Kamis 11 Maret 2003, kemarin, kampanye pemilihan umum 2004 dimulai. Gegap gempita dan semarak pemilu mulai merambah jalan-jalan raya. Selama beberapa hari di Jakarta dan beberapa kota lainnya, mulai 19 Februari-7 Maret lalu, saya sempat bertemu dengan sejumlah tokoh dan politisi di Indonesia. Banyak informasi penting seputar pemilu 2004 dan perilaku para politisi.
Beberapa diantaranya tidak terekspose di media massa. Dari sejumlah analisis dan informasi yang saya terima, tampaknya ada dugaan, bahwa Golkar akan memenangkan pemilu 2004, disusul PDIP, PKB, dan seterusnya. Golkar diperkirakan meraih suara sekitar 25 persen, PDIP, sekitar 20 persen. Benarkah? Wallahu a’lam. Malah, ada berita, Golkar kemungkinan akan menjalin koalisi dengan PDIP untuk pemilihan Presiden RI 2004-2009.
Jika koalisi itu terjadi, ditambah PKB, maka kemungkinan ketiga partai itu akan mendominasi suara pemilihan Presiden. Bisa diatur, misalnya, Megawati Presiden, Yusuf Kalla Wapres, dan PKB akan mendapat jatah posisi-posisi kabinet dan jabatan strategis lainnya. Tentu semua perkiraan itu masih terlalu dini, masih harus menunggu hasil pemilu legislatif 2004.
Bagaimana dengan Amien Rais dengan PAN-nya? Aneh! Dari berbagai tokoh yang saya temui, hampir semua tidak terlalu optimis. Jika dalam pemilu tahun 1999, PAN meraih suara sekitar 7 persen, maka masih menjadi tanda tanya, apakah dalam pemilu kali ini, PAN akan meraih suara yang sama. Ini juga masih dugaan, masih harus ditunggu hasilnya. Begitu juga dengan PPP dan PBB. Dua partai Islam ini masih menghadapi kondisi internal yang cukup pelik. Setelah diguncang perpecahan – dengan PBR – PPP juga menghadapi berbagai persoalan. Namun, PPP masih tetap diuntungkan dengan kuatnya jaringan yang telah mapan sampai ke pelosok-pelosok daerah.
PKS merupakan satu partai Islam yang banyak diperkirakan akan mengalami kenaikan suara. Ada yang memperkirakan PKS akan meraih sekitar 5-6 persen suara. Tentu ini cukup signifikan bagi peningkatan suara sebuah partai baru. PKS sangat diuntungkan dengan wajah dan citra partai yang “muda, progresif, islami”. Ia pun praktis tidak terbebani dengan “dosa-dosa” masa lalu. Para tokohnya pun relatif bersih dari berbagai isu tentang kecurangan, korupsi, dan sebagainya.
Pertanyaan yang banyak muncul di tengah masyarakat adalah: pilih apa dalam pemilu 2004? Di kalangan aktivis Islam pun, di Indonesia dan Malaysia, pertanyaan semacam itu bermunculan. Pilih apa? Ada yang menyesalkan, mengapa umat Islam tidak dapat bersatu dalam satu partai saja. Kalau semua tujuannya sama, mengapa mereka tidak gabung saja? Mengapa mesti ada beberapa partai Islam? Bahkan, banyak juga aktivis dan tokoh Islam yang lebih memilih partai sekuler daripada partai Islam.
Itulah uniknya Islam. Islam memang satu. Islam tidak sekedar warna-warni. Ada yang satu dalam Islam. Ada juga perbedaannya. Unsur-unsur aqidah tidak ada perbedaan. Umat Islam seluruh dunia membaca al-Quran yang satu. Beriman kepada satu Nabi terakhir, yaitu Muhammad saw. Syahadat-nya satu. Mereka melakukan shalat, azan, dan menjalankan berbagai ibadah lainnya dalam bahasa Arab. Bangunan Islam sudah selesai sejak zaman Nabi Muhammad saw.
Makna “Islam” itu sendiri digambarkan oleh Nabi Muhammad saw dalam berbagai sabda beliau. Imam al-Nawawi dalam Kitab hadits-nya yang terkenal, al-Arba’in al-Nawawiyah, menyebutkan definisi Islam pada hadits kedua: “Islam adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah — jika engkau berkemampuan melaksanakannya.” (HR Muslim). Pada hadits ketiga juga disebutkan, bahwasanya Nabi Muhammad saw bersabda: “Islam ditegakkan di atas lima hal: persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, penegakan shalat, penunaian zakat, pelaksanaan haji ke Baitullah, dan shaum Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kita tentu berharap, para politisi Muslim yang aktif berpartai memiliki pedoman yang sama, yakni untuk memperkuat bangunan Islam. Utamanya, bangunan aqidah Islamiyah, Iman kepada Allah dan yakin bahwa tidak ada ajaran yang lebih baik dibanding ajaran Allah dan Rasul-Nya. Politisi Muslim perlu bersikap tegas dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah Islam. Bukan hanya tegas dalam masalah korupsi dan penyelewengan kekuasaan, tetapi juga tegas dalam menyikapi ide-ide sekularisme, liberalisme, pluralisme agama, dan berbagai ide yang meruntuhkan dan menyerang sendi-sendi aqidah Islam. Adalah aneh jika sejumlah politisi Muslim aktif menyebarkan ide politisi busuk untuk koruptor, tetapi tidak kritis terhadap politisi yang menyebarkan ide-ide yang meruntuhkan aqidah Islamiyah.
Jika berpolitik diniatkan sebagai ibadah, maka seyogyanya, diberikan pedoman yang jelas, bagaimana ibadah itu dilakukan. Banyak politisi Muslim aktif menyebarkan ide “reformasi” dan menjadikannya sebagai kriteria “furqan”, untuk membedakan yang haq dan bathil. Tetapi, anehnya, tidak diberikan batasan yang jelas, apa makna kata “reformasi” itu sendiri, dalam pandangan Islam. Akibatnya, kata ini bisa menjadi begitu bias dan liar artinya. Sekali waktu, Abdurrahman Wahid dipuja sebagai reformis, lalu didukung dan dipilih. Lain waktu, ia dijatuhkan, karena tidak reformis. Megawati didukung karena dianggap reformis. Lain waktu lagi, dikecam karena dengan alasan tidak reformis. Lalu, gantian, di waktu lain, Abdurrahman Wahid menjadi reformis lagi dan diajak bersama-sama menumbangkan Megawati.
Apakah tidak ada yang tetap dalam memilih pemimpin sesuai dengan ajaran Islam? Tentu ada. Al-Quran dan hadits begitu banyak menyebutkan kriteria pemimpin yang layak dipilih sebagai pemimpin negara atau pemimpin apa saja. Jika untuk pemimpin rumah tangga saja diatur sedemikian rupa, maka tentu Islam sangat berkepentingan dalam menentukan kriteria ideal bagi pemimpin negara. Dalam hal ini, kita memang sudah masuk ke dalam “perangkap demokrasi”. Dalam system seperti ini, pemimpin tentu merupakan cerminan dari rakyatnya. Jika mayoritas rakyat hobi dangdut, maka mereka akan memilih penyanyi dangdut untuk menjadi pemimpin mereka. Setidaknya, mereka akan memilih partai yang pro-dangdut. Jika rakyat pro kepada pornografi dan pelacuran, tentu mereka akan menolak pemimpin yang menentang hobi mereka itu.
Para politisi Muslim perlu menyadari bahwa gerakan sekularisasi dan liberalisasi di Indonesia, terus-menerus menggerus nilai-nilai agama dalam kehidupan politik. Mereka mengajak masyarakat untuk memisahkan politik dengan agama. Nilai-nilai moral dan hukum Islam mereka sarankan untuk dibuang jauh-jauh dan menggantikannya dengan hukum kesepakatan publik.
Hukum-hukum agama dianggap kuno dan membelenggu, sehingga harus dibuang. Itulah yang telah terjadi pada dunia Kristen, ketika mereka menolak untuk berpegang kepada hukum Taurat.
Mereka kemudian mencari-cari alas an untuk membuang hukum Taurat dan menerima sekularisasi. Misalnya, dicarilah dalil pada Bible, bahwa Paulus pernah menyatakan: “Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!” (Galatia, 3:13). Padahal, Yesus sendiri diberitakan pernah menyatakan: “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat, atau kitab para nabi; Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.” (Matius:5;17;18)
Para politisi Muslim kiranya perlu memiliki perspektif jauh ke depan dalam memandang perjalanan dakwah Islam di Indonesia. Aspek-aspek aqidah perlu mendapatkan perhatian yang serius, disamping aspek-aspek syariah Islam. Banyak partai dan organisasi Islam yang tertarik untuk menanggapi masalah-masalah syariat, seperti soal perkawinan antar-agama, atau isu fiqih lintas agama. Tetapi, hampir tidak ada yang peduli dengan upaya sejumlah cendekiawan dan tokoh Islam yang menyebarkan metode hermeneutika sebagai alternatif pengganti tafsir al-Quran. Padahal, kini hermeneutika yang merupakan metode interpretasi Bible, sudah diajarkan di sejumlah institut dan perguruan tinggi Islam. Dampak hermeneutika ini sudah terlihat dan akan terus bertambah, karena semakin banyak yang meminati kajian ini. Sementara banyak tokoh dan ilmuwan Muslim yang tidak peduli dan tidak tahu apa-apa tentang hal ini.
Pemilu 2004 harusnya tidak melenakan kaum Muslim akan adanya tantangan serius di bidang pemikiran dan tantangan di bidang aqidah, yang kini telah merasuk ke dalam organisasi-organisasi dan institusi Islam.
Banyak dugaan, pemilu 2004 akan mempertontonkan dominasi partai-partai sekular, yang tidak berbasis agama. Sebagian politisi Muslim sudah mengambil ancang-ancang untuk melakukan koalisi dengan tokoh partai sekular untuk pencalonan Presiden. Dengan “dalil” memilih “kemudharatan yang lebih kecil”, biasanya akan diambil keputusan untuk mendukung calon Presiden tertentu, yang popular, berbasis partai yang kuat, dan banyak duitnya. Yang penting dia dianggap tidak memusuhi Islam. Beberapa politisi Muslim yang saya temui di Indonesia mengemukakan argumen yang sama. Mereka enggan mengeluarkan jago Presidennya sendiri. Logika politiknya, untuk apa menjagokan pemimpin partainya sendiri, jika toh akan kalah. Lebih baik mendukung jago PDIP atau Golkar ketimbang menjagokan tokoh partai Islam, yang secara logika politik, akan kalah.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Itu memang logika politik. Tapi, jika berpikir jauh ke depan, bukankah lebih baik jika partai Islam atau satu partai Islam mulai memunculkan calon Presidennya sendiri? Apakah umat Islam masih ingin mengulang pengalaman lalu ketika mereka aktif mendorong terpilihnya Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati? Mengapa PKS, misalnya, tidak secara tegas menyatakan untuk mencalonkan Hidayat Nurwahid? Secara logika politik, tahun 2004, Hidayat memang tidak terpilih menjadi Presiden RI 2004.
Tetapi, jika dilakukan usaha yang serius dan yakin dengan pertolongan Allah, bukankah ada peluang untuk tahun 2009 atau 2014? Bukankah sangat kasihan, para pendukung dan pemilih PKS, jika akhirnya para pemimpinan PKS justru mengarahkan suara pendukungnya untuk memilih seorang Presiden yang jauh dari kriteria Islam?
Kita berharap, sejak sekarang, secepat mungkin, akan ada partai Islam yang dengan berani mencalonkan Presiden yang ideal, berdasarkan kriteria Islam, bukan berdasarkan kriteria pragmatis-politik. Tentu, si calon perlu diuji benar, diteliti akhlaknya, keluarganya, harta kekayaannya, ilmunya, kepiawaiannya dalam berpolitik. Ia harus siap diuji di depan publik tentang semua hal.
Sayangnya, secara umum, terlihat, banyak yang kehilangan daya kritis terhadap pemimpinnya. Yang ada justru kecenderungan budaya kultus. Padahal, tradisi Islam di masa lalu, dipenuhi dengan budaya kritis yang luar biasa terhadap para pemimpin dan ulamanya.
Ulama-ulama yang fasik dan jahat, segera diumumkan sebagai fasik, zalim, pendusta, dan sebagainya, sehingga periwayatan mereka tidak diterima lagi. Mereka juga sangat kritis terhadap serangan dari luar. Ide-ide yang dating dari luar disaring dan dikritisi habis-habisan, sehingga tidak menyebar dengan leluasa ke tengah masyarakat. Adalah sangat aneh, jika banyak tokoh Islam yang tahu tentang kejahatan dan penyelewengan yang dilakukan tokoh-tokoh dan pemimpin partai Islam tertentu, tetapi tetap mendiamkan begitu saja, dan membiarkan umat Islam terus-menerus tertipu dengan berbagai kata-kata manis yang dikeluarkan si pemimpin. Padahal, Rasulullah saw dan para ulama Islam dahulu tidak melakukan hal yang semacam itu.
Kejahatan publik diekspose, sehingga masyarakat tidak tertipu untuk memilih pemimpin yang tidak semestinya. Walhasil, pemilu 2004 sudah mulai menggelinding. Pilih apa nanti kita semua? Tentu baiknya kita cari informasi sebanyak-banyaknya. Kita pilih partai dan politisi yang berkata dan berbuat benar, tidak munafik, berani memperjuangkan al-haq, dan tidak membohongi kita semua atas nama apa pun, apakah atas nama Islam atau atas nama rakyat. Sebelum memilih, kita istikharah, sambil berdoa, semoga Allah menunjukkan kepada kita pilihan yang benar dan semoga Allah menjatuhkan hukumannya kepada partai atau politisi yang berani mendustai umat Islam; yang dimana-mana bicara untuk perjuangan Islam dan rakyat, tetapi terbukti hanya untuk kepentingan perut dan kepentingannya sendiri. Allahumma arinal haqqa haqqan, war zuqna ittiba’an; wa arinal baathila baathilan war zuqna ijtinaabaa. Wallahu a’lam. (KL, 11 Maret 2004).