KATA akal sering kita dengar bersama dan menjadi bagian kata yang kita ucapkan sehari-hari. Tahukah Anda? kata akal berasal dalam bahasa Arab, al-‘aql. Kata al-‘aql merupakan mashdar kata ‘aqola – ya’qilu – ‘aqlan artinya “paham (tahu/mengerti) dan memikirkan (menimbang)“.
Dalam al-Mu’jam al-Wasith (p. 616-617), kata akal disebutkan dengan istilah al-‘Aql. Kata tersebut merupakan salah satu bentuk derivasi dari akar kata “aqala’ yang berarti “memikirkan hakekat di balik suatu kejadian” atau rabatha (mengikat).
Dalam tradisi Arab Jahiliyyah, kata ‘aqala seringkali digunakan untuk menunjuk suatu “pengikat unta” (‘aql al-ibil). Selain itu, kata ‘aql juga memiliki makna al-karam (kemuliaan), maksudnya adalah orang yang menggunakan akalnya sesuai petunjuk Allah Subhanahu Wata’ala sebagai orang yang berakal (‘aqil).
Kata ’aql disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 49 kali. Kata kerja ta’qilun diulang sebanyak 24 kali dan kata kerja ya’qilun sebanyak 22 kali. Sedangkan, kata kerja ’aqala, na’qilu, dan ya’qilu masing-masing terdapat satu kali.
Yang menarik, peng-gunaan bentuk pertanyan negatif (istifham inkari’) yang bertujuan memberikan dorongan dan membangkitkan semangat seperti kata “afala ta’qilun” diulang sebanyak 13 kali dalam Al-Qur’an. Diantaranya adalah firman Allah kepada Bani Israel sekaligus kecaman dalam QS. 2: 44;
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?
Ar-Raghib Al-Ashfahany dalam Al-Mufradat fii Gharib al-Qur’an (p. 346) mengungkapkan bahwa akal merupakan daya atau kekuatan yang berfungsi untuk menerima dan mengikat ilmu.Atas dasar itulah orang yang mampu menggunakan fungsi akalnya dengan benar disebut juga dengan alim (al-‘alim). Sebagaimana digambarkan dalam surat al-Ankabut : 43 bahwa orang yang alim ialah manusia yang mampu mengambil hakekat atau manfaat dari perumpamaan yang telah disampaikan Allah Subhanahu Wata’ala.
Abd Ar-Rahman Hasan dalam karyanya Al-Akhlak Al-Islamiyyah wa Asasuha (p. 317) menjabarkan proses berpikir manusia. Menurutnya, berpikir berawal dari proses mengikat makna suatu pengetahuan, proses ini terdapat dalam konsep akal atau disebut juga dengan ta’aqqul yaitu proses mengikat makna suatu pengetahuan. Setelah seseorang mengikat pengetahuan maka ia dapat dikatakan sebagai orang yang mengetahui (al-‘alim) suatu objek atau tanda-tanda (ayat), esensi ini terkandung dalam konsep ilmu (al’-ilm).
Dalam Kitab Al-Furuq Al-Lughawiyyah Baina Alfadz Al-‘Ilm Fi Al-Qur’an ditegaskan bahwa akal adalah daya atau kekuatan untuk menerima ilmu. Maksudnya, ilmu merupakan buah dari berpikir dengan hati. Adapun orang yang berpikir atau manusia yang telah menggunakan akalnya secara benar bisa dikatakan sebagai orang yang alim. Sebab dengan proses berpikir yang benar itulah ia akan sampai pada derajat orang yang tahu (alim). Maka, bisa dikatakan bahwa orang yang berpikir dengan benar ialah orang yang ‘alim. (Lihat: Q.S. Al-Ankabut : 43).
Dengan demikian,aktifitas berpikir manusia harus bersifat terus-menerus. Dan setelah seseorang mengetahui suatu tanda (ayat) maka ia selanjutnya harus memikirkan hakekat yang terkandung di balik tanda tersebut, proses ini disebut dengan tafakkur. Dan ketika seseorang telah mendapatkan pelajaran dari aktifitas berpikir tersebut maka yang harus dilakukan ialah memahaminya secara benar dan mendalam, proses memahami hasil (natijah) proses berpikir itu disebut dengan tafaqquh. Setelah seseorang memahami suatu ilmu maka yang harus dilakukan selanjutnya ialah mengingat apa yang telah ia pahami dari hakekat tersebut. Proses seperti ini disebut dengan tadzakkur. Dan ketika manusia selalu mengingat ilmu yang telah ia pahami maka upaya terakhir yang seharusnya dilakukan oleh orang yang berpikir ialah tadabbur atau melihat kembali hakekat dari suatu peristiwa atau ilmu yang telah dipelajari sebelumnya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Jadi, konsep akal sangat sarat akan nilai-nilai ilmu pengetahuan. Dengan akal, manusia diarahkan untuk memikirkan hal-hal yang bisa dijangkau untuk menangkap esensi di balik suatu tanda. Sehingga, ketika manusia mampu memahami hakekat suatu ilmu maka akan bertambah pula keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Hal inilah yang membedakan cara pandang Islam terhadap cara pandang Barat yang lebih menitikberatkan akal pada aspek rasional semata.
Dalam Oxford, Advanced Learner’s Dictionary (1995, p. 970), akal (reason) seringkali diartikan dengan “the power of the mind to think, understand” (kemampuan otak untuk berpikir).
Dalam perspektif ini terlihat ada perbedaan secara konseptual antara pengertian umum (Barat) dan pengertian al-Qur’an yang mendefiniskan akal sebagai kemampuan hati untuk berpikir.
Pemahaman seperti inilah yang tersebar saat ini sehingga muncullah berbagai paham Barat seperti sekularisme, dualisme, humanisme, dan rasionalisme. Semua bermuara pada pemahaman terhadap pikiran yang khas cara pandang Barat yang mengabaikan kehadiran wahyu sedang Islam tidak.
Akal dalam Islam mencakup dimensi intelektual, emosional, dan spiritual yang sesuai fitrah manusia dengan tanpa meninggalkan bantuan wahyu. Pemahaman di atas berimplikasi pada perkembangan ilmu, iman dan amal seseorang serta mampu menjadikannya pribadi yang beradab.*/Mohammad Ismail