RAMADHAN ini adalah tahun ke lima bagi Elan Sudjanamihardja bisa berpuasa di Belgia. Ia pergi jauh merantau ke negara di Barat Eropa itu demi menemani istri tercinta, Nurlinawati Yunus, mahasiswa program Doktor Mikrobiologi di University of Leuven.
Menjalankan ibadah puasa di Belgia ternyata tidaklah mudah. Delapan belas jam adalah angka yang harus mereka tempuh sebelum merasakan manisnya berbuka. “Shaum di musim panas ini sangat panjang sekali, Fajar jam 03:43 dan Maghrib: 21:48,” ujarnya kepada hidayatullah.com dari Belgia, Rabu (01/08/2012).
Suatu ketika, Mang Elan, sapaan akrabnya, pernah menjalani puasa panjang itu tanpa sahur. Kisahnya terjadi ketika mereka bersama-sama tebangun pas waktu shubuh, termasuk kedua buah hati, Fatimah (12 tahun) dan Sarah (10 tahun). Jadilah si kecil ditantang untuk menjalankan puasa selama itu tanpa sempat menyantap sedikit makanan sekalipun.
“Saya tawarkan mereka untuk berbuka, tapi mereka menolak. Alhamdulillah, mereka kuat sampai waktu Maghrib berbuka,” tandas Mang Elan menceritakan kedua putrinya.
Setelah kejadian itu, pria asal Cianjur ini mengaku tidak pernah tidur setelah shalat Isya dan Qiyamul Lail hingga datang waktu sahur. Mereka baru ‘berani’ tidur seusai mengerjakan shalat subuh. Maklum, jarak isya dan shubuh di Belgia cukup berdekatan. “Anak-anak biasa setelah selesai shalat Fajar tidur kembali, bangun-bangun sekitar jam 8 atau 9,” ceritanya.
Fatimah dan Sarah sendiri kini banyak menghabiskan waktu Ramadhan di rumah. Mang Elan merasa bersyukur karena Ramadhan kali ini bertepatan dengan libur sekolah di Belgia. Jadilah suasana rumah menjadi kian ceria karena waktu berkumpul banyak diisi dengan kegiatan membaca ayat-ayat Al Qur’an. Mereka merasakan kenikmatan dengan menjalankan ibadah puasa dengan Qur’an. ”Dengan waktu libur ini, kedekatan dengan Al-Qur’an jadi lebih intensif,” imbuhnya yang sempat menjadi guru bahasa Inggris di Kuwait tahun 1975.
Bahkan Mang Elan juga berpesan kepada warga Muslim di Indonesia untuk terus mempelajari Al Qur’an. “Baca dan tadaburi Al Quran, walaupun hanya satu dua ayat tapi setiap hari. Hanya dua ini yang bisa memperkuat kita,” imbuhnya.
Kisah Warga Jerman Memeluk Islam Ada sebuah kisah unik dari Mang Elan ketika menjalani puasa Ramadhan di Eropa. Kisah ini datang dari seorang temannya, warga Jerman bernama Salman Reuter yang masuk Islam setelah melihat orang-orang Muslim berpuasa. Cerita penuh hikmah itu bermula ketika Salman menjadi pengawas pembuatan bangunan di Libya. Ia mengaku takjub dan terheran-heran melihat pekerja bangunan bekerja dengan beratnya meski tidak makan dan tidak minum.
Padahal Salman sendiri harus menghabiskan minuman 15-20 liter air. “Setelah bertanya, mereka Muslim dan harus shaum, akhirnya dia bertekad menjadi Muslim agar ‘sakti’ seperti pekerja bawahannya yang bekerja dan shaum di musim panas,” kenang pria yang memelihara sunah berjenggot ini.
Selama menjalankan Ramadhan di Belgia, Mang Elan mengaku mendapatkan siraman rohani di KBRI yang terletak di Ibu Kota Brussel. Sabtu adalah hari di mana KBRI mengadakan buka bersama. Hanya saja ada nuansa spesial pada tahun ini.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Muslim Indonesia kedatangan salah seorang ustadz dari Indonesia guna memberikan nasehat dan tausiah. “Acara biasa dimulai sekitar jam 19:00 di isi dengan ceramah dan diskusi atau tanya jawab dengan penceramah sampai adzan Maghrib. Adapun acara secara keseluruhan selesai sekitar jam 24,” jelasnya.
Belgia Butuh Dakwah Kondisi Muslim di Belgia sendiri masih sepi akan geliat dakwah. Ayah berumur 63 tahun ini mengaku belum menemukan adanya pengajian khusus orang-orang Belgia. Menurutnya kondisi ini berbeda dengan nuansa keIslaman di Jerman. Sebab di Jerman masyarakat telah memiliki tempat pengajian yang secara intens mengkaji Islam. “Kalau di Aachen ada pengajian khusus orang-orang Jerman. Biasanya diadakan di mesjid bilal. Karena mereka sudah agak lumayan banyaknya. di Tübingan Selatan, Stuttgart saya juga pernah menemukan pengajian khusus bagi penduduk asli,” jelas Mang Elan yang meninggalkan Jerman tahun 2007.*