Sambungan artikel PERTAMA
Minimal ada 6 kontroversi Starbucks antara lain:
- Strategi Pasar
Sejumlah metode yang dipakai Starbucks untuk memperluas dan mempertahankan dominasi pasar mereka, termasuk membeli sewa kedai pesaing, sengaja mengalami rugi, dan memusatkan beberapa kedai di daerah kecil (penjenuhan pasar), telah dicap sebagai anti-kompetitif oleh para kritikus. (Klein, N. (2001). No Logo New York: Flamingo, pp. 135–140).
- Sengketa Buruh
(“Judge orders Starbucks to pay more than $100 million in back tips“. Yahoo! Canada News. March 21, 2008);
- Pembukaan tanpa izin
(Stephens, Alex; Jonathan Prynn (February 28, 2008). “Starbucks faces eviction as ‘wrong kind of shop’“. pp. Evening Standard); dan
- Kasus penghindaran pajak
Bermula dari berita bahwa Pada Oktober 2012, Starbucks dihujani kritik setelah investigasi Reuters menemukan bahwa perusahaan ini hanya membayar pajak perusahaan sebesar £8,6 juta di Britania Raya selama 14 tahun, padahal mengeruk untung lebih dari £3 miliar. (http://uk.reuters.com/article/us-britain-Starbucks-tax-idUKBRE89E0EX20121015)
Baca: Sikapi LGBT, Ketua Bidang Ekonomi Muhammadiyah Serukan Boikot Starbucks
Ini mencakup pula ketiadaan pajak yang dibayar dari hasil penjualan sebesar £1,3 miliar selama tiga tahun sebelum 2012 (http://www.bbc.com/news/business-19967397).
- Dukungan terhadap LGBTQ
Sikap Starbucks yang mendukung dan ikut mengkampanyekan LGBTQ adalah hal yang tidak sesuai dengan undang-undang dan konstitusi negara kita. Perusahaan luar negeri yang buka waralaba di Indonesia mengeluarkan pernyataan seperti itu tentu sangat disayangkan karena Indonesia adalah salah satu pasar terbesarnya.
Oleh karena itu, seruan boikot di Indonesia dan negara-negara lain tidak bisa disalahkan karena ini adalah bentuk kepedulian masyarakat terhadap konstitusi dan nilai nilai yang ada di negara tersebut.
Tak perlu memang Starbucks mengeluarkan pernyataan yang memicu konflik horizontal, toh, sebelumnya Starbucks sudah menikmati dan mendapatkan laba yang besar dari kopi-kopi lokal yang dikapitalisasinya menjadi kopi-kopi mahal.
Di Indonesia, polemik LGBTQ pun sudah final secara legal-formal. Indonesia menolak tegas LGBTQ dan pernikahan sesama jenis.
Siapapun dengan alasan kedaulatan harus menghormati itu sebagaimana Indonesia menghormati pernikahan sesama jenis yang sudah dilegalisasikan di Amerika Serikat. Kenapa tidak mengkritik atau memboikot perusahaan lain juga yang bersikap sama dengan Starbucks?
Perlu diperhatikan ini gerakan masyarakat, gerakan sosial, jika ada masyarakat yang memboikot dan atas dasar yang jelas, maka tidak perlu pula kita mengatur-ngatur agenda orang lain. Jika tidak bisa memboikot semua, bukan berarti semua harus tidak diboikot. Ini adalah usaha dan gerakan masyarakat dan sesuai kemampuan masing-masing dari mereka.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Pemboikotan Starbucks ini harus dibarengi juga dengan usaha bersama untuk meningkatkan produksi, promosi, dan pemasaran kopi-kopi lokal.
Mengapa kita harus membayar mahal-mahal kopi lokal yang dikapitalisasi sedemikian rupa sehingga kita harus mengorek kocek dalam-dalam. Kopi lokal yang asli diproduksi, dipasarkan, dan dikelola oleh orang Indonesia asli harus menjadi rencana tindak lanjut kita bersama. Kita harus mengembangkan coffee shop dan kopi lokal dan harus menguntungkan pihak lokal juga.
Pemboikotan ini adalah percikan nasionalisme anak bangsa yang tidak ingin konstitusinya rusak lewat pemasaran kopi-kopi lokal yang dikapitalisasi asing.*
Penulis peminat masalah sosial dan politik