Oleh: Faisal Edroos
LEBIH dari 300.000 etnis Rohingya telah dipaksa meninggalkan tanah leluhur mereka di wilayah barat Rakhine Myanmar di tengah sebuah kampanye pembunuhan, penyiksaan, pembakaran dan pemerkosaan massal oleh pasukan keamanan Myanmar dan massa Buddha.
Eksodus besar-besaran terakhir, yang dimulai sejak 25 Agustus, terjadi setelah sekelompok kecil lelaki Rohingya menyerang sekitar 30 polisi dan pos-pos polisi di Rakhine, menewaskan 12 polisi, menurut pemerintah.
Para penduduk dan saksi mata telah mengatakan pada Aljazeera bahwa pasukan keamanan membalas dengan kekuatan yang tidak seimbang, meluluhlantakan sejumlah rumah dan desa Rohingya sementara mereka mencoba memburu para penyerang.
Tentara Myanmar telah menyatakan korban tewas sekitar 400, mengatakan kebanyakan yang terbunuh merupakan pemberontak. Namun, para penduduk mengatakan bahwa jumlahnya lebih dari 1.000.
Kelompok yang melancarkan serangan telah bersikeras bahwa mereka bertindak demi kepentingan Rohingya – tetapi siapakah mereka dan apa yang mereka inginkan?
Siapakah ARSA?
Tentara Solidaritas Rohingya Arakan (ARSA), yang sebelumnya dikenal sebagai Harakah al-Yaqin, pertama kali tampil pada Oktober 2016 ketika kelompok itu menyerang tiga pos polisi di Maungdaw dan Rathedaung, membunuh sembilan petugas polisi.
Meski menghadapi penindasan selama berdekade, sebagian Muslim Rohingya telah menahan diri dari kekerasan.
Etnis Rohingya yang tinggal di kota Maungdaw mengatakan Aljazeera bahwa para lelaki, berjumlah hanya beberapa lusin, menyerang pos terdepan polisi dengan tongkat dan pisau, dan setelah membunuh petugas polisi, mereka kabur dengan persenjataan ringan.
Dalam pernyataan video berdurasi 18 menit yang dikeluarkan pada Oktober lalu, Ataullah Abu Amar Jununi, pemimpin kelompok itu, memberikan pembelaan terkait serangan itu, menyalahkan tentara Myanmar yang memicu kekerasan.
“Selama 75 tahun telah terjadi berbagai kejahatan kekejaman yang dilakukan terhadap Rohingya … itulah mengapa kami melakukan serangan pada 9 Oktober 2016 – untuk mengirim pesan bahwa jika kekerasan tidak dihentikan, kami mempunyai hak untuk membela diri kami,” katanya.
Maung Zarni, seorang anggota non-residen di Pusat Studi Ekstrimisme Eropa, mengatakan pada Aljazeera bahwa aksi kelompok itu membuktikan “perlakuan kejam sistematis dengan ukuran genosida” oleh militer Myanmar.
“Itu bukanlah sebuah kelompok teroris yang bertujuan menyerang ke jantung masyarakat Myanmar seperti yang diklaim oleh pemerintah Myanmar,” kata Zarni.
Baca: 1100 Anak Rohingya Kehilangan Orang Tua, Puluhan Pengungsi lainnya Mati lemas
“Mereka ialah sekelompok lelaki putus asa yang memutuskan untuk membentuk semacam kelompok pertahanan diri dan melindungi rakyat mereka yang hidup dalam kondisi yang mirip dengan kamp konsentrasi Nazi,” dia menambahkan.
“Aksi-aksi ARSA mirip para tahanan Yahudi di Auschwitz yang bangkit melawan Nazi pada Oktober 1944.”
Apa yang mereka inginkan?
ARSA mengatakan kelompoknya bertempur atas nama lebih dari satu juta Rohingya, yang hak dasarnya telah ditolak, termasuk kewarganegaraan.
“Pembelaan diri sah kami merupakan sebuah perjuangan yang dibutuhkan serta dibenarkan oleh kebutuhan kelangsungan hidup manusia,” Jununi mengatakan dalam sebuah video yang diupload ke sosial media pada 15 Agustus, 2017.
“ARSA telah ada di Arakan selama tiga tahun dan tidak membawa kerusakan apapun pada kehidupan dan harta benda rakyat Rakhine dan Rohingya.”
Namun, otoritas Myanmar menggambarkan sebuah gambaran yang berbeda, mengatakan bahwa mereka adalah “para teroris” Muslim yang ingin menerapkan hukum Islam.
Anagha Neelakantan, Direktur Program Asia di Kelompok Krisis Internasional, mengatakan Aljazeera bahwa tidak ada ideologi jelas yang mendasari aksi kelompok itu.
“Dari apa yang kami mengerti kelompok itu bertempur untuk melindungi Rohingya dan tidak ada yang lain,” katanya.
Belumlah jelas berapa banyak petempur yang kelompok itu miliki, Neelakantan menjelaskan, dan “tidak ada bukti kalau ARSA memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok Jihadis lokal atau internasional, atau bahwa mereka menginkan untuk bersekutu”.
Baca: Kesaksian Wartawan BBC Melihat Desa-desa yang Dibakar di Rakhine
Mengapa mereka terbentuk?
Selama beberapa dekade, Rohingya telah menghadapi diskriminasi yang mengakar dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya dari pemerintah militer negara itu.
Pada 1948, ketika Inggris meninggalkan Myanmar, militer yang menggantikannya melancarkan sebuah kampanye untuk menciptakan rasa kebangsaan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Meskipun mereka memiliki sejarah mendalam dan leluhur yang mengakar di perbatasan-perbatasan Myanmar pra-penjajahan, militer akan memulai beberapa operasi militer untuk secara etnis membersihkan negara itu dari Rohingya.
Sejak 2012, insiden-insiden intoleransi agama dan penghasutan telah meningkat di sepanjang negara itu, dengan Rohingya dan Muslim lainnya secara berkala diserang dan digambarkan sebagai sebuah “ancaman terhadap ras dan agama”.
Apakah mereka berhubungan dengan al-Qaeda atau ISIS?
Aziz Khan, seorang Rohingya yang tinggal di Kota Maungdaw, mengatakan pada Aljazeera bahwa militer dan pemerintah sipil “menakut-nakuti” dan “tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kelompok itu memiliki hubungan apapun dengan kelompok teroris manapun”.
“Media terkunci dalam pernyataan pemerintah yang mengatakan bahwa lelaki-lelaki ini adalah ‘teroris,’ itu bohong, [Aung San] Suu Kyi [pemimpin de facto Myanmar] berbohong, begitu juga tentara, tidak ada al-Qaeda di Rakhine.”
“Orang-orang ini tidak memiliki perlengkapan. Yang mereka punya hanyalah tongkat, pedang dan senjata yang mereka dapatkan dari pos militer. Tidak ada bom.”
Dalam pernyataan yang dirilis pada 14 September, ARSA mengatakan “tidak memiliki hubungan dengan al-Qaeda, ISS, Lashkar-e-Taiba atau kelompok teroris transnasional lainnya”.
“Sementara kelompok tersebut mungkin mereka dana dari diaspor Rohingya di Arab Saudi,” Zarni mengatakan, “kelompok itu tidak meminta sebuah negara Islam dan bukan pula separatis, yang mereka minta ialah kedamaian dan persamaan etnis.”
Penulis adalah jurnalis di Al Jazeera English