Oleh: Fida’ Ahmad Syuhada
Hari ini dunia diterpa berbagai krisis kemanusiaan yang diakibatkan oleh konflik. Belum juga usai masalah penjejahan di Palestina, 470.000 warga Suriah dikabarkan menjadi korban pasca Revolusi Suriah. Belum lagi korban pembantaian etnis Muslim Rohingnya, Pattani, dan berbagai negeri yang sedang berkecamuk lainya.
Apapun alasannya, pembantaian tidak pernah dibenarkan. Baik oleh nurani sebagai fitrah manusia, apalagi oleh agama dan norma-norma yang ada.
Islam datang sebagai agama yang melawan kedzaliman manusia. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam sebuah hadits Qudsi:
“يَا عِبَادي، إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَ جَعَلْتُهُ بَينَكُمْ مُحَرَّمًّا، فَلَا تَظَالَمُوا….”
“Wahai hambaku, sesungguhnya aku mengharamkan kedzaliman atas diriku, dan kujadikan ia haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling mendholimi…” (H.R. Muslim dari Abu Dzar)
Sebagai muslim, telah jelas bahwa Islam mengangkat fitrah kita untuk melawan kedzaliman apapun bentuknya, termasuk apa yang disebut sebagai krisis kemanusiaan. Dan pada kenyataanya, kaum Muslimlah yang hari ini paling banyak menjadi korban dari krisis kemanusiaan ini.
Kemanusiaan (humanity) demikian Oxford Dictionary mengartikan, adalah: ‘The state of being human’ atau ‘The quality of being human’; Ketentuan atau nilai-nilai dan kualitas menjadi manusia. Kemanusiaan secara umum adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan hak-hak dasar manusia yang tak boleh dilanggar.
Maka atas nama kemanusiaan, banyak orang, yang masih memilikinya, menentang tindakan yang mengakibatkan hilangnya hak dasar manusia yang bernama kehidupan.
Sudah banyak organisasi dan yayasan yang bergerak di bidang kemanusiaan. Baik dalam skala regional maupun internasional, milik pemerintah maupun non-pemerintah. Dan kebanyakan organisasi kemanusiaan ini, berfokus pada pemenuhan the basic human needs (kebutuhan hak dasar manusia), dalam aksi kemanusiaan mereka.
Terlepas bantuan yang amat berarti bagi korban krisis kemanusiaan, pada akhirnya kegiatan kemanusiaan ini tidaklah menyelesaikan krisis kemanusiaan itu sendiri. Apalagi menyelesaikan konflik. Sebab seberapapun banyak anak-anak yang dirawat, tempat pengungsian yang dibuat dan bantuan yang diberikan. Konflik akan tetap berlangsung dan korban akan tetap bertambah.
Terlalu fokus pada the basic human need inilah yang menyebabkan ICRC (International Comitte of the Red Cross) dan organisasi semisal dianggap terlalu naïf untuk menyelesaikan konflik. Fokus yang terpenting adalah pemenuhan human right. Akar sebenarnya adalah pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan oleh rezim yang ada, dan pelanggaran inilah yang harus diatasi.
Tapi hukum tak bisa ditegakkan pada sebuah rezim dalam negara yang sedang berkecamuk. Sehingga pilihan yang ada kemudian adalah intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh negara lainya.
Lembaga seperti Medisins Sans fronterier (MSF) dan Human Right Watch (HRW) paling menyetujui strategi politik dan penggunaan militer dalam intervensi kemanusiaan untuk menyelesaikan konflik.
Tapi apa yang kita lihat kemudian? Saat Amerika mendukung penuh penggulingan rezim Saddam Husein di Iraq (2003,) yang terjadi adalah bombardir yang menewaskan 300.000 warga Iraq dan embargo yang menyebabkan 1,5 juta anak-anak mati kelaparan dan kekurangan obat-obatan. Begitu juga yang dilakukan oleh beberapa negara Adi Daya yang melakukan intervensi atas nama kemanusiaan.
Dan itulah yang kini berlangsung di Suriah. Atas nama kemanusiaan, Rusia, Amerika, dan Negara-negara asing turut campur melakukan intervesi (baca: militer) yang sarat kepentingan. Sementara krisis kemanusiaan bukanya mereda justru semakin bertambah parah.
Kemanusiaan akan menjadi bias saat dihadapkan dengan kepentingan. Dan bahkan kemanusiaan telah menjadi alat bagi kepentingan bagi segelintir orang. Inilah praktek dan kenyataan yang terjadi sekarang.
Kemanusiaan dan Persaudaraan Iman
Sesungguhnya motif kemanusiaan tidaklah cukup dan tidak pernah cukup untuk menegakkan keadilan. Apalagi untuk umat Islam, yang kini sebagianya mengalami pembantaian di berbagai tempat.
Islam telah membawa konsep hebat bernama ukhuwah islamiyah dan persaaudaraan Islam. Persaudaraan yang diikat dengan iman dan melampaui semua hubungan. Itulah salah satu bentuk akidah Islam.
Karena menggunakan kata yang menggambarkan persaudaraan sedarah, maka watak ukhuwah islamiyah ini sama sebagaimana pertalian darah. Maka iman mengingatkan hati setiap muslim sebagai saudara. Bagai satu tubuh yang akan merasakan sakit yang diderita anggota tubuh lainya.
عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لاَ يَهْتَمْ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ (رواه الطبراني)
“Dari Hudzaifah bin Al-Yaman ra, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan kaum muslimin, maka ia bukan termasuk golongan mereka.” (HR. Thabrani).
Persaudaraan karena ikatan iman inilah yang tercermin pada generasi sahabat sebagai Khoirul Ummah. Sebagaimana yang diungkapkan Ibnu Abbas Radhiallahu Anhu: “Kami pernah melewati sebuah masa, dimana seseorang tidak merasa lebih berhak atas hartanya sendiri ketimbang saudaranya.”
Persaudaraan karena iman inilah yang seharusnya menjadi wujud persatuan Islam. Meminjam istilah Dr. Hamid Fahmi Zarkasy menyatakan, “Terminologi yang tepat untuk persatuan Islam adalah ukhuwah yang asasnya adalah kesamaan dalam ber-I’tishom: kesamaan tempat kembali yakni Kitab dan Sunnah, kesamaan tujuan yakni mempertahankan agama Allah dan kesamaan segala sesuatu yang berkaitan dengan ber-Islam itu sendiri.”
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Maka saat tangis dan darah saudara seiman kita tertumpah, tak sekedar getar kemanusiaanlah yang menggugah kita. Tapi lebih dari itu, getar-getar imanlah yang membangkitkan kita semua, bukan yang lain.
Kita mengeluarkan harta, menggalang massa dan menggerakkan upaya kemanusiaan, hanya karena getar-getar Iman akan ukhuwah islamiyyah dan mengharap ridho Allah Ta’ala semata. Dan jika telah tiba masanya, kita akan mengangkat senjata bila perlu. Demi tegaknya Izzah Islam dan Muslimin, serta persaudaraan iman akan melampaui sekat-sekat teritorial bernama ‘Negara’. Begitulah seharunya.
Ukhuwah Islamiyyah tidak akan menjadikan umat Islam mengabaikan keadilan dan hak-hak pemeluk agama lain. Karena Iman menjadikan umat Islam membenci dan melawan setiap kedzaliman, oleh siapapun dan dalam bentuk apapun.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam telah menunjukkan sikap adil luar biasa atas musuh-musuhnya selama hidup beliau. Sikap ini pula yang ditunjukkan oleh Abdullah bin Rawahah dalam saat berhadapan dengan kaum Yahudi yang berusaha menyuapnya; “Kecintaanku pada Rasulullah, membuatku tidak akan mengkhianati beliau, tapi kebencianku pada kalian, juga tidak akan membuatku mendzalimi hak-hak kalian.”
Persaudaraan Iman inilah yang kita rindukan hari ini. Ukhuwah Islamiyyah yang mewujud menjadi Ittihadiyyah (Persatuan). Ukhuwah Islamiyyah yang mengejawantah dalam setiap lini kehidupan. Ukhuwah Islamiyyah yang menembus sekat teritori, demi menghapus krisis kemanusiaan dan melawan kedzaliman. Kita sungguh merindukan seruan geram seorang pemimpin, saat kehormatan seorang Muslim dianiaya oleh orang kafir.
Pemimpin Muslim yang secara berani tegak berdiri dengan mengatakan; “Bebaskan saudara kami, atau akan kukirimkan sebuah pasukan!”.*
Penulis santri lulusan Madrasah Aliyah (MA) Hidayatullah Jogjakarta tahun 2015. MIMBAR dikhususkan para santri, pelajar, mahasiswa dan penulis pemula