Sambungan artikel KEDUA
oleh: Muh. Nurhidayat
Ketiga, mempererat ikatan psikologis dengan komunitas pembaca/pelanggan
Wartawan senior AS, Mario Garcia mengakui, hal terpenting bagi suratkabar (media cetak) adalah meningkatkan hubungan dengan komunitas khalayaknya. Namun banyak suratkabar yang tidak memperhatikan komunitasnya. Mereka hanya menampilkan berita yang dianggap penting oleh redaksi saja. Hal-hal yang dianggap penting oleh komunitas khalayaknya, justru diremehkan redaksi (Batten, 2010)
Wartawan, menurut Garcia, cenderung membuat berita sensasional yang mengorbankan masyarakat dan institusi di sekitar tempat mereka berada. Mereka belum menjadi perpanjangan tangan khalayak—pembaca. Wartawan lebih senang melaporkan berita kritikan daripada berita solusi. (Batten, 2010)
Berdasarkan pendapat Garcia, maka ikatan psikologis dengan komunitas pembaca/pelanggan harus dibangun agar mereka merasa ikut memiliki media cetak tersebut. Jika pembaca/pelanggan sudah punya ikatan emosional/psikologis, maka mereka akan tetap loyal terhadap media yang dikonsumsinya. Loyalitas pembaca akan terlihat ketika media tersebut tengah mengalami masalah—bahkan musibah yang sulit diprediksi kapan datangnya.
AS yang dikenal sebagai negara berpenduduk orang-orang individualistis, ternyata juga menyimpan fenomena membanggakan tentang orang-orang yang peduli terhadap lingkungan dan komunitasnya. Fenomena ini ternyata dimotori sejumlah media cetak lokal yang berhasil membangun ikatan psikologis dengan pembacanya. Seperti koran lokal dari Columbus, The Ledger Enquirer. Enquirer merasakan betapa pentingnya menjalin ikatan psikologis dengan komunitas khalayaknya. Di bawah kepemimpinan Billy Watson, Enquirer sukses menjadi ‘motor’ penggerak masyarakat—pembacanya—menjadi pribadi yang mampu bermitra dengan pemkot dalam mensukseskan pembangunan di kota tersebut. (Batten, 2010)
Selain itu, di Chicago, The Gazzete juga mampu menjalin hubungan psikologis yang harmonis dengan para pembacanya, sehingga muncul komunitas yang peduli terhadap kamtibmas di kota tersebut. (Davis Merrit dalam Batten, 2010)
Reporter The Gazette, menurut Merrit, jarang berada di ruang redaksi. Mereka menggunakan ponsel untuk mengirimkan berita dan menghabiskan waktu di daerah tugas mereka, berdiskusi dengan pembaca, dan menuliskan berita. Reporter seperti ini yang oleh Mario Garcia disebut sebagai “eksekutif jurnalis”. (Batten, 2010)
Di kota Tallahassee, ketika Malcolm Johnson (mantan editor Tallahasse Democrate) menderita kanker, terdapat sedikitnya 400 orang warga yang menjenguknya secara beramai-ramai. Mereka menunjukkan rasa terima kasihnya kepada Johnson yang telah mendedikasikan dirinya untuk kota (komunitas) mereka. Johnson dikenal mampu membawa Tallahasse Democrate menjadi koran yang dekat dengan komunitas khalayaknya, bahkan mampu menjadi pelopor perlindungan alam di kota tersebut. (Batten, 2010)
Media (cetak) Islam tentu lebih mampu membangun kedekatan dengan komunitas khalayaknya daripada media massa umum. Sebab media cetak Islam umumnya dibangun dengan kesadaran sebagai media yang mampu menggerakkan umat dalam menciptakan kemashlahatan Islam.
Para pengelola media Islam (mulai dari pemimpin umum, pemimpin redaksi, redaktur, hingga reporter) harus menjadi pribadi mushlih. Saguni (2005) menyebutkan pribadi mushlih memiliki karakter: mampu membimbing masyarakat di sekitarnya kepada kebaikan, berperan aktif sebagai agen perubahan sosial di tengah komunitasnya, serta dapat memberikan solusi atas problematika yang menimpa khalayak.
Keempat, memperluas jaringan kerjasama dengan stakeholder
Pakar komunikasi Universitas Hasanuddin, Mansyur Semma (2000), memberikan nasehatnya, media massa perlu memperluas kerjasama dengan para stakeholder-nya, yang meliputi: pemilik media (owner), penanam modal (investor), pembaca (reader), pemasang iklan (advertiser), pemerintah (regulator), kelompok sosial politik (social-political group), serta kelompok penekan (pressure group).
Dari kedelapan stakeholder yang disebutkan Semma, pembaca (reader) adalah stakeholder terpenting yang harus paling diperhatikan—dan dijaga loyalitasnya—oleh media massa. Dalam kalkulasi manusia, maju-tidaknya media ditentukan oleh banyak-sedikitnya khalayak.
Majalah Suara Hidayatullah adalah contoh media cetak Islam yang mampu memperluas kerjasama dengan banyak stakeholder-nya. Meskipun dikelola oleh sebuah ormas, majalah yang terbit dari Surabaya ini telah menjadi public sphere bagi kaum muslimin lintas ormas dan parpol. Reportase dunia Islam yang diberikan Suara Hidayatullah tidak hanya seputar komunitas ormas yang didirikan KH. Abdullah Said saja, tetapi juga diwarnai oleh liputan-liputan antar lembaga Islam di Indonesia, bahkan di seluruh dunia.
Penggunaan kolom-kolom halamannya sebagai public sphere bagi para pembaca lintas organisasi dan—bahkan juga—lintas negara membuat Suara Hidayatullah boleh dinilai sebagai media cetak Islam yang paling eksis di Indonesia. Maka tidak mengherankan, jika para tokoh muslim menganggap majalah ini bukan hanya milik ormas Hidayatullah saja, tetapi harta ‘berharga’ umat Islam di negara kita yang harus dilestarikan eksistensinya.
Kelima, mempermudah pembaca untuk mengakses segala jenis media dalam satu grup/jaringan Media
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Perkembangan internet memang tidak bisa dibendung lagi. Media cetak perlu mengatasi keadaan ini dengan merangkul segala jenis media baru agar bisa tetap survive. Para pengelola media perlu memperhatikan pendapat wartawan terkenal Jerman, Wolfgang Riepl. Ketika menjadi pimred Nurenberger Zeitung pada 1913 silam, ia sudah meramalkan akan adanya media baru yang ‘lebih hebat pengaruhnya’ daripada media cetak. Namun media baru tersebut bukanlah sebagai pengganti media cetak, justru menjadi pelengkap media cetak. Ramalan ini terbukti ketika muncul radio (pada tahun 1920-an), televisi (pada 1950-an), serta internet (pada 1960-an di AS).
Di Indonesia, media cetak yang memperhatikan betul nasehat Riepl adalah Republika dan Suara Hidayatullah. Pada 1996 silam, kedua media Islam tersebut sudah ‘menerbitkan’ situs berita online (dulu khalayak menyebutnya media dotcom), ketika semua media—termasuk media umum mainstream—belum memikirkannya. Jika mau jujur, seharusnya komunitas praktisi jurnalistik Indonesia menobatkan Republika.co.id dan Hidayatullah.com sebagai pelopor situs berita di negara kita.
Dengan demikian, tekun berdoa kepada-Nya yang disertai ikhtiar sungguh-sungguh, akan menjadikan media cetak Islam bisa eksis, bahkan dapat bangkit di era konvergensi informasi sekarang ini. Para pengelola media (cetak) Islam dan kaum muslimin perlu bersinergi dalam mewujudkan media Islam—termasuk media cetaknya—sebagai saluran informasi prioritas, bukan lagi menjadi ‘corong’ berita alternatif.
Untuk itu, para pengelola media Islam dan kaum muslimin hendaknya komitmen melaksanakan perintah Allah swt., “Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu….” (QS. 9 : 105). Wallahualam.*
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Ichsan Gorontalo, mantan pengurus KAMMI Daerah Sulsel