Bahkan dianjurkan untuk saling menolong, terlepas apapun agamanya, selama non muslim tidak memerangi umat Islam.
Islam pun secara jelas mengajarkan prinsip,“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. Al Kafirun: 6).Ibnu Jarir Ath Thobari menjelaskan mengenai ‘lakum diinukum wa liya diin’, “Bagi kalian agama kalian, jangan kalian tinggalkan selamanya karena itulah akhir hidup yang kalian pilih dan kalian sulit melepaskannya, begitu pula kalian akan mati dalam di atas agama tersebut. Sedangkan untukku yang kuanut. Aku pun tidak meninggalkan agamaku selamanya. Karena sejak dahulu sudah diketahui bahwa aku tidak akan berpindah ke agama selain itu.” (Tafsir Ath Thobari, 14: 425). Maka toleransi dalam Islam bukanlah toleransi kebablasan ala liberal, yang kemudian mencampur adukkan ajaran agama, tentu saja bertentangan dengan prinsip kebenaran agama yang dipilih.
Toleransi dari ajaran Islam begitu mewarnai sejarah peradaban agung manusia, justru ketika Islam terbingkai dalam kekuasaan. Sejak masa Nabi, hingga para Khalifah setelahnya. Ingatlah kisah indah Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. saat membebaskan Baitul Maqdis, Palestina. Khalifah Umar menandatangani perjanjian damai dengan Pendeta Sofranius yang merupakan pemimpin umat Nasrani yang memberikan jaminan kepada warga non-muslim agar tetap bebas memeluk agama dan keyakinan mereka. Umat kristiani tidak dipaksa untuk memeluk Islam dan tidak dihalangi untuk beribadah sesuai keyakinannya, hanya diharuskan membayar jizyah sebagai bentuk ketundukan dan jaminan perlindungan oleh pemerintahan Islam.
Pada masa Kehilafahan Bani Umayah, toleransi kepada non-muslim tetap berlangsung harmonis. Saat memasuki Kepulauan Sardinia dan Sicilia di Italia Selatan, pasukan Islam tidak memaksa penduduknya menjadi Muslim. Saat pemerintahan Islam menguasai kepulauan di Lautan Mediterania, mayoritas penduduknya yang non-Muslim tetap dibebaskan menjalankan berbagai ritual keyakinan keagamaannya.
Sikap toleran kaum Muslim pun ditunjukkan saat Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkuasa. Saat itu di Negara Khilafah tidak ada seorang pun yang terkategori sebagai mustahiq zakat hingga harta yang terkumpul di Baitul Mal luar biasa melimpah. Akhirnya, Khalifah membelanjakan harta Baitul Mal tersebut untuk membebaskan perbudakan di benua Eropa dan Amerika.
Pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, toleransi di antara umat beragama tetap menjadi perhatian. Para penganut keyakinan animisme dan dinamisme di pedalaman Afrika hingga kaum musyrik di Asia Utara dan Asia Tengah tetap mendapatkan perlakuan baik dari pemerintahan Islam, termasuk kaum paganis di Steppa Eurasia yang terbiasa hidup nomaden. Bahkan saat Islam tersebar di antara kaum paganis itu, mereka berlomba menjadi para ksatria Islam dengan bergabung dalam akademi-akademi militer yang dibangun oleh para khalifah Bani Abbas.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Lihat pula kisah toleransi pada masa Kekhilafahan Utsmani, pasca Sultan Muhammad Al Fatih menaklukkan Konstantinopel yang merupakan pusat Kristen Orthodox dunia. Sejak penaklukkan itu, kekuasaan Utsmani terus berkembang masuk ke Eropa raya hingga populasi non-muslim yang berada di bawah otoritasnya pun semakin bertambah pesat.
Toleransi pada masa Utsmani ini diakui kebenarannya oleh seorang orientalis Inggris, T.W. Arnold yang berkata, “The treatment of their Christian subjects by the Ottoman emperors—at least for two centuries after their conquest of Greece—exhibits a toleration such as was at that time quite unknown in the rest of Europe (Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa).”Ia pun mencatat bahwa keadilan Khalifah Islam membuat warga Kristen penduduk Syam lebih memilih hidup di bawah kekuasaan Khalifah Islam dibanding dipimpin oleh Kaisar Romawi walau sama-sama Kristen. (The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, hlm. 134).
Jadi, Salah Siapa?!
Terlalu banyak bukti yang bisa diungkap bahwa Islam mampu menunjukkan dirinya sebagai agama sekaligus kekuasaan dengan misi toleran sejati. Bagi muslim-non muslim, mayoritas-minoritas, kulit hitam-kulit putih, hingga penguasa-rakyat. Baik dari sisi ajarannya, maupun fakta peradaban yang tak satupun bisa terbantahkan, kecuali bagi mereka yang menutup mata dari kebenaran. Maka ada yang salah ketika saat ini Islam begitu disudutkan, padahal rakyat (muslim dan non-muslim) secara nyata menghadapi ketidakamanan, bahkan keterancaman untuk menjalankan ajaran agamanya dengan baik. Jika negara tak mampu menjadi pengayom dan penjaga ketaatan beragama rakyatnya, lalu mengapa umat Islam yang disudutkan dan dikorbankan? ‘nabok nyilih tangan’ itu namanya, mencari kambing hitam atas kesalahannya sendiri. Memalukan!
Balai Penelitian Getas, Jl. Pattimura km 6 Salatiga