Oleh: Musthafa Luthfi
MENJELANG Pilpres pertama sejak rezim Hosni Mubarak tumbang, Mesir akhirnya untuk pertama kali sejak kejatuhan Mubarak mengeluarkan “taringnya“ sebagai salah satu negeri besar dan penentu di kawasan Timur Tengah (Timteng). Kali ini, taring negeri Piaramida itu tepat sasaran karena ditunjukkan ke Israel, musuh bebuyutan bangsa Arab dan Muslim yang sempat menjadi sekutunya selama masa kekuasaan rezim lama.
Unjuk taring yang dimaksud disini adalah keputusan berani untuk menghentikan ekspor gas dengan harga super murah ke Israel terhitung sejak Ahad lalu (22/04/2012) yang menimbulkan histeria di kalangan rakyat negeri Zionis itu. Israel selama ini mengandalkan 40 persen kebutuhan gasnya dari Mesir yang merupakan bagian dari persetujuan damai Camp David 1979.
Keputusan Mesir itu diprediksi menyebakan Israel bakal mengalami krisis energi serius sehingga banyak pejabat dan tokoh negeri Zionis itu yang menentang keras pembatalan itu. Menteri Keuangan Israel, Yuval Steinitz misalnya menyatakan sangat menyayangkan pembatalan tersebut dan menyebutkan langkah Cairo itu dapat menyebabkan kekurangan energi serius di seluruh negerinya.
“Ini adalah preseden berbahaya yang mengurangi semangat perjanjian perdamaian,” kata Steiniz merujuk kepada kesepakatan Camp David. Sementara pemimpin oposisi, Shaul Mofaz juga menentang pembatalan tersebut dan menyebutnya sebagai tingkat rendah yang muncul lagi dalam hubungan antara kedua negara dan jelas melanggar perjanjian damai.
Sementara Menlu Israel, Avigdor Liberman yang dikenal sering mengancam Mesir itu hanya cukup menyatakan bahwa langkah itu sebagai indikasi tidak baik. Sikap melunak itu sejalan dengan respon PM, Benjamin Netanyahu yang lebih memilih “menelan ludah“ daripada menanggapi keras keputusan tersebut sebab ia mafhum bahwa Mesir memang telah berubah.
Berbagai tanggapan dari pejabat dan petinggi lainnya terhadap langkah Mesir menyetop ekspor gas jangka panjang ke negeri Yahudi itu, adalah sebagai bukti kekhawatiran mereka atas kemungkinan krisis energi serius. Namun lebih mengkhawatirkan lagi adalah jika langkah ini sebagai indikasi nyata bahwa Mesir memang sudah benar-benar berubah pasca keberhasilan revolusi bulan Februari 2011 lalu.
Paling tidak rakyat Israel telah dibuat ketakutan dengan unjuk taring tersebut sebagai indikasi bahwa Mesir telah keluar dari puing-puing keterpurukan. Negeri itu tidak mungkin lagi menerima dikte Israel bahkan AS sebagaimana yang dilakukan oleh bekas rezim Mubarak, namun akan melakukan perlakuan yang sama atas perlakukan Israel dan lebih mengedepankan tegaknya kedaulatan nasionalnya.
Untuk diketahui, kesepakatan ekspor gas pada 2005 mengharuskan Mesir memasok gas ke Israel sesuai salah satu pasal utama dari perjanjian perdamaian Camp David pada 1979 silam yang disponsori kedua pihak. Sejalan dengan kesepakatan ekspor senilai 2,5 miliar dolar, Israel menerima sekitar 40 persen dari pasokan gas Mesir dengan harga sangat murah.
Diantara dampak penghentian ekspor Mesir itu adalah APBN negeri Zionis itu terbebani sekitar 30 milyar per tahun disamping harus merogok kocek lebih dalam guna mengubah strategi militernya akibat perubahan di Mesir. Memang pernyataan Menlu Liberman sebelumnya bahwa Mesir lebih berbahaya dari Iran adalah pada tempatnya sebab Mesir lah selama ini yang memimpin beberapa kali peperangan Arab-Israel sebelum persetujuan Camp David tercapai.
Terlepas keputusan negeri Lembah Nil itu bersifat politis atau semata-mata urusan perdagangan yang tidak fair, yang jelas keputusan berani ini sebagai indikasi adanya perubahan besar di Mesir revolusi terkait penentangan mayoritas rakyat Lembah Nil itu terhadap berbagai bentuk normalisasi termasuk normalisasi di bidang ekonomi perdagangan.
Banyak juga analis yang memprediksikan langkah Cairo tersebut dapat sebagai permulaan dari kemungkinan pembatalan perjanjian Camp David yang telah mengerdilkan peran Mesir selama ini. Atau bagi hemat penulis sendiri, bisa saja keputusan ini sebagai langkah awal untuk memodifikasi perjanjian tersebut yang sejalan dengan kepentingan Mesir selaku negara terbesar di Arab.
Belati
Lain di Mesir lain pula di Sudan yang secara resmi sudah terpecah menjadi dua negara sejak 9 Juli 2011 dengan kemerdekaan Sudan Selatan sesuai Persetujuan Naivasha pada Januari 2005. Sejak minggu pertama April lalu, dua negara terlibat perang perbatasan di wilayah Heglig kaya minyak yang berdasarkan pengakuan internasional masuk wilayah Republik Sudan (Sudan Utara).
Karena itu, Sekjen PBB Ban Ki-moon seperti dilaporkan Jum`at (20/04/2012) menganggap pasukan Sudan Selatan menduduki ladang minyak Heglig secara ilegal dan mendesak selatan agar segera menarik mundur pasukannya agar tidak memicu perang baru.
“Pendudukan Heglig adalah pelanggaran kedaulatan Sudan dan jelas merupakan sebuah tindakan ilegal,” kata Ban.
Namun seperti telah diduga sebelumnya, pemerintah Sudan Selatan tetap bersikeras bahwa Heglig adalah wilayahnya dan tidak akan menggunakan tempat itu sebagai basis untuk menyerang Sudan. Sudan Selatan menyatakan bersedia mundur hanya jika PBB mengirim tim pemantau ke wilayah tersebut yang dianggapnya sebagai dispute zone (daerah sengketa).
Sikap selatan tersebut mengindikasikan ancaman perang yang lebih meluas dan dapat berlangsung lama antara dua negara yang masih belum mampu berdamai itu semenjak keputusan memisahkan diri. Skala pertempuran menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan, yakni terjadi perang besar berskala penuh antara dua negara yang bertikai itu sehingga bukan hanya berdampak terhadap kedua negara akan tetapi negara-negara sekitar terutama Arab lebih khusus lagi Mesir.
Banyak analis Arab melihat bahwa Israel berkepentingan terhadap meluasanya perang dua Sudan tersebut untuk terus memperlemah dunia Arab terlebih lagi Mesir yang bertetangga langsung dengan Sudan. Seperti diketahui, Sudan Selatan memiliki salah satu senjata penting menghadapi Sudan dan Mesir yakni senjata air Sungai Nil yang sejak sekitar tiga tahun belakangan ini sering diungkit oleh negara-negara sumber Nil dengan dukungan Israel dikarenakan jatah air Nil buat Mesir dan Sudan sekitar 88 %.
Peran negeri Zionis seperti itu merupakan strategi yang telah lama dicanangkan sebagaimana yang tertuang dalam sebuah buku karangan penulis India, Rustom Khurshedji Karanjia bertajuk “the Dagger of Israel” (belati Israel) yang ditulisnya pada 1957. Penulis yang dikenal dengan nama R.K. Karanjia itu yang lahir pada 15 September 1912 dan meninggal pada 1 Februari 2008, pernah mewawancarai Jenderal Moshe Dayan, mantan Menhan Israel.
Karanjia pemilik tabloid mingguan Blitz setelah keluar dari the Times of India itu sengaja memberikan judul bukunya belati Israel sebagai ilustrasi bahwa Israel digambarkan sebagai belati dari luar yang selalu diarahkan ke leher dunia Arab. Dan kenyataannya memang demikian, sejak negeri Zionis itu berdiri hingga dewasa ini, “belati“ tersebut masih manjur memecahbelah solidaritas Arab.
Sebagian isi buku yang kata pengantarnya disampaikan oleh mantan Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser itu berasal dari hasil wawancara dengan Dayan. Diantara isi wawancara itu, seperti dikutip analis Arab, Nawaf el-Zrou adalah dokumen rahasia tentang strategi merobohkan dunia Arab dari dalam diantaranya dengan membentuk negara baru dalam tubuh dunia Arab.
Karena itu tidak berlebihan bila belum cukup sebulan sejak kemerdekaan Sudan Selatan diproklamirkan, kedua negara (Israel-Sudan Selatan) telah mengumumkan pembukaan hubungan diplomatik. Kerjasama kedua negara yang sebelumnya dibawah tanah (rahasia) sekarang berlangsung di permukaan termasuk kerjasama militer untuk memperkuat pertahanan pecahan Sudan itu menghadapi negara induknya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Aksi provokatif yang dilakukan Sudan Selatan menduduki Heglig yang menyebabkan perang perbatasan saat ini menurut Khamis Al-Toubi, seorang analis Arab, tidaklah berdiri sendiri, namun mendapat lampu hijau dari negeri Zionis itu.
“Bila tujuan pemisahan selatan hanya sebatas memberikan kebebasan lebis luas bagi warga Kristen di selatan tentunya tidak akan kita saksikan apa yang terjadi saat ini,“ tandasnya.
Mulai meledak
Ibaratnya, menurut Abdul Latief Mahana, analis lainnya, bom-bom waktu yang telah ditaman sejak perjanjian Naivasha pada 2005 itu sudah mulai meledak belum setahun sejak negara selatan dideklarasikan. Berbagai isu pending (belum diputuskan) terutama terkait perbatasan tidak terselesaikan di Naivasha sebab tujuan utamanya adalah menjadikan kesepakatan itu pembuka jalan lebar menuju pemisahan dua Sudan yang dibidani Barat.
Perjanjian Naivasha tujuh tahun silam itu seharusnya bertujuan untuk mengakhiri perang saudata terlama di benoa Afrika. Namun kenyataannya, perjanjian ini juga telah menanam “bom-bom waktu“ dengan membiarkan isu-isu pending yang boleh jadi disengaja oleh negara-negara sponsornya untuk tujuan tertentu di kemudian hari.
Di antara isu pending tersebut adalah penentuan tapal batas, hutang luar negeri, referendum wilayah Abyei kaya minyak, hasil dari penyaluran minyak lewat utara dan masalah kewarganegaraan. Pemisahan selatan sebenarnya telah mengurangi minyak negeri induk di utara sekitar 75 % dan sekitar separo dari 25 % yang dimiliki utara saat ini berada di kawasan Heglig yang sempat diduduki pasukan selatan.
Sebagian analis membaca bahwa serangan selatan atas Heglig sebagai salah satu taktik untuk mendapatkan wilayah Abyei yang juga kaya minyak yang masih dipersengketakan sebagai imbalan bila selatan mengakui nantinya Heglig milik utara. Terlepas dari kebenaran analisa tersebut, yang jelas Sudan bukan hanya menghadapi pasukan selatan di Heglig, akan tetapi sekutu-sekutu selatan yang telah membidaninya hingga terlahir menjadi negara baru.
Paling tidak perang Heglig tersebut telah mulai menyingkap konspirasi sesungguhnya pemisahan dua Sudan sehingga persetujuan Naivasha yang diklaim sebagai upaya menghentikan perang saudara terlama di Afrika hanya sekedar dalih semata. Sebab persetujuan tersebut tidak lebih sebatas gencatan senjata sementara untuk selanjutanya perang besar setiap saat bisa meletus kembali.*/Sana`a, 4 J. Thani 1433 H
Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman