Oleh: Musthafa Luthfi
SETELAH melalui perundingan maraton yang melelahkan dan memacu detak jantung cukup kencang karena pertemuan kali ini dianggap sangat sensitif mengingat perkembangan situasi di kawasan Timur Tengah (Timteng), pertemuan Jenewa-3 membahas isu nuklir Iran berakhir dengan kesepakatan. Enam negara besar, lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB (AS, China, Inggris, Prancis dan Rusia) ditambah Jerman (5+1) bersama Iran pada 24 November lalu mencapai titik temu.
Kesepakatan negara-negara besar dan negeri Mullah itu tercapai setelah empat hari pertemuan di kota Jenewa, Swiss. Isyarat akan tercapainya kesepakatan tersebut sebenarnya sudah mengemuka sehari sebelumnya ketika para Menlu kelompok negara 5+1 bertemu di Hotel Intercontinental Jenewa dan mereka menjelaskan telah dekatnya kesepakatan karena 90 persen permasalah telah mencapai titik temu.
Di atas kertas, kesepakatan tersebut meskipun bukan sebagai kesepakatan final karena bersifat sementara yakni berlaku selama enam bulan ke depan dan dapat ditinjau kembali, namun oleh sebagian pihak dianggap sebagai landasan kondusif penyelesaian yang dapat diterima semua pihak secara final nantinya. Pihak-pihak terkait berharap, tentunya sesuai kepentingan masing-masing, agar waktu enam bulan ke depan cukup sebagai sarana mengatasi sejumlah masalah yang masih pending (belum terselesaikan).
Banyak pengamat melihat bahwa untuk mengatasi sejumlah perbedaan pendapat antara kedua belah pihak (5+1 dan Iran) dibutuhkan serangkaian perundingan sedikitnya dalam enam bulan ke depan sehingga kesepakatan Jenewa-3 tersebut sedikitnya dapat dijadikan dasar kondusif perundingan enam bulan mendatang. Barangkali itu sebabnya para pihak menentukan kesepakatan tersebut berlaku selama enam bulan.
Menengok sejenak ke belakangan, program nuklir negeri Persia itu sebenarnya telah dimulai sejak 1959 saat Shah Iran, Reza Pahlevi berkuasa dengan membeli reaktor nuklir untuk tujuan riset dari AS. Dukungan AS bagi pengembangan riset nuklir ketika itu wajar saja, sebab Iran saat itu hingga menjelang revolusi menjatuhkan penguasa Shah Pahlevi tahun 1979, merupakan sekutu terkuat negeri Paman Sam itu di kawasan disamping Israel.
Setelah revolusi 1979, seluruh aktivitas nuklir negeri itu dihentikan sementara waktu dan dimulai lagi setelah perang panjang dengan tetangganya, Irak usai pada 1988. Iran juga termasuk salah satu negara penandatangan pakta Non-Proliferasi Nuklir (NPT) atau perjanjian agar tidak menyebarluaskan bom nuklir dan teknologi pembuatannya, pada 1992 tapi NPT ini tetap menjamin hak kepada anggotanya untuk menguasai teknologi nuklir untuk tujuan damai.
Iran memanfaatkan jaminan NPT itu untuk melanjutkan pengembangan teknologi nuklir yang diklaimnya untuk tujuan damai seperti pembangkit listrik dan untuk tujuan riset damai lainnya, hingga pada 2003 permasalahan dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) muncul. Pasalnya IAEA menilai Teheran tidak memenuhi kewajibannya melaksanakan mekanisme badan atom internasional itu untuk tidak mengalihkan teknologi untuk membuat senjata nuklir.
Hasil laporan IAEA itu, selain menimbulkan kecurigaan negara-negara Barat terutama AS, juga menimbulkan kekhawatiran negara-negara kawasan terutama di Teluk kaya minyak bahkan Israel sejak dini mendesak Barat agar melakukan aksi militer guna menghentikan program nuklir Iran. Namun anehnya dibandingkan dengan perlakukan tegas terhadap sejumlah negara Arab yang dicurigai mengembangkan teknologi senjata nuklir seperti Iraq dan Libya, Barat lebih memilih sikap lembek menghadapi Iran.
Meskipun telah puluhan perundingan selama ini selalu mengalami dead lock (jalan buntu) namun Barat tetap memilih opsi penyelesaian damai dan menampik desakan Israel melakukan aksi militer. Barangkali penyebabnya karena Barat termasuk AS menghadapi krisis ekeonomi parah yang hampir menyebabkan kebangkrutan akibat perang yang melelahkan di Afganistan dan Iraq.
Di lain pihak, negeri Persia itu, juga terus meningkatkan kemampuan pertahanannya secara berswasembada dengan memproduksi sejumlah senjata canggih konvensional untuk menghadapi apa yang disebutnya ancaman luar yang ingin menghentikan program nuklir damai yang sedang dikembangkannya. Kemampuan Iran meningkatkan kemampuan pertahanannya dengan produksi senjata canggih dalam negeri dan bantuan Rusia membuat Barat berpikir panjang untuk melakukan aksi militer.
Tekanan paling kuat yang dijatuhkan masih sebatas embargo ekonomi dan perdagangan yang ternyata cukup berdampak terhadap negeri Mullah itu terutama di kalangan rakyat menengah bawah. Presiden yang baru terpilih, Hassan Rouhani nampaknya merasakan dampak tersebut sehingga berusaha untuk menemukan titik temu dengan kelompok 5+1 agar embargo dapat diringankan.
Terlepas dari banyaknya kepentingan pihak-pihak tertentu di balik persetujuan tersebut, yang jelas solusi damai merupakan harapan bangsa-bangsa kawasan yang saat ini masih bergelut dengan perang dan ketegangan sana-sini sebagai dampak dari Arab Spring (Musim Semi Arab). Kesepakatan yang tercapai tanpa mengikutsertakan sejumlah negara Arab penentu dikawasan, dinilai sebagian pihak sebagai langkah awal Iran menuju normalisasi dengan Barat untuk tujuan strategis ke depan.
“Kemenangan“
Dugaan tersebut boleh-boleh saja begitu pula dengan negara-negara tetangga Iran terutama negara-negara Arab di Teluk juga sah-sah saja bila merasa khawatir terhadap kemungkinan negeri Mullah itu memanfaatkan kesepakatan tersebut untuk memperluas “hegemoni“nya di kawasan. Krisis Suriah yang telah berlangsung tiga tahun itu paling tidak sebagai bukti kekuatan/kemampuan negeri Persia itu menghadapi negara-negara Arab.
Rakyat Iran pun menyambut kesepakatan tersebut dengan penuh kegembiraan meskipun syarat-syarat yang ditentukan 5+1, apabila dalam enam bulan kedepan tidak ada perubahan sikap, secara praktis menutup jalan menuju ambisi negara mereka dapat membuat senjata nuklir.
Seperti diketahui, Iran sepakat akan menurunkan kualitas pengayaan uranium dan plutoniumnya serta akan mengizinkan pemeriksaan oleh badan-badan internasional tentang pelaksanaan kesepakatan itu.
Para petinggi negeri ini juga menyebut kesepakatan tersebut sebagai “kemenangan” bangsa Iran karena masyarakat internasional mengakui secara resmi hak Iran memperoleh teknologi nuklir untuk tujuan damai. Kepala Organisasi Energi Atom Iran (AEOI), Ali Akbar Salehi misalnya menyebut kesepakatan tersebut sebagai “keberhasilan besar” bagi negerinya sembari menyampaikan selamat kepada pemimpin Iran, Ayatollah Ali Khamenei dan bangsa Iran atas kesepakatan dan menggambarkannya sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi masa depan negara.
Sedangkan, Presiden Iran Hassan Rouhani menyambut perjanjian itu, yang dinilainya akan “membuka cakrawala baru”, dan pada waktu yang bersamaan mempertahankan hak Iran untuk memperkaya uranium. Sementara Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei menyebut perjanjian itu sebagai dasar untuk mencapai kemajuan yang lebih besar lagi bagi bangsa Iran.
Menteri Luar Negeri Iran, Javad Zarif, mengatakan, perjanjian sementara itu akan mengakhiri “krisis yang tidak perlu” antara negaranya dengan masyarakat internasional.
Kesepakatan ini akan memberikan peluang bagi Iran untuk mengakses devisa antara 4,2 hingga 7 milyar dollar AS sebagai bagian dari kesepakatan itu, disamping jaminan tidak akan ada sanksi baru.
Melihat sambutan hangat para petinggi Iran tersebut, sejumlah pemerhati kawasan melihat bahwa kesepakatan itu bagian dari strategi politis jangka panjang mereka yang dimulai dengan penutupan lembaran lama mantan Presiden Ahmadi Nejad yang dikenal konfrontatif dengan Barat dan sering mengeluarkan pernyataan kontroversial. Penentu-penentu kebijakan mulai dari Pemimpin Spiritual Tertinggi, Garda Revolusi dan lembaga militer sepakat untuk mencalonkan Presiden Rouhani yang dapat mengubah citra Iran di mata internasional.
Untuk mencapai kesepakatan tersebut, Iran telah memainkan banyak “kartu” yang telah dipersiapkannya sejak beberapa dekade belakangan ini disamping faktor kesalahan AS dan sekutunya yang melakukan perang di Afganistan dan Irak. Iran bertambah leluasa memainkan “kartu-kartu” tersebut dengan absennya penyeimbang kekuatan di kalangan dunia Arab yang hingga saat ini belum mampu menyatukan diri menjadi blok penyeimbang menghadapi bahaya konspirasi luar yang mengancam mereka.
Karena itu tidak aneh bila negara-negara Arab terkemuka, sama sekali dikesampingkan dari kerangka kesepakatan itu karena sibuk dengan urusan lain yang justru semakin melemahkan solidaritas Arab.
Arab Saudi misalnya sibuk dengan urusan kudeta militer di Mesir pasca kejatuhan Presiden terpilih Muhammad Mursy dan Mesir sendiri sibuk dengan upaya pencitraan pemerintahan transisi hasil kudeta militer yang hingga saat ini hanya diakui oleh hanya beberapa negara saja.
Kesibukan sejumlah pemimpin Arab melakukan strategi untuk memobilasi massa memusuhi apa yang mereka sebut kelompok “Islam Politik” dan negara-negara pendukung Islam Politik tersebut terutama Qatar dan Turki semakin memperlebar perpecahan di kalangan dunia Arab. Absennya peran Arab dalam kesepakatan tersebut, oleh sejumlah pengamat dinilai sebagai pendahuluan kembalinya “persekutuan” AS-Iran seperti sediakala pada zaman Shah Iran.
Skenario persekutuan kali ini dengan menggunakan sponsor Rusia yang juga giat mengembalikan pengaruhnya di kawasan sehingga dua negara Arab yang akan menjadi calon korban pertama adalah Libanon dan Suriah yang akan mengalami nasib seperti Irak. “Selama dunia Arab tidak mampu berperan menciptakan strategi regional, skenario semacam ini bisa saja terjadi,” papar sejumlah pengamat Arab.
Polisi Teluk
Perlu juga diingat bahwa target utama Iran sejak zaman Shah hingga sekarang adalah menjadi “polisi Teluk”, artinya negeri Persia ini ingin menjadi negara penentu yang mengatur keamanan kawasan sesuai kepentingannya. Presiden baru, Hassan Rouhani dan timnya nampaknya lebih cerdik ketimbang pendahulunya, Ahmedi Nejad untuk mewujudkan target tersebut.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Dengan demikian Presiden Rouhani dapat menyampaikan keinginan Iran kepada Barat sehingga Ayatullah Khomenei menyetujui langkah pemerintahannya yang sukses mencapai kesepakatan tersebut dan mengingatkan agar Iran terus mengupayakan “langkah-langkah cerdik“ serupa. “Sudah tentu (kebijakan) ini sebagai “taqiyah politik“ yang tidak diterapkan sebelumnya oleh Nejad,“ papar Tareq Hamid, seorang analis Arab, Kamis (28/11/2013).
Menurut salah satu analis Arab itu, hampir dipastikan bahwa kesepakatan enam bulan ini akan dapat diperpanjang untuk bulan-bulan berikutnya bahkan lebih panjang dari yang diperkirakan tanpa mencapai kesepakatan riil.
“Jadi Iran dapat memanfaatkan pencabutan embargo tersebut untuk mewujudkan impian bangsa Persia memiliki senjata kimia dibawah kealpaan AS sebagaimana halnya kejadian di India dan Pakistan sebelumnya,“ tegasnya lagi.
Bila demikian kesudahnnya, bisa jadi Iran dapat memanfaatkan kesepakatan Jenewa-3 itu sebagai pintu baru untuk memperkuat posisinya di kawasan dan semakin diperhitungkan oleh negara-negara besar ke depannya. Itu berarti, negeri Persia itu akan menjadi bagian menentukan dalam setiap penyelesaian konflik atau masalah-masalah regional lainnya.
Pelonggaran embargo akan menambah kemampuan finansial dan kekuatan Iran yang berpengaruh pula bagi kekuatan sekutu-sekutunya di kawasan. Sehingga logis kiranya bila hal ini akan mendorong negara-negara Arab terutama di kawasan Teluk untuk saling konsolidasi guna mendukung sekutu-sekutunya pula menghadapi eskalasi pengaruh negeri Persia tersebut.
Kesepakatan Jenewa-3 dan krisis berdarah yang masih berlangsung di Suriah akhirnya dikhawatirkan oleh banyak pihak di kawasan tersebut, akan menjelmakan poros baru di kawasan berdasarkan sektarianisme yakni poros Syiah dibawah pimpinan Iran dengan sekutunya, Suriah, Hizbullah dan Iraq.
Bila demikian halnya dikhawatirkan bukan saja akan menciptakan “perang dingin“ di kalangan poros-poros tersebut tapi sebagai sinyal bahwa krisis Suriah akan berlangsung lama yang sulit diatasi baik lewat penyelesaian militer maupun politik. Ketegangan di Suriah tersebut juga dikhawatirkan dapat berpindah ke kawasan Teluk terutama ke Bahrain sebagai titik awal konflik sektarian di Teluk.
Penjelmaan poros-poros baru berdasarkan sektarianisme yang sejatinya tidak dikehendaki oleh bangsa-bangsa kawasan itu bila benar-benar terjadi hanya akan merugikan bangsa-bangsa tersebut dan menguntungkan negara-negara besar yang memiliki agenda tersendiri. Karenanya kekhawatiran posisi Iran yang bertambah kuat pasca Jenewa-3 itu diharapkan tidak meluas menjadi terciptanya poros-poros baru, sebab dapat dimanfaatkan negara-negara besar untuk melakukan kebijakan memecah-belah yang dapat menghambat pembangunan regional. 25 Muharram 1435 H.*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman