Sambungan artikel PERTAMA
Zettler juga memberikan penjelasan aksi kejam mengenai pembakaran jasad dari mereka yang terbunuh, setelah desa itu diduduki. “Orang-orang kami membuat sejumlah kesalahan yang membuatku marah. Mengapa mereka melakukan itu?” katanya. Mereka mengambil tubuh orang-orang, menumpuk dan membakar mereka. Kemudian mulai menimbulkan bau. Ini tidak sesederhana itu.
Kesaksian aksi kekejaman lain diberikan oleh Prof. Mordechai Gichon, seorang letnan kolonel di pasukan cadangan Pasukan Pertahanan Israel (IDF), yang dulunya merupakan seorang petugas intelijen Haganah yang dikirim ke Deir Yassin ketika pertempuran berakhir.
“Bagiku itu terlihat tampak sedikit seperti pogrom (pembantaian terorganisir suatu etnis dan agama tertentu),” kata Gichon, yang meninggal sekitar setahun lalu. “Jika kami menduduki sebuah posisi tentara – ini bukanlah pogrom, bahkan jika seratus orang terbunuh. Namun jika kamu mendatangi suatu lokasi sipil dan orang-orang mati bergelimpangan di mana-mana – maka itu tampak seperti pogrom. Ketika pasukan Cossack menerobos ke pemukiman Yahudi, maka itu seharusnya terlihat seperti ini.
Menurut Gichon, ada perasaan pembantaian dan sulit bagi saya untuk menjelaskannya pada diri sendiri karena dilakukan untuk membela diri. Kesan saya lebih kepada pembunuhan massal dari pada yang lain. Jika ini adalah masalah membunuh penduduk sipil, maka ini dapat disebut pembunuhan massal.
Yair Tsaban, seorang mantan anggota Parlemen Meretz, terkait wawancaranya dengan Shoshani bahwa setelah pembantaian, yang dia tidak ikut serta, dia dikirim beserta rekan anggotanya dari Youth Brigades untuk menguburkan jasad-jasad orang yang terbunuh.
“Alasannya ialah Palang Merah dapat muncul kapan saja dan hal itu (mengubur jasad) dibutuhkan mengaburkan jejak (pembunuhan) karena foto-foto publikasi dan kesaksian mengenai apa yang telah terjadi di desa itu akan dapat sangat merusak citra Perang Kemerdekaan kita,” katanya.
Baca: Terjajah, Warga Palestina Masih Memikirkan Etnis Rohingya
“Saya menyaksikan banyak mayat,” tambahnya. “Saya tidak ingat menemukan mayar pria petempur. Sama sekali tidak. Saya ingat hampir semuanya wanita dan laki-laki tua”. Tsaban bersaksi bahwa dia melihat para penduduk ditembak di punggung dan menepis klaim dari beberapa partisipan dalam insiden itu bahwa terjadi baku tembak.
“Seorang pria tua dan seorang wanita, duduk di pojok sebuah ruangan dengan wajah mereka menghadap tembok, dan mereka ditembak dari belakang,” kenangnya. “Hal itu tidak mungkin terjadi dalam pertempuran sengit. Tidak mungkin.”
Pembantaian di Deir Yassin memiliki banyak dampak. Institusi Yahudi, kepala-kepala rabbi dan kepala Haganah mengecamnya.
Di luar negeri, pembantaian itu dibandingkan dengan kejahatan terhadap Nazi. Selain itu, seperti yang dicatat sejarawan Benny Morris di bukunya Righteous Victims, Deir Yassin memiliki efek demografis dan efek politik yang mendalam: Pembantaian itu menyebabkan pengungsian massal orang Arab dari tempat mereka.
Shoshani pertama kali tertarik dengan kisah Deir Yassin sekitar satu dekade lalu, ketika sedang mengerjakan tugas akhirnya di Akademi Bezalel Senin dan Desain di Jerusalem, yang berfokus pada dokumentasi visual rumah sakit jiwa Kfar Shaul, yang ternyata dibangun di tanah Deir Yassin setelah perang.
Hal itu membuat dia ingin mencari foto-foto bersejarah tentang pembantaian yang terjadi 70 tahun lalu.
Yang mengejutkan, ternyata tugas itu tidaklah mudah. Di internet foto mayat-mayat dengan caption telah diambil di Deir Yassin, namun foto itu ternyata diambil dari Sabra dan Shatila, katanya –merujuk pada pembantaian 1982—aksi pembantaian yang dilakukan milisi Kristen Maronit Lebanon atas para pengungsi Palestina di kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila. Di arsip IDF yang mereka berikan pada saya untuk foto publikasi petempur dari Deir Yassin, dia terus mencari dan hanya menemukan serangakaian foto anggota Irgun dan Lehi, namun tidak ada jejak foto pembantaian Arab. Sejarah yang ternyata benar-benar berhasil ditutupi oleh Zionis.
Di arsip Haganah, di mana Shoshani melanjutkan pencariannya – seperti seorang anak yang naif, katanya – kejutan lain telah menunggunya. Seorang pria tua mendatanginya, sangat pendiam, membawa saya ke ruangan sebelah dan mengatakan kalau dia telah mengambil foto tidak lama setelah pembantaian, katnaya.
Pria tua itu ialah Shraga Peled (91), yang saat pembantaian merupakan petugas Pelayanan Informasi Haganah. Dia mengatakan pada Shoshani bahwa setelah pertempuran dia dikirim ke desa itu dengan kamera di tangannya untuk mendokumentasikan apa yang dia lihat di sana.
“Ketika saya tiba di Deir Yassin, hal pertama yang saya lihat ialah sebuah pohon besar di mana seorang pemuda Arab diikat. Dan pohon itu terbakar nyala api. Mereka telah mengikatnya di pohon dan membakarnya. Saya memotretnya,” kenangnya.
Dia juga mengklaim telah memotret dari jauh sesuatu yang terlihat seperti puluhan mayat lain yang dikumpulkan di tambang dekat desa. Dia menyerahkan film kameranya pada atasannya dan sejak itu dia tidak melihat foto-foto itu.
Kemungkinan ini karena foto-foto itu merupakan bagian dari materi visual yang disembunyikan hingga hari ini di arsip IDF dan Kementrian Pertahanan, dimana negara melarang publikasinya bahkan 70 tahun setelah adanya fakta.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Shoshani mengajukan petisi ke Pengadilan Tinggi mengenai hal ini sedekade yang lalu sebagai bagian dari tugas akhirnya di Bezalel. Haaretz bergabung dengannya dalam petisi.
Pemerintah Israel menjelaskan bahwa publikasi foto-foto itu dapat merusak hubungan luar negaridan untuk menghormati orang yang terbunuh.
Pada 2010, setelah menyaksikan foto-foto itu, Pengadilan Tinggi menolak petisi, menjauhkan materi itu dari mata publik. Sementara itu Shoshani berhasil mendapatkan beberapa foto lain yang berhubungan dengan pembantaian, diantaranya serangkaian foto yang mendokumentasikan anak yatim piatu yang orang tuanya terbunuh di Deir Yassin.
Pembantaian Deir Yassin terus membuat marah semua orang yang menanganinya, bahkan pada jarak 70 tahun. Shoshani mengatakan, “Ini bukanlah petempuran melawan orang bersenjata namun lebih kepada pendudukan desa, konfrontasi dengan para penduduk yang mempertahankan rumah mereka. Terdapat juga kasus-kasus, yang nampaknya ditutup-tutupi, menyapu habis penduduk, eksekusi, setelah pertempuran berakhir, dengan tujuan untuk menyebarkan rasa takut pada penduduk Arab Palestina lain.
Pembantaian Deir Yassin merupakan yang pertama diantara sejumlah pembantaian yang milisi Zionis Yahudi terlibat dalam pembunuhan penduduk sipil dalam Perang Arab-Israel 1948.
Pembantaian terkenal lainnya salah satunya terjadi di Kafr Qasem pada 1956, hari petempuran di Sinai bermula. Empat puluh delapan penduduk sipil Arab Palestina dibantai polisi Zionis. Seperti yang terjadi dalam kasus Deir Yassin, penjajah masih menutup arsip materi dari Kafr Qasem.*/Nashirul Haq AR, dari berbagai sumber