Oleh: Muhammad
KEDATANGAN tokoh NU Yahya Cholil Staquf ke ‘Israel’ menuai polemik. Kehadiran Yahya pada konferensi tahunan Forum Global AJC (Komite Yahudi Amerika) dinilai melukai perjuangan bangsa Palestina.
Apalagi perhelatan tersebut digelar di tanah Yerusalem (Baitul Maqdis), yang kini sedang dijajah. Sontak Hamas dan Fatah kompak mengecam. Mereka menilai kehadiran Yahya adalah bentuk penghinaan dan pengkhianatan karena Indonesia selama ini berdiri bersama bangsa Palestina dan tidak memiliki hubungan diplomatik dengan negara penjajah tersebut.
Padahal, jika mau melihat sejarah, maka kita akan melihat hamparan standar ganda ‘Israel’ terhadap delegasi Indonesia.
Mereka yang mau berbicara di forum Palestina ditolak. Namun, mereka yang datang ke forum ‘Israel’ disambut dengan suka cita.
Jika Yahya disambut hangat oleh ‘Israel’, maka hal yang sama tak berlaku kepada delegasi Indonesia yang hendak bersuara lantang membela Palestina, termasuk Menteri Luar Negeri dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang kini diketuai Rais Aam PBNU KH. Ma’ruf Amin.
Dukung Palestina, Menlu Ditolak
Pada tahun 2012, Menlu Marty Natalegawa tidak bisa memasuki Kota Ramallah, Palestina, guna mengikuti Konferensi Tingkat Menteri Gerakan Non-Blok untuk membahas Palestina.
Kedatangan Marty tegas ditolak oleh otoritas ‘Israel’ yang menjajah kawasan Palestina.
‘Israel’ beralasan penolakan itu dilakukan karena Indonesia tidak mau mengakui negara zionis tersebut.
“Sebuah keputusan telah diambil untuk melarang perwakilan diplomatik dari beberapa negara yang tidak mengakui ‘Israel’,” ujar salah seorang pejabat ‘Israel’.
Insiden diplomatik ini kontan mendapat reaksi keras dari DPR. Komisi Pertahanan dan Luar Negeri DPR mengecam penolakan ‘Israel’ atas kedatangan Marty Natalegawa. Penolakan itu menunjukkan sikap arogan ‘Israel’ atas wilayah yang seharusnya masuk wilayah Palestina.
Namun, penolakan itu tidak membuat Indonesia melunak. Indonesia tetap tidak mau berwajah manis dan duduk bersama ‘Israel’.
Sebaliknya, Marty menegaskan bahwa penolakan itu tanda kehormatan bagi bangsa Indonesia.
“Bagi Indonesia, tidak diterima ‘Israel’ merupakan tanda kehormatan. Ini adalah pengakuan bagi posisi Indonesia dan posisi dunia internasional bahwa ‘Israel’ membatasi Palestina untuk berhubungan dengan dunia luar,” kata Marty.
Tindakan intoleran ‘Israel’ kembali terulang kepada Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada tahun 2016.
Saat itu, negara yang disebut Presiden Erdogan sebagai teroris ini menolak delegasi Indonesia yang ingin memasuki wilayah Palestina, tapi tidak mau bertemu pejabat ‘Israel’.
Saat itu, rombongan Retno Marsudi ingin datang untuk meresmikan pengangkatan Maha Abu-Susheh sebagai Konsul Kehormatan Indonesia di wilayah itu.
Tapi delegasi Indonesia yang bermaksud datang dengan helikopter militer Yordania tidak mendapat ijin masuk dari otoritas ‘Israel’.
”Tidak diberikannya izin over flight tersebut tidak menyurutkan determinasi Indonesia untuk melantik Konhor RI Ramallah. Dengan pengaturan yang sangat cepat, maka pelantikan dapat dilakukan di Amman dengan lancar,” tegas keterangan Kementerian Luar Negeri.
Baca: Inilah Acara Organisasi Yahudi Dihadiri Benyamin Netanyahu dan Yahya C Staquf
MUI dilarang bicara Al Quds
Tindakan intoleran tersebut tidak hanya berlaku kepada Menlu, tapi juga kepada institusi keulamaan di Indonesia.
April lalu, ‘Israel’ dengan tegas menolak izin perwakilan Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memasuki Palestina.
Saat itu, Ketua MUI Muhyiddin Junaidi hendak datang untuk mengikuti konferensi pembebasan Al-Quds di digelar di Ramallah, Palestina pada April 2018 lalu.
Karena tidak bisa masuk, Ketua MUI Muhyiddin terpaksa menginap di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yordania. Sebagai gantinya, MUI Palestina mendatanginya.
Dalam pertemuan itu, Muhyiddin memberikan sumbangan sebesar dari masyarakat Indonesia yang nilainya sebesar US$120 ribu atau sekitar Rp1,5 miliar.
Sumbangan tersebut adalah hasil donasi masyarakat Indonesia yang diberikan kepada MUI dan diterima oleh Ketua Umum MUI KH. Ma’ruf Amin.
Kiai Ma’ruf, sapaan akrabnya, mengutus Muhyiddin Junaidi untuk menyerahkannya langsung kepada bangsa Palestina sebagai bentuk dukungan bangsa Indonesia.
Nahas, ternyata sumbangan yang hendak diberikan itu pun tak bisa masuk ke Palestina karena bank Yordan dan Mesir takut, menolak.
Untuk itu, uang sumbangan dari MUI akhirnya disimpan di KBRI Yordania. “Begitulah kondisi muslim bangsa Palestina di negaranya sendiri,” kata Muhyiddin.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Baca: Gerakan Perlawanan Islam Palestina Kecam Kehadiran Yahya C Staquf ke Israel
Sejatinya, dari fakta-fakta ini kita mengetahui bahwa tidak ada lampu hijau sedikitpun dari ‘Israel’ bagi siapa saja yang sungguh-sungguh berjuang untuk kemerdekaan Palestina.
‘Israel’ hanya akan mau berbicara kepada mereka yang dinilai dapat menguntungkan posisi zionis.
Itulah mengapa ‘Israel’ bersuara tegas memblok wisatawan Indonesia yang hendak mengunjungi Al-Aqsha, tapi di sisi lain justru menyutujui kedatangan Yahya untuk berbicara di forum American Jewish Comitte pada 10 Juni kemarin.
Undangan komunitas Yahudi yang dikenal paling getol mengkampanyekan pendirian ‘Israel’ sesungguhnya bertepatan dengan peringatan 70 tahun berdirinya ‘Negara palsu ‘Israel’. Bukankah dengan menghadiri acara ini sama saja mengakui 70 tahun penjajahan?
Menariknya, acara itu hanya berlangsung beberapa hari dari keputusan ‘Israel’ menunda larangan WNI memasuki negaranya yang tadinya mulai berlaku pada tanggal 9 Juni.
Pertanyaannya, kenapa ACJ menjadi penting bagi ‘Israel’? Karena itu adalah momentum yang tepat untuk menggalang opini dunia, khususnya Muslim, untuk mendukung negara penjajah tersebut, sebagaimana pesan Benyamin Netanyahu di acara tersebut.
“Saya mengetahui ada yang sangat penting (dalam konferensi kali ini), benar-benar penuh harapan, selamat datang kepada kalian semua dari Indonesia.”*
Penulis adalah wartawan peliput isu-isu luar negeri di Indonesia