Alhasil, Indonesia pun terus menerus menjadi “sapi perah” yang hasil alamnya terus dikuras oleh kekuatan asing kapitalisme.
Kelemahan Metodologi Barat
Hamid Fahmi Zarkasyi dalam “Misykat” mengutip seorang yang pernah belajar pada orientalis mengatakan, ”Kelemahan dari belajar Islam di Barat ada pada framework (manhaj) berfikir mereka dalam mengkaji Islam. Dari prinsip obyektifitas, Islam dikaji bukan untuk ibadah atau untuk menambah keimanan pengkajinya. Islam dikaji sebatas ilmu, dan ilmu dalam kacamata Barat harus berdasarkan fakta obyektif dan empiris”.
Efeknya, dalam studi hadits dan Al-Quran misalnya, fakta-fakta yang tidak berbentuk empiris (nyata) tidak mampu mereka jadikan variabel dalam studi Ulumul Hadits dan Al-Quran.
Contoh lain, dengan filsafat hermeneutika (metode yang pada awalnya digunakan untuk penafsiran Bibel), Al-Quran juga menjadi produk budaya, bukan wahyu dari Tuhan yang pada ujung-ujungnya adalah untuk desakralisasikan Al-Quran. Alhasil, tidaklah mengherankan jika keraguan terhadap kebenaran Al-Quran dan hadits semakin sering terlihat dari para alumnus Islamic Studies dari Barat atau dari orang-orang yang berhasil mereka didik.
Kasus seorang guru besar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Alauddin Makassar, Qasim Mathar, sebagaimana diberitakan oleh berbagai media online, tahun lalu menyebut bahwa Al-Quran perlu direvisi karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam telah meninggal dunia sehingga tak cocok lagi.
Sampai di sini, kita bisa memahami bahwa mereka yang belajar Islam di Barat dengan kesalahan pandang yang fundamental ini pada akhirnya justru tidak menawarkan solusi yang bermanfaat ketika pulang ke negerinya, tapi justru membawa permasalahan baru yang merusak kenyaman hidup umat Islam di negeri ini.
Adalah Dr Syamsuddin Arif yang juga pernah belajar di Jerman, tepatnya ia mengambil doktor keduanya di Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, sarangnya para orientalis.
Ia melakukan kritik terhadap metodologi Barat (2008) yang merasakan adanya motif ekonomi, politik dan agama kajian Islam di Barat.
Meski belajar langsung di lembaga orientalis ia tidak terpengaruh pemikiran mereka. Sebaliknya, ia malah bersikap sangat kritis dan mampu menunjukkan kelemahan metodologi yang dipakai oleh orientalis.
Dalam sebuah wawancara dengan Majalah Suara Hidayatullah, Syamsuddin mengatakan, bahwa kajian Islam di Barat hanya unggul dalam methodologi. Hanya saja, seringkali umat Islam merasa silau dengan orientalis.
“Dari kompetensi, ulama-ulama Universitas al-Azhar (Kairo) jauh lebih unggul. Sementara mereka (orentalis) masih meraba-raba. Jadi, sebenarnya mereka tidak punya otoritas. Mestinya kita memandang orientalis dengan sebelah mata. Sayangnya umat Islam kelihatannya sedang kehilangan izzah,” [Dr Syamsuddin Arif: Menyerang Orientalis di Sarangnya, Majalah Hidayatullah, bulan Juli 2008].
Mengkaji Ulang
Nampaknya ini sangat beralasan apabila kita mau sedikit saja belajar pada sejarah Aceh, misalnya bagaimana peran orientalis Barat seperti Snouck Hugronje dalam membantu Belanda menjajah kerajaan Aceh dulu sebagai bukti ada misi ekonomi, politik dan agama dalam kerja-kerja orientalis.
Belum lagi kita berbicara tentang fakta-fakta terbaru tentang penelitian-penelitian pesanan dari Barat (via sponsor) untuk mengatahui setiap inci kelemahan umat Islam.
Atas realitas ini, nampaknya pemerintah Aceh sudah seharusnya berfikir untuk menghentikan program beasiswa kajian Islam ke Barat serta menyadarkan pemuda dan akademisi Aceh tentang tidak pentingnya mereka belajar Islam ke Barat.
Mengutip SyamsuddinArief, jika yang dimaksud mempelajari seluk-beluk ajaran Islam secara serius lagi mendalam, dengan tujuan menjadi ulama pewaris Nabi dalam arti yang sesungguhnya, maka universitas- universitas di Barat bukanlah tempatnya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Menurutnya, tidak mungkin seorang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, orang yang tidak pernah bersuci, tidak pernah shalat, disebut ahli hadits, bahkan orang yang seumur hidupnya dalam keadaan junub disejajarkan dengan Imam as-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam al-Ghazali.
Namun jika tujuannya mempelajari cara sarjana Barat mengkaji Islam, maka saya kira bukan masalah. Adapun soal asiknya belajar di Barat itu memang betul. Tapi, tentu bukan hanya di Barat. Lebih tepatnya di negeri orang. [“Tak Mungkin Belajar Islam pada Orang Junub”, wawancara Dr Syamsuddin Arief dengan hidayatullah.com, Rabu, 12 Maret 2008]
Seharusnya jika ke pilihannya ke Barat, lebih baik belajar disiplin keilmuan yang lain saja yang memang hari ini masih menjadi kekurangan Aceh. Misalnya sains dan teknologi. Banyak universitas-universitas di negeri-negeri Muslim, selain di Barat yang bisa menjadi alternatif sebagai tujuan studi Islam. Wallahu a’lam.*
Penulis adalah alumnus Pascasarjana IAIN Ar-Raniry