Dan atas berkat rahmat Allah, para pendiri bangsa ini ingin bersyukur.Bukankah kita dulu tak memiliki senjata mumpuni seperti kepongahan mereka?Bukankah kita dulu hanya bambu runcing?
Berkilo-kilo meter, Bung Karno bersimpuh di depan Tengku Daud Beureuh di pendopo Aceh, memaklumkan jihad melawan mereka yang pongah dengan segala kecanggihan. Bahwa hanya dengan pertolongan Allah, kita memasuki gerbang kemerdekaan.
Berkaca matanya, berujuar di hadapan pemimpin besar Aceh ini, “Memang yang saya maksudkan adalah perang yang dikobarkan oleh pahlawan Aceh seperti Teungku Cik di Tiro, perang yang tak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid.”
Atas berkat rahmat Allah, negeri ini merdeka, maka tak bolehnya setangkai syukur ini semerbak.Daud Beureuh dan rakyat Aceh menyatakan siap, asal kelak, setelah kemenangan atas rahmat Allah, negeri ini menjadi negeri yang pandai bersyukur, agar mereka secara bebas menjalankan syariatnya.
“Kakak, (panggilan Soekarno kepada Daud Bereuh), tak usah khawatir.Sebab, 90 persen rakyat Indonesia beragama Islam,” kata Soekarno.
“Maafkan saya, Saudara Presiden.Kami menginginkan sesuatu kata ketentuan dari Anda,” kata Daud Beureuh.Sukarno mengagguk pelan.Tapi dia terkejut ketika Beureuh menyodorinya secarik kertas.Rupanya dia meminta Sukarno menuliskan sesuatu.
Air mata Soekarno tumpah ruah. Bulir bening itu mengalir deras meleleh melewati pipinya.Dirinya terisak.“Air mata sampai membasahi pakainnya,” tutur Ibrahim, menanti Beureuh sebagaimana dilansir Majalah TEMPO edisi khusus Daud Beureuh.
“Bukan kami tak percaya. Sekadara tanda untuk diperlihatkan kepada rakyat Aceh yang kami ajak berperang,” kata Daud Beureuh meyakinkan Soekarno, bahwa dengan jihad, umat tak kan gentar melawan kekuatan besar yang menanti, bahwa ada pertolongan Allah di sana!
Soekarno terus menangis, memberikan janji, janji yang sempat tak tertunai.
“Wallah, Billah, kepada daerah Aceh nanti akan diberikan hak menyusun rumah tangganyta sendiri sesuai dengan syariat Islam,” katanya terisak. Melihat Soekarno menangis, Beureuh merasa iba, dan memegang janji sang pemimpin.
Maka menangislah kita, melihat memori-memori indah perjuangan negeri ini.Menangislah melihat keinginan yang luhur dari mereka, para pendahulu kita. Yang menorehkan kalimat yang begitu nyata:
Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan di dorong kan oleh keinginan luhur supaya ber kehidupan kebangsaan yang bebas maka rakyat indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Tak heran, para pendiri bangsa ini ingin sedikut bersyukur dengan menjalankan aturan-aturanNya, karena kemerdekaan diperoleh atas berkat Rahmat Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
“Dan Kemudian, setelah tercapai kemerdekaan yang men jadi idaman cita-cita, yang tak pernah padam dalam bangsa kita, istimewa umat Islam, dalam semasa kita ditakluk-tundukkan oleh kekuasaan asing, yakin pula kita bahwa segenap bangsa kita yang beragama menyambut nikmat karunia itu dengan bersyukur kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Maka pastilah bahwa pokok dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu pernyataan aqidat tersebut di atas tadi.( Tim 100 Tahun Haji Agus Salim : 1984, hal. 441)
Kesepakatan tentang makna sila pertama yaitu tauhid, membuat Ketua MUI pertama Buya Hamka meminta agar umat Islam menjalankan dan menghidupkan Islam dalam kesehariannya.Sebab, menghidupkan Islam berarti menghidupkan Pancasila.
“Oleh karena yang menjadi urat tunggang dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan itu saja perjuangan yang pertama dan utama, dengan sendirinya sila ke-lima ini, yaitu kebangsaan, dapatlah berjalan sebaik-baiknya,” kata Hamka dalam buku Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila. (2001)
Lebih dari itu, Hamka mengaskan untuk menjamin Pancasila tegak di bumi pertiwi, tokoh Muhammadiyah ini meminta agar masyarakat Indonesia menghidupkan Islam dengan landasan kalimat tauhid!
“Maka, untuk menjamin Pancasila, marilah kita bangsa Indonesia yang mengakui Allah sebagai TuhanNya dan Muhammad sebagai Rasulnya bersama-sama menghidupkan agama Islam dalam masyarakat mita.”(Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila. (2001), Pustaka Panjimas, hal.143)
Sebab, menurut Hamka, Pancasila telah hidup semenjak Islam datang ke Indonesia.Menggerakkan para ulama dan syuhada untuk membela agama dan negara, hingga Allah anugerahkan kemerdekaan.
Bung Karno pernah berkata, “Pancasila itu telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, sejak lahirnya Sarekat Islam yang dipelopori oleh Almarhum HOS Tjokroaminoto..”
Maka, Hamka menambahkan:
“Pancasila telah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, yaitu sejak seruan Islam sampai ke Indonesia dan diterima oleh bangsa Indonesia. Kita tak usah kuatir falsafah Pancasila akan terganggu, selama urat tunggangnya masih tetap kita pupuk: Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Maka, kita kembalikan kembali makna Pancasila yang selama ini terlupakan.”Hanya dengan memegang teguh agama Islam saja, itu sudah otomatis menegakkan Pancasila,” kata Doktor pertama politik kita, Prof. Dr. Deliar Noer dalam Islam, Pancasila dan Asas Tunggal (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983).
Kata Prof. Deliar Noer, ada pihak yang menjadikan Pancasila manis di lisan, dengan mengatakan dirinyalah yang Pancasila. “Ada orang-orang yang mengutamakan nama, mengutamakan kulit, mulut manis di bibir, ucapan, ataukah perbuatan dan sikap?” katanya dalam buku yang sama.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Seorang bayi umpamanya tidak didengungkan nyanyian Pancasila, tetapi mungkiin sekali dengan nyanyian yang disertai dengan harapan atau doa supya ia lekas besar supaya kelak menjadi anak yang berbakti kepada ibu dan ayahnya, dan supaya menjadi anak yang diridhai Allah,” kata Deliar Noer, maka dengan sendirinya ia telah mengamalkan Pancasila.
Sebaliknya, mengaku-aku Pancasila, sembari menuding sana-sini anti Pancasila, menghina ulama, nyinyir kepada ajaran agama, mengumpat, menghina, menista, justru mengaburkan makna sebenarnya dari Pancasila.
Menepuk memori, membuat kita menghargai pendahulu kita.Membuat Pancasila berada pada makna yang hakiki. Sebab, bukan menjalankan ajaran agama yang akan membuat negeri ini pecah seperti yang ditakutkan dan ditudingkan. Yang membuat negeri terpecah karena abai sejarah.
Abai sejarah membuat negeri ini menuju negeri pelupa. Menepuk memori mengingatkan kita kembali, mengapa kita berada di sini: Indonesia.
Maka, ucapan sejarawan kesohor Peter Carey dalam bukunya Takdir (2014) ini menjadi renungan kita bersama,”Tanpa cinta dan penghargaan pada sejarah mereka sendiri, Indonesia akan terpecah dan orang-orang Indonesia akan hidup terkutuk selamanya di pinggiran dunia yang mengglobal tanpa tahu siapa diri mereka sebenarnya da akan kemana mereka pergi.”
Penulis adalah pegiat JIB, penulis buku Perjuangan yang Dilupakan