Oleh: Kholili Hasib
KONTROVERSI spanduk ‘Tuhan Membusuk’ pada kegiatan Orientasi Cinta Akademik dan Almamater (OSCAR) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya, yang terjadi beberapa waktu lalu nampaknya masih menyisahkan banyak hal.
Sebelumnya, perang opini juga terjadi di sebuah harian di Jawa Timur. Dimana, beberapa akademisi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel seolah membela diri apa yang dilakukan para mahasiswa berkisar pada persimpangan pendapat tentang makna Tuhan dan arti “Membusuk”. Pemahaman yang benar dan tepat dalam menggunakan kata-kata akan bisa mengakhiri kontroversi tersebut.
Masduri di halaman opini koran Jawapos (5/9/2014) berpendapat bahwa tema itu maksudnya adalah kritik keberagamaan atas matinya nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan beragama umat Islam. Seperti kekerasan beragama atas nama Tuhan yang masih subur. Bagi dia, tema itu baik dan tidak berniat melecehkan Tuhan.
Pendapat tersebut dikritik oleh Anwar Djaelani, pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur di koran ini juga (10/9/2014), bahwa spanduk tersebut tetaplah berarti menghina Tuhan. Dalam tulisannya berjudul “Tuhan Membusuk Itu Sungguh Merisaukan”, Anwar berpendapat kata ‘membusuk’ tidak pantas disandingkan dengan kata ‘Tuhan’.
Sehingga, pembelaan yang dilakukan Masduri, kata Anwar, justru akan menghidupkan keresahan masyarakat Islam yang sempat meredup. Tulisan ini lalu ditanggapi oleh Akh. Muzakki, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, pada Kamis (11/9/2014) dengan judul “Membela Tuhan, Menyelamatkan Umat”.
Perbedaan persepsi dalam kasus ini tidak bisa dianggap diskursus biasa. Sebab objek yang menjadi bahan perdebatan adalah Tuhan. Ormas-ormas Islam di Jawa Timur tempo hari meributkan kasus ini karena objek yang diperbincangkan adalah Tuhan, bukan seorang bayi.
Semua kaum beragama pasti menjunjung tinggi sakralitas Tuhan. Bahkan aliran Mu’tazilah pun dalam sejarah pemikirannya kita lihat mereka sangat mensucikan Dzat Tuhan. Hanya saja, karena persepsi yang terlalu ekstrim terhadap makna suci, Mu’tazilah menafikan sifat Tuhan. Dalam logika mereka, adanya sifat berarti adanya bilangan. Padahal ke-Esa-an Tuhan itu mutlak. Tidaklah mungkin Tuhan itu berbilang.
Mu’tazilah tetap berpegang teguh dengan konsep, bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. Baik sifat Dzat (sifatu al-dzat) atau sifat perbuatan (sifatu al-af’al).
Sifat apapun, tidak boleh disandingkan kepada Tuhan. Jangankan sifat buruk, sifat baik pun tidak diakui Mu’tazilah sebagai sifat Tuhan. Dalam doktrin tauhidnya, segala sifat adalah milik makhluk bukan Tuhan. Sama sekali Mu’tazilah tidak bermaksud merendahkan Tuhan.
Dalam kerangka pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan, Mu’tazilah menolak segala pemahaman yang mengarah kepada penyerupaan makhluk (tasybih). Mereka mempercayai bahwa sifat dan Dzat Tuhan adalah satu (al-sifat ‘ainu al-dzat). Mu’tazilah adalah kaum bertauhid. Namun Tauhid Mu’tazilah sangatlah ekstrim. Di sini letak kekeliruannya.
Bagi Ahlussunnah wal Jama’ah, pemikiran Mu’tazilah tersebut dimasukkan dalam aliran kalam yang sesat. Meskipun mereka berniat mensucikan Tuhan, dengan sesuci-sucinya. Namun cara dan implikasinya salah. Karena, tidak mempercayai sifat Allah Swt bertentangan dengan Al-Qur’an. Diskusinya masuk kepada ranah akidah. Apapun argumentasi akli kaum Mu’tazilah tetap sesat bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam.
Niat jahat diungkapkan dengan kata-kata manis tetap jadi buruk
Jika spanduk mahasiswa UIN Surabaya tersebut ditimbang dalam konteks pemikiran Mu’tazilah pun, tetap keliru besar.
Mu’tazilah sangat tidak mungkin menyandingkan kata ‘membusuk’ dengan kata ‘Tuhan’. Sebab mereka sangat mensucikan Tuhan dengan akal mereka yang sangat ekstrim. Tanpa mendahulukan dalil al-Qur’an dan hadis.
Ini berarti, kadar kekeliruannya lebih sesat daripada Mu’tazilah. Mungkin saja, andaikan kejadian spanduk UIN Surabaya itu terjadi pada zaman Khalifah al-Ma’mun yang beraliran Mu’tazilah, para mahasiswa itu akan dihukum mati oleh hakim Mu’tazilah, tanpa memberi kesempatan para pelakunya untuk ‘membual’. Mereka masih beruntung di sini, baru mendapatkan kecaman.
Wacana ke-Tuhan-an bukan diskursus yang biasa. Apalagi menyangkut kepercayaan kaum Muslimin. Membincangkan tentang konsep Tuhan harus sangat hati-hati. Niat baik yang tidak disertai dengan ungkapan yang baik menjadi buruk. Begitu juga sebaliknya, niat jahat yang diungkapkan dengan kata-kata manis juga buruk. Sebaiknya, niat dan artikulasinya haruslah sesuai dan seirama.
Seorang akademisi mestinya mampu menempatkan posisi pemikirannya. Jika hendak mensifati ‘sesuatu’, maka ia mesti faham konsep ‘sesuatu’ itu. Tidak kenal pada ‘sesuatu’ akan melahirkan sikap yang keliru tentang ‘sesuatu’ itu. Para mahasiswa filsafat, seharusnya telah dilatih berpikir sehat dan etis. Tujuan belajar filsafat adalah bukan untuk ‘gaya-gaya-an’ pamer wacana aneh. Mahasiswa belajar filsafat agar mampu berpikir mendalam, rasional, sehat dan sistematis.
Menulis spanduk ‘Tuhan Membusuk’ jelas sekali tidak etis dan tidak sehat. Spanduk itu ternampak hanya untuk ‘gaya-gaya-an’. (kemenyek, Jawa). Padahal tidak sehat dan juatru menunjukkan kedangkalan rasionalitas.
Seorang pembelajar filsafat mampu menempatkan diri. Mungkin para mahasiwa tersebut masih belum dilatih berperilaku bijak. Maka akhirnya mereka mirip anekdot ; seorang santri bersarung memakai topi koboi, tak mampu naik kuda. Inginya menjadi koboi yang hebat menunggang kuda, tapi masih pakai sarung kedodoran. Niatnya seperti orang Barat, tapi kecerdasan tidak memadai.
Berpikir bijak contohnya mudah. Misalnya, sebagai warga negara Indonesia, kita menghormati Susilo Bamang Yudhoyono (SBY), karena kita mengenal beliau adalah seorang Presiden RI, bukan seorang kuli bangunan. Andaikan seseorang bernama Susilo Bambang Yudhoyono itu adalah kuli bangunan, kita mungkin tidak akan menghormat jika bertemu. Kita menghormatinya sesuai kapasitas dan kedudukannya di masyarakat.
Kita pun tidak berani memasang spandung “SBY Membusuk”. Dengan niat dan alasan apapun. Jika misalnya kita berargumentasi bahwa maksudnya adalah kritik terhadap para pendukung SBY yang membabi-buta dan matinya nalar para pecinta beliau, kita tetap akan diprotes dan dipidana.
Ketika akan mengkritik para pendukung SBY, kita harus kenal dulu siapa SBY itu. Jangan disamakan SBY dengan tukang parkir.
Membela SBY haruslah wajar dan mengkritiknya pun selayaknya juga dengan cara yang sehat juga. Inilah yang disebut adab. Menempatkan sesuatu pada tempatnya dan posisi yang sewajarnya. Al-Attas (2003:137) mengungkapkan orang yang beradab adalah orang yang dapat memahami dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Allah Subhanahu Wata’ala.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Begitu pula ketika kita akan mengkritik nilai-nilai ketuhanan dalam pikiran kaum Muslimin. Kita harus mengenal konsep ketuhanan (ma’rifatullah). Siapa Tuhan itu, apa yang pantas kita katakana untuk Tuhan, bagaimana berinteraksi dengan Tuhan dan lain sebagainya.
Jangankan menyematkan sifat ‘membusuk’ kepada Tuhan, mengatakan ‘Tuhan dimana-mana’ adalah dilarang. Sebabnya, kata ‘dimana-mana’ menunjukkan Tuhan bertempat. Padahal, dalam akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, Tuhan itu tidak bertempat. Kita mengenal Tuhan melalui al-Qur’an dan Hadis. Dari sumber utama ini kita mengetahui sifat-sifat Tuhan.
Ketidakmampuan memilih kata-kata yang tepat menunjukkan hilangnya adab dan tidak mengenal objek, yang ditandai munculnya kata-kata yang sarkasme itu. Kasus seperti ini juga menggambarkan rusaknya ilmu (corruption of knowledge) dan hilangnya adab (lost of adab). Ilmu yang semestinya memberikan penjelasan atas kebenaran (tabyin) malah menjadikannya kabur (talbis). Kata Tuhan menjadi kabur maknanya, tidak jelas referensinya. Kata ‘membusuk’ pun dipersepsi dengan makna yang kabur.
Karena itu, membela ‘Tuhan Membusuk’ seperti yang dilakukan Masduri kemudian didukung oleh Akh. Muzakki tidaklah tepat.
Membela harus dengan adab dan ilmu. Jika kita sudah mengenal Tuhan, maka pasti kita tidak akan menyandingkan kata ‘membusuk’ dengan kata ‘Tuhan’. Sebab, konsekuensinya sungguh berat. Kata ‘membusuk’ adalah kata-kata kasar yang tidak sopan. Apapun alasan menggunakannya kita tetap salah. Maka, polemik ini harus diakhiri dengan sama-sama mengenal makna Tuhan dengan mengedepankan nilai-nilai akhlak. Tak kenal maka tak beradab.*
Peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya