Oleh: Musthafa Luthfi
BANYAK pihak yang khawatir baik di dalam negeri maupun negara-negara tetangga bila 22 Mei tahun ini, bisa jadi sebagai peringatan terakhir negara kesatuan Yaman yang diproklamirkan sekitar 24 tahun lalu. Pasalnya dalam dua pekan terakhir berbagai aktivitas dan tuntutan rakyat, politisi dan gerakan bersenjata di wilayah selatan negeri itu semakin meningkat dengan satu tujuan yakni kemerdekaan kembali Yaman Selatan.
Yaman bersatu yang bernama Republik Yaman terdiri dari Republik Arab Yaman (Yaman Utara) dan Republik Sosialis Yaman (Yaman Selatan) memproklamirkan unifikasinya pada 22 Mei 1990 pasca perang dingin antara blok Barat dan Timur. Unifikasi (penyatuan) dua negara yang berbeda idiologi saat itu terkesan tergesa-gesa sesuai kepentingan elit penguasa di dua pihak.
Yaman Utara sebagaimana mayoritas dunia Arab memiliki dasar negara Islam dengan kecondongan ke blok Barat sementara Yaman Selatan dengan dasar negara sosialis bersekutu dengan komunis Uni Soviet saat itu. Meskipun rakyat kedua negara menyambut hangat unifikasi tersebut, namun elit penguasa kedua negara menoleh kepada kepentingan masing-masing terhadap negara baru tersebut.
Presiden Yaman Selatan saat itu, Ali Salem Al-Beidh berkepentingan segera bersatu dengan utara untuk menyelamatkan diri dari nasib yang menimpa para pemimpin Eropa Timur yang dibantai oleh rakyatnya sendiri menyusul bubarnya Uni Soviet. Sedangkan Presiden Yaman Utara, Ali Abdullah Saleh berkepentingan merespon ajakan selatan yang saat itu terlibat konflik kekuasaan sesama elit partai sosialis komunis untuk melebarkan kekuasaannya di selatan yang kaya bahan tambang terutama migas.
Akibat dari konflik kepentingan tersebut, bulan madu antara utara dan selatan hanya berlangsung sekitar dua tahun sebab pada 1993 konflik terbuka meletus dengan bersemedinya Ali Salim Al-Beidh yang menjadi Wapres Yaman bersatu di kota Aden, bekas ibu kota Yaman Selatan dan menolak kembali ke ibu kota Sana`a sebagai protes atas hegemoni kekuasaan Presiden Saleh dan elit utara. Konflik ini meluas menjadi bentrokan bersenjata antara pasukan yang setia kepada Presiden dan Wapres.
Sebagaimana diketahui, meskipun dua negara telah bersatu namun hingga 1994 kedua pasukan masih berada dibawah dwi komando, yang bekas tentara Yaman Selatan masih setia kepada Wapres dan petinggi militer selatan. Sedangkan pasukan utara masih setia kepada Presiden Saleh dan petinggi militer bekas Yaman Utara sehingga dengan sangat mudah diprovokasi sesuai kepentingan elit penguasa.
Puncak dari konflik tersebut adalah meletusnya perang saudara sekitar 3 bulan pada Mei-Juli 1994 yang berkesudahan dengan kalahnya pasukan selatan akibat perpecahan dalam tubuh elit Partai Sosialis Yaman (YSP), bekas partai penguasa tunggal di selatan yang pada saat Yaman bersatu menjadi salah satu partai koalisi berkuasa bersama Partai Kongres Umum Rakyat (GPC) dan Partai Islam Al-Islah dari utara.
Ali Salem Al-Beidh yang memproklamirkan kembali Yaman Selatan dan mendaulat dirinya sebagai Presiden saat perang saudara berkecamuk dikejutkan dengan pembelotan sejumlah petinggi YSP beserta sebagian pasukan selatan yang ibaratnya menusuk dari belakang sehingga pasukan utara dengan mudah menaklukkan selatan. Setelah perang saudara usai, para elit YSP yang mendukung unifikasi mendapat posisi tinggi negara dan partai GPC pimpinan Presiden Saleh, termasuk Presiden transisi sekarang, Abdu Rabbo Mansour Hadi.
Akibat kekalahan telak dalam perang saudara, sebagian elit YSP mengasingkan diri di sejumlah negara yang sampai saat ini masih melakukan kontak dengan para petinggi Gerakan Selatan (Southern Movement) yang aktif melakukan aksi-aksi menuntut kembali kemerdekaan Yaman Selatan. Sebelum gerakan perubahan Arab Spring (musim semi Arab) meletus pada awal 2011, gerakan ini telah aktif menuntut kemerdekaan terutama sejak tahun 2007 dan sering menimbulkan bentrok bersenjata dengan aparat keamanan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Demo dan aksi bersenjata yang dilakukan gerakan selatan yang menuntut kemerdekaan kembali Yaman Selatan tidak mampu menggoyahkan kekuasaan Saleh bersama kroni-kroninya di tengah makin meluasnya ketidakpuasan warga selatan yang merasa hasil migas lebih besar dimanfaatkan bagi utara dan dikorup oleh elit penguasa. Saleh akhirnya dapat digoyang dari singgasana kekuasaannya dengan merambatnya Arab Spring ke Yaman sehingga memaksanya lengser setelah lebih dari tiga dekade berkuasa.
Sebagai catatan penduduk Yaman yang diperkirakan berjumlah 25 juta jiwa sekitar 75 % berdomisili di utara atau bekas Yaman Utara sedangkan sisanya yang 25 % berdomisili di selatan atau bekas Yaman Selatan. Sedangkan prosentase hasil bumi terutama minyak dan gas, sebagian besar berada di wilayah selatan namun umumnya dinikmati oleh utara terutama oleh kalangan keluarga dan kroni mantan Presiden.*/bersambung.. Al Hautsi (Hautsiyun) ingin mengembalikan Dinasti Syiah..
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman