Oleh: Amira Abo el-Fetouh
PEMILIHAN presiden dan parlemen (Pemilu) Turki hanya tinggal menunggu hari. Dijadwalkan pada 24 Juni 2018, Pemilu tersebut diselenggarakan lebih cepat 16 bulan dari rencana sebelumnya.
Presiden Recep Tayyip Erdogan mengejutkan semua orang dengan menyetujui permintaan pemimpin Partai Gerakan Nasionalis Devlet Bacheli menggelar pemilihan lebih awal. Mungkin saja kedua orang itu menyepakati masalah ini berdasarkan patriotisme mereka dan mengerti ancaman besar yang sedang dihadapi Turki dan persekongkolan terhadap negara itu oleh negara adidaya dunia, khususnya AS. Erdogan secara khusus muncul sebagai target.
Agar kita memahami mengapa konspirasi sedang dilancarkan terhadap Turki – yang merupakan anggota NATO dan seharusnya menjadi sekutu Barat – kita harus kembali ke masa runtuhnya Kekhalifahan Ottoman pada 1924. Saat itulah para pemenang Perang Dunia Pertama melucuti identitas Islam dari Turki dan memaksakannya sebuah peran terbatas yang tidak bisa dilakukannya.
Barat ingin bekas pusat Kekhalifanan itu menjadi contoh bagi negara-negara sekuler di wilayah itu dengan menghapus jejak atau bukti Islam di ruang publik, meskipun populasi Turki saat itu 95 persen Muslim Sunni. Kemal Ataturk membantu Barat dalam melaksakan ini hingga kematiannya pada 1938, dan semua presiden yang menggantikannya berasal dari militer dan mengikuti jalan yang sama; tak seorangpun dengan visi Islam diizinkan melayani sebagai presiden republik itu.
Jadi, ketika Necmettin Erbakan, pemimpin Partai Kesejahteraan, menjadi perdana menteri dan membawa ide besar kemajuan ekonomi regional sebagai sebuah alternatif dari tatanan dunia – dan mendeklarasikan pembentukan tujuh negara Islam sebagai kutub ketiga dunia, seperti Konferensi Bandung – militer melancarkan kudeta halus terhadapnya, membubarkan partainya dan mengadilinya.
Barat memberlakukan pengepungan di sekitar Turki untuk menjauhkannya dari lingkungan Muslimnya agar tidak kembali ke akar Islamnya. Tentara Turki yang pro-Barat kemudian melanjutkan tugas ini dengan melancarkan kudeta terhadap pemerintah-pemerintah yang mengabaikan ajaran sekuler Ataturk atau yang menampilkan wajah Islam.
Hal ini terus terjadi sampai Partai Keadilan dan Pembangunan (AK Party) didirikan pada 2002, dari abu Partai Kesejahteraan dan dipimpin oleh Erdogan dengan visi Islam. Beberapa murid Erbakan menjabat di pemerintahan setelah kemenangan pemilu. Mereka menemukan diri mereka memimpin di salah satu periode terburuk dalam sejarah modern Turki, dengan korupsi mempengaruhi semua aspek kehidupan. Secara ekonomi, Turki menduduki peringat 111 di dunia.
Meskipun begitu, AK Party berhasil membawa negara itu ke tingkat yang berbeda berkat serangkaian pencapaian besar, tak terduga oleh para analis; tiba-tiba Turki berada di peringkat 16 di dunia secara ekonomi, dan peringkat 6 di Eropa. Ekonominya merupakan yang terbesar diantara negara Muslim, dan setelah pernah berhutang ke Bank Dunia, yang terakhir akhirnya malah berhutang pada Ankara. Yang terpenting dari itu semua ialah posisi politik independen Turki, karena Turki berhasil melepaskan diri dari ketergantungannya pada Barat. Independensi seperti ini jelas terlihat dalam posisi terhormatnya terkait invasi AS atas Iraq dan penolakannya untuk mengizinkan wilayah udaranya digunakan oleh Amerika, sementara negara-negara Teluk membuka tanah dan langit mereka untuk tentara invasi AS.
Turki menjadi model Islam inspirasional bagi pemuda di dunia Arab yang menyaksikan revolusi Arab Spring. Erdogan yang kharismatik menjadi role model pemimpin yang orang Arab inginkan di negara mereka.
Disinilah letak bahaya Erdogan terhadap Barat dan pengaruhnya pada lingkungan Islam. Pemerintah Turki menjadi alternatif sipil bagi tirani-militer penindas di dunia Arab. Ini telah membuat takut para politisi di Barat, yang takut kalau pemerintah-pemerintah Arab yang bekerja dan bergabung dengan mereka dalam mengeksploitasi wilayah Timteng berada di ambang kehancuran, yang akan mengarah pada runtuhnya hegemoni regional yang telah ada selama hampir satu abad. Tentu saja, Barat tidak akan membiarkan ini terjadi.
Selain itu, para pemimpin Arab sendiri takut mereka akan kehilangan tahta mereka, terutama di Teluk. Oleh karena itu, mereka merasa perlu untuk melawan Erdogan dan menekan revolusi Arab Spring. Uni Emirat Arab (UAE) menjadi markas kontra-revolusi setelah menerima persetujuan dan restu Israel dan Amerika. Inilah di mana upaya kudeta gagal terhadap Erdogan pada Juli 2016 direncanakan, disponsori oleh AS, yang mendukung negara paralel yang dijalankan oleh Fethullah Gülen sementara mengasingkan diri di Amerika.
Sejak kudeta gagal, Barat telah mencoba melemahkan Erdogan dan mengepung Turki dari dalam Suriah dengan membentuk Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG), dipersenjatai oleh AS – yang juga memberikan YPG bantuan politik dan logistik – selain dukungan finansial yang diberikan, tentu saja, oleh UAE.
Tujuan YPG ialah untuk melemahkan Turki dan mengancam keamanan nasionalnya dengan menciptakan kantong separatis i Turki selatan dan berupaya mendirikan sebuah negara Kurdi berdasarkan visi teroris Partai Pekerja Kurdistan (PKK). Namun, Erdogan mengejutkan semua orang dengan Operasi Olive Branch di Afrin, dan terlepas dari semua prediksi bahwa itu adalah perangkap yang dipasang oleh AS, Presiden Turki itu tampil pemenang.
Dia bahkan mengancam akan melancarkan lebih banyak operasi militer di sekitar Suriah, di tempat-tempat seperti Manbij, Ayn Al-Arab, Tell Abyad dan Qashmali, untuk menyingkirkan semua elemen teroris yang ditanam untuk bertindak sebagai ancaman tetap dan berkelanjutan terhadap negaranya. Ini mengintimidasi AS dan sekutunya yang anti-Erdogan.
Setelah revolusi Suriah dan pelucutan rudal Patriot NATO dari Turki, Erdogan mengambil langkah berani. Hasilnya ialah saat ini Turki menghasilkan sekitar 65 persen dari senjata dan peralatan militernya yang kemampuannya sebanding dengan milik Barat. Ini merupakan sebuah garis merah karena telah melanggar hampir-monopoli perdagangan senjata global Barat, yang telah eksis selama 100 tahun.
Tidak diragukan lagi bahwa Turki saat ini merupakan target strategis bagi Amerika; Turki di bawah Presiden Recep Tayyip Erdogan hari ini bukanlah Turki yang berada di bawah Ataturk dan presiden-presiden pro-Amerika yang mengikutinya. Tidak ada lagi Turkinya NATO dan sekutu Barat, yang AS yakini telah ia latih untuk berputar di orbitnya. Washington ingin negara itu lemah dan untuk mengekang kemerdekaannya. Ini tidak dapat terjadi tanpa menyingkirkan Erdogan dan melenyapkannya dari politik Turki.
Konspirasi sebelumnya telah gagal, memaksa orang Amerika mengintensifkan upaya mereka dengan cara lain untuk menggagalkan pengalaman sukses Turki. Untuk membuat Turki terbang dalam kawanan sekali lagi, AS memerangi pemerintah di Ankara secara ekonomi dan merusak nilai Lira Turki.
Sementara, Arab Saudi, UAE dan pihak yang bekerja sama dengan mereka dan mengikuti perintah mereka, seperti Libanon, telah berhenti mengimpor produk pertanian dan industri Turki. Jordan telah membatalkan perjanjian perdagangan bebas dengan Turki untuk melancarkan serangan pada ekonomi Turki. Mereka gagal menghancurkannya, sehingga mereka terpaksa membom berbagai bangunan AK Pary, hanya untuk kalah lagi dalam pertempuran.
Baca: Erdogan: Republik Turki adalah Kelanjutan Ottoman
Dakwah Media BCA - Green
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dipimpin oleh Amerika dan para pemimpin Arab yang berkolusi dengannya, kemungkinan kandidat yang disukai Barat dapat mengalahkan Erdogan dalam pemilu presiden minggu ini sangat tipis; belum ditemukan seseorang dapat mengalahkan Presiden inkumben dengan cara adil. Bahkan alternatif seperti mantan Perdana Menteri Ahmet Davutoglu dan mantan Presiden Abdullah Gul mengumumkan mereka tidak menentang Erdogan dan malah mendukung pencalonan Erdogan sebagai wakil dari AK Party. Ini terlepas dari upaya keras yang dilakukan Arab Saudi dan UAE, termasuk, tawaran finansial bagi kedua orang untuk menantangnya. Penolakan mereka merupakan tamparan keras bagi Riyadh dan Abu Dhabi, yang tidak hanya berkonspirasi terhadap Erdogan sendiri, namun juga terhadap Islam.
Sudah jelas bahwa konspirasi global terhadap Turki dimulai setelah pengalaman sukses Erdogan menciptakan kebangkitan di negaranya berhubungan dengan kecenderungan Islamisnya.
Konspirasi yang bertujuan mencegah Turki ,sekali lagi, memimpin dunia Muslim, karena Washington tidak ingin sebuah negara Sunni yang kuat menjadi titik referensi bagi sebagian besar Muslim dunia; perang kotor Amerika melawan Muslim Sunnia bergantung pada kolaborasi para “pemimpin Sunni”. Amerika Serikat juga menolak mengizinkan penggambaran citra Islam yang beradab dan politik Islam, karena itu sepenuhnya bertentangan dengan momok Islamophobia yang diciptakan untuk menakuti dunia menggunakan ISIS, yang itu sendiri merupakan ciptaan intelejen AS. Amerika menggunakan Islamophobia sebagai cover untuk menyerang negara-negara Muslim dengan dalih “perang terhadap teror”, yang sebenarnya dan jelas-jelas perang terhadap Islam.
Presiden mana di negara mana di dunia yang bersedia mengorbankan bahkan satu jam dari masa jabatan mereka, apalagi enam belas bulan, seperti yang Erdogan telah lakukan? Ini menunjukkan kepercayaan mutlaknya pada orang-orang, kekuatannya dan kepercayaan dirinya pada apa yang telah ia capai. Dia menunjukkan dengan popularitasnya bahwa dia tidak takut bersaing di Pemilu.
Di atas semuanya, ini membuktikan rasa hormat penuhnya pada demokrasi dan keinginan rakyat, itu bukan sesuatu yang dapat mudah dikatakan tentang pemerintah di Barat dan kaki tangan mereka di dunia Arab. Pengalaman Erdogan akan dipelajari di tahun-tahun yang akan datang sebagai salah satu pengalaman politik paling penting di era modern, di mana Barat, dengan segala kekuatan dan kekuasaannya, tidak dapat menggagalkan.*
Kolumnis di Middle East Monitor (MeMO). Artikel diterjemahkan Nashirul Haq AR