Sambungan artikel PERTAMA
Konten-konten di dunia maya yang cenderung menggugah emosi (negatif atau positif) dapat berbuah petaka ketika ia menjadi menular secara cepat. konten yang menggugah emosi membuat orang lebih mudah untuk menyebarkannya. Dan konten emosional ini dapat terus menyebar secara viral karena efek emosi yang menular (emotional contagion). (E. Guadagno, et al: 2013)
Menariknya, Michael Rosenwald, reporter dari Washington Post, mengutip penelitian dari University of California, menyebutkan bahwa literasi media tetap berpengaruh pada orang-orang yang memegang teguh nilai-nilai dan kepercayaan tertentu.
“those with media literacy training can still be fiercely committed to their world view, but they can also successfully question flimsy claims. They can call bullshit. Maybe they can even stop spreading it.”
Maka menjadi tak tepat ketika pemerintah saat ini hanya memakai pendekatan hukum dalam perang terhadap hoax. Pendakatan legalistik seperti ini justru tak menyelesaikan masalah. Mengedukasi masyarakat lewat literasi media tantangan yang harus dihadapi semua negara. Justru ketika menghadapi persoalan hoax hanya menuding masyarakat sebagai biang keladi, maka sebenarnya menutupi lubang hitam yang lebih besar. Hoax dapat dieksploitasi untuk memukul pihak tertentu.
Lihatlah bagaimana pemerintah Myanmar menuding persekusi terhadap muslim Rohingya sebagai berita bohong. Atau yang lebih jelas, ketika Donald Trump, Presiden AS saat ini berusaha untuk membungkam kritik yang menimpanya dengan menuduh beberapa media sebagai penyebar berita bohong (fake news).
Steve Coll, Dekan dari Graduate School of Journalism di Columbia Univesity menyebutkan bahwa definisi “fake news” ala Trump berarti liputan kredibel yang ia tak sukai.
“But he complicates the matter by issuing demonstrably false statements of his own, which, inevitably, make news. Trump has brought to the White House bully pulpit a disorienting habit of telling lies, big and small, without evident shame. Since 2015, Politifact has counted three hundred and twenty-nine public statements by Trump that it judges to be mostly or entirely false.” (Steve Coll: 2017)
Baca: Rocky Gerung Sebut Pembuat Berita Hoax Terbaik adalah Penguasa
Artiya Trump menutupi kebohongan-kebohongannya dengan menuduh pihak yang ia tak sukai sebagai pembuat kebohongan. Dalam hal ini media yang kritis kepadanya ia tuduh pembuat berita bohong (fake news). Hal ini menadakan pada kita bahwa hoax dapat pula dieksploitasi dan dijadikan komoditas politik oleh peguasa. Rezim seperti myamar atau Trump memakai label hoax utuk informasi yang mereka tak sukai.
Di Amerika Serikat pula, Hoax yang dampaknya sangat massif dan dibuat oleh penguasa atau pemerintah. Hal ini terjadi pada masa pemeritahan George W. Bush. Ketika pada pada tahun 2002 menuduh pemeritah Irak di bawah Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal. “Imagine a September 11 with weapons of mass destruction. It’s not 3,000, it’s tens of thousads of innocent men, women, and children,” kata Donald Rumsfeld, Menteri Pertahanan AS saat itu.
Rezim Bush menjadikan ‘11 September’ sebagai komoditas dan meyebarka hoax bahwa rezim Saddam memiliki senjata pemusnah massal. Dampak hoax ini kemudian massif. Rezim Bush menyerang Irak atas nama pre-emptive strike. Nyawa rakyat Irak melayang. Kehancuran masyarakat dan peradaban buah dari hoax rezim Bush.
Hoax tentang senjata pemusnah massal (WMD) yang disebar oleh pemerintahan Bush seharusnya bisa disaring oleh pers di AS pada saat itu. Tetapi kenyataannya pers AS tak bekerja sebagaimana mustinya. Informasi oleh pajabat pemeritah ditelan begitu saja. Alih-alih mejadi kritis terhadap kebijakan dan pernyataan pemerintah, pers arus utama di AS, termasuk New York Times dan Washigton Post malah mejadi corong rezim Bush.
“The continuing dependence of mainstream journalism on the story lines fed them by powerful officials was not due to some aberration, but to the routine rules of the news game. The expertly sold prewar buildup and the planned Hollywood ending were not isolated incidents of the press reporting the offi cial line. Long before Mr. Bush landed on the Abraham Lincoln, the leading U.S. news organizations had effectively become government communications channels.” (Lance W. Bennet, Regina Lawrence, dan Steven Livingstone: 2007)
Bahkan jejak mandulya pers AS semakin buram ketika jurnalis New York Times, Judith Miller memuat berita yang salah mengenai senjata pemusnah massal. Miller percaya begitu saja pada Mr. Chalabi, narasumberya tentang senjata pemusnah massal yang kemudian diketahui berbohog. Miller kemudian membela diri dengan mengatakan,
“My job isn’t to assess the government’s information and be an independent intelligence analyst myself. My job is to tell readers of The New York Times what the government thought about Iraq’s arsenal.”
Benarkah demikian? Pernyataan Miller dibantah oleh Maureen Dowd, kolumnis New York Times. “Investigative reporting is not stenography,” bantah Dowd. (Lance W. Bennet, Regina Lawrence, dan Steven Livingstone: 2007)
Oleh sebab itu disinilah pentingnya peran pers. Pers bukalah corong pemerintah. Jurnalisme bukan pencatat pernyataan pemerintah (clerkism), Pers adalah watchdog yang berperan sebagai kontrol pemeritah.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Demikian pula, jurnalis senior Indonesia, Yoko Sari menyatakan ketika berbicara pers digital di Indonesia,
“Sebagian besar jurnalis yang sudah berpengalaman dua-tiga tahun tidak mengerti atau tidak memandang perlu untuk mencari data atau informasi sebagai penyeimbang dari keterangan satu narasumber, swasta atau pemerintah.
Silahkan lihat berita-berita yang diunggah. Meski tidak semua, hampir sebagian memuat informasi dan data satu sisi tanpa ada upaya membuat berita lanjutan yang berisi pembenaran atau sanggahan.
John McBeth benar dalam hal ini. Semua pernyataan kini dianggap satu kebenaran. Jika pejabat A mengatakan B, itulah kebenaran hakiki.”
Maka peran jurnalis yang kritis terhadap kebijakan, pernyataan dan tindak tanduk pemerintah menjadi penting untuk membendug hoax. Hoax yang berasal dari pemerintah – seperti di AS- perlu dikritisi. Penyebar atau pembuat hoax bukan label bagi kelompok atau pihak tertentu. Alih-alih ia penyakit yang bisa diidap siapa saja.
Perang terhadap hoax bukalah monopoli satu pihak saja, melainkan semua pihak, masyarakat, pemeritah dan jurnalis. Di perjalanan enam tahun Jurnalis Islam Bersatu (JITU), kami mengajak kembali untuk bersikap kritis tanpa hoax. War on Hoax: Kritis tanpa hoax. Wallahualam.*
Anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU)