KASUS pedofilia terhadap anak di TK Jakarta International School (JIS) beberapa waktu lalu, membuat banyak kalangan terhenyak.
Sekolah internasioal yang diharapkan mampu memberikan pendidikan terbaik bagi generasi, ternyata malah memberikan trauma yang mendalam bagi korban yang merupakan generasi penerus bangsa ini di masa depan. Apalagi para pelaku kejahatan justru orang-orang dalam, yang seharusnya memberi keteladanan.
Kasus ini menjadi hikmah bagi kita semua. Selama ini banyak kalangan yang masih beranggapan bahwa pendidikan internasional atau pendidikan bertaraf internasional (baca: Barat) seolah menjadi pijakan bagi kemajuan pendidikan.
Sehingga banya orangtua yang memasukkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah bertaraf internasional.
Alih-alih ikut berperan aktif dalam mencerdaskan bangsa, ternyata sekolah-sekolah asing (sekolah bertaraf internasional) ikut berkontribusi melemahkan, merusak generasi bangsa ini. Maka hal wajah jika sebelum ini anggota Komnas HAM meminta pemerintah mengawasinya.
Di berbagai sekolah di negara-negara Barat seperti Polandia, Amerika bahkan di pusat pemerintahan katolik Vatikan, kasus pedofilia juga bukan hal baru. Sering terjadi, bahkan dilakukan oleh pastur dan pemuka agama Katolik.
Belajar dari kasus maraknya pedofilia di Jakarta International School (JIS), semestinya pemerintah mengevaluasi total keberadaan seluruh sekolah asing yang ada di Indonesia.
Semestinya pemerintah bertindak tegas dengan menutup sekolah-sekolah asing yang ada di Indonesia yang tidak mengikuti aturan main, menanamkan nilai, standar dan gaya hidup bertentangan dengan budaya bangsa ini yang mayoritas Muslim.
Keberadaan sekolah asing di Indonesia sangat berbahaya, dikarenakan akan menjadi sarana efektif untuk penanaman nilai dan gaya hidup yang bertentangan dengan agama dan budaya bangsa.
Karena selalu bercermin dengan kemajuan Barat, yang pasti, nilai-nilai yang ditanamkan adalah nilai-nilai liberal dan sekuler. Kasus JIS sebagai buktinya. Meski lembaga ini berdiri di Indonesia tetapi tak punya Kurikulum agama, Bahasa Indonesia dan PKn.
Bangsa Indonesia sudah ratusan kali ditunjukkan berbagai fakta dan kasus, bahwa nilai-nilai liberal dan sekuler terbukti banyak menggerus fitrah kemanusiaan.
Sekolah yang semestinya menjadi rumah kedua bagi anak, tempat yang aman kedua bagi anak, ternyata menjadi tempat yang mengerikan. Orang dewasa yang semestinya melindungi anak-anak malah menjadikannya korban nafsu binatangnya. Naluri seksualnya dilampiaskan secara menyimpang. Bukankah ini menunjukkan manusia bisa lebih hina dari binatang?
Kita khawatir, sekolah-sekolah “asing” menjadi jalan menundukkan kedaulatan melalui loyalitas anak bangsa yang diarahkan untuk mengagumi dan menggunakan standar Barat dan gaya hidup kebarat-baratan, di mana tanpa agama, membolehkan segala hal, yang ujungnya melahirkan penyakit-penyakit yang melahirkan kejahatan seksual.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Karena hal itu sudah pasti, standar yang lahir dari nilai di masyarakat Barat –baik bersumber dari agama maupun ideologi liberal sekular- adalah bertentangan dengan fitrah manusia.
Selama ini pemerintah, bahkan PBNU selalu keras meminta sekolah-sekolah yang tak mengajarkan PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) bahkan nilai-nilai Pancasila sebagai cap radikal. Faktanya, ketika banyak sekolah-sekolah menyebut diri internasional tak mengajarkan Bahasa Indonesia, PKn bahkan Pendidikan Agama, mengapa diam saja?
Pemerintah harus ketak memantau sekolah-sekolah asing (bertaraf internasional) agar tidak dijadikan sarana untuk melakukan upaya pendangkalan akidah, pemurtadan terselubung, sekularisasi, serta menjauhkan kaum Muslim dari Islam, baik dalam pemikiran dan hukum-hukumnya. Wa Allahu ‘alam.*
Kiriman: Lilis Holisah
Pendidik Generasi di HSG SD Khoiru Ummah Ma’had al-Abqary Serang – Banten