Lanjutan tulisan sebelumnya
Lembaga Korupsi Hadir, Korupsi tetap Mengalir
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bisa dikatakan telah berjalan sejak republik ini berdiri. Berdasarkan sejarah, selain KPK yang terbentuk pada tahun 2003, terdapat 6 lembaga pemberantasan korupsi yang pernah dibentuk di negeri ini, yakni: (i) Operasi Militer pada tahun 1957, (ii) Tim Pemberantasan Korupsi pada tahun 1967, (iii) Operasi Tertib pada tahun 1977, (iv) Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak pada tahun 1987, (v) Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TKPTPK) pada tahun 1999 dan (vi) Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) pada tahun 2005.
Namun demikian, banyaknya lembaga anti korupsi yang dibentuk di negeri ini jelas bukan menunjukkan sebuah prestasi. Sebaliknya, ia justru menunjukkan kegagalan demi kegagalan lembaga-lembaga tersebut dalam memberantas gurita korupsi di negeri ini.
Sebagai bukti, saat KPK dipimpin Taufiequrachman, data hasil survei Transparency Internasional saat itu mengenai penilaian masyarakat bisnis dunia terhadap pelayanan publik di Indonesia justru memberikan nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi) sebesar 2,2 kepada Indonesia. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada urutan 137 dari 159 negara tersurvei.
Selain pembentukan sejumlah lembaga anti korupsi di atas, di negeri ini juga telah banyak diterbitkan UU/peraturan yang memiliki nafas yang sama: anti korupsi. Sebut misalnya: UU RI nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Kepres RI No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; PP RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN; UU RI No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU RI No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; PP RI No.71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dan PP RI No. 109 Tahun 109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. (Buletin Al-Islam: 504)
Namun demikian, toh hingga saat ini ‘prestasi’ sebagai negara terkorup tetap diraih Indonesia. Menurut survei yang diadakan Political and Economic Risk Consultancy (PERC), pada tahun 2010 lalu Indonesia masih menempati urutan teratas dalam daftar negara paling korup di antara 16 negara tujuan investasi di Asia Pasifik. Bahkan Kepala Biro Perencanaan Kejaksaan Agung Fery Wibisono mengatakan “Penanganan perkara korupsi di Indonesia per tahun mencapai 1.600 hingga 1.700 perkara. Jumlah ini menduduki peringkat kedua di dunia setelah China yang mencapai 4.500 perkara,” (bisnis.com 11/05/2013)
Pilar dan Solusi Islam
Telah kita ketahui bahwa kasus korupsi telah tumbuh seiring dengan berdirinya negara ini, berbagai upaya pun telah ditempuh untuk menanggulanginya. Akan tetapi makin berjalannya waktu praktek korupsi malah makin menjadi-jadi.
Sesungguhnya dalam sistem Islam, salah satu pilar penting dalam mencegah korupsi ialah di tempuh dengan menggunakan sistem pengawasan yang ketat.
Pertama: pengawasan yang dilakukan oleh individu. Kedua: pengawasan dari kelompok, dan ketiga: pengawasan oleh negara.
Dengan sistem pengawasan ekstra ketat seperti ini tentu akan membuat peluang terjadinya korupsi menjadi semakin kecil, karena sangat sedikit ruang untuk melakukan korupsi.
Dengan diterapkannya syariat Islam tentu akan berefek pada tumbuhnya spirit ruhiah yang sangat kental, spirit yang timbul bahwa siapapun merasa senantiasa diawasi oleh dzat yang Maha Melihat dan tak pernah tidur, spirit yang membuka kesadaran bahwa akan ada hisab atas segala amal dan perbuatan manusia, bila sprit seperti ini yang timbul tentu akan berdampak pula pada menggairahnya budaya amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat.
Diberlakukannya seperangkat hukuman pidana yang keras, hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku.
Dalam sistem Islam, korupsi (ikhtilas) adalah suatu jenis perampasan terhadap harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri atau orang lain.
Korupsi merupakan salah satu dari berbagai jenis tindakan ghulul, yakni tindakan mendapatkan harta secara curang atau melanggar syariah, baik yang diambil harta negara maupun masyarakat.
Berbeda dengan kasus pencurian yang termasuk dalam bab hudud, korupsi termasuk dalam bab ta’zir yang hukumannya tidak secara langsung ditetapkan oleh nash, tetapi diserahkan kepada khalifah atau qadhi (hakim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. bersabda, ”Perampas, koruptor (mukhtalis) dan pengkhianat tidak dikenakan hukuman potong tangan.” (HR Ahmad, Ashab as-Sunan dan Ibnu Hibban).
Bentuk ta’zir untuk koruptor bisa berupa hukuman tasyhir (pewartaan atas diri koruptor; misal diarak keliling kota atau di-blow up lewat media massa), jilid (cambuk), penjara, pengasingan, bahkan hukuman mati sekalipun; selain tentu saja penyitaan harta hasil korupsi.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz, misalnya, pernah menetapkan sanksi hukuman cambuk dan penahanan dalam waktu lama terhadap koruptor (Ibn Abi Syaibah, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, V/528; Mushannaf Abd ar-Razaq, X/209).
Adapun Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah menyita seluruh harta pejabatnya yang dicurigai sebagai hasil korupsi (Lihat: Thabaqât Ibn Sa’ad,Târîkh al-Khulafâ’ as-Suyuthi).
Jika harta yang dikorupsi mencapai jumlah yang membahayakan ekonomi negara, bisa saja koruptor dihukum mati.
Sistem Islam juga sangat memperhatikan kesejahteraan para pegawainya dengan cara menerapkan sistem penggajian yang layak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapapun yang menjadi pegawai kami hendaklah mengambil seorang istri, jika tidak memiliki pelayan , hendaklah mengambil seorang pelayan, jika tidak mempunyai tempat tinggal hendaknya mengambil rumah.” (HR. Abu Dawud).
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dengan terpenuhinya segala kebutuhan mereka, tentunya hal ini akan cukup menekan terjadinya tindakan korupsi.
Pada masa kekhilafahan Umar Bin khatab, hal ini rutin dilakukan beliau selalu menghitung harta kekayaan para pegawainya seperti para Gubenur dan Amil.
Sedangkan dalam upayanya untuk menghindari terjadinya kasus suap dalam berbagai modusnya, sistem Islam melarang pejabat Negara atau pegawai untuk menerima hadiah. Bisa kita lihat, pada masa sekarang ini banyak diantara pejabat/pegawai, ketika mereka melaporkan harta kekayaanya, kemudian banyak ditemukan harta yang tidak wajar, mereka menggunakan dalih mendapatkan hibah. Kasus seperti ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa saja yang kami (Negara) beri tugas untuk melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami beri rezeki (upah/gaji), maka apa yang diambil olehnya selain (upah/gaji) itu adalah kecurangan.” (HR. Abu Dawud).
Pilar lain dalam upaya pencegahan korupsi dalam Islam adalah dengan keteladanan pemimpin. Bisa di ambilkan contoh, khalifah Umar Bin Abdul Aziz pernah memberikan teladan yang sangat baik sekali bagi kita ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya.
Beliau juga pernah mematikan fasilitas lampu di ruang kerjanya pada saat menerima anaknya. Hal ini dilakukan karena pertemuan itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Negara. Tampaknya hal ini bertolak belakang dengan apa yang terjadi di negeri ini, ketika rakyatnya banyak yang lagi kesusahan, para pejabatnya justeru banyak bergelimang kemewahan.
Begitulah. Sesungguhnya sistem Islam adalah solusi terbaik yang layak dipakai ketika semua solusi pemberantasan korupksi sudah tidak mempan lagi.
Masalahnya, mengapa jika solusi Barat yang sudah banyak merusak harkah kehidupan kita masih terus dipertahankan, sementara ketika usulan solusi Islam disampaikan buru-buru menolaknya?
Penulis adalah karyawan swasta Migas tinggal di Garut- Jawa Barat