Oleh: Sholih Hasyim
Biasanya, epistemologi diterjemahkan sebagai teori tentang ilmu, memahami ilmu (nadzariyyatul ‘ilm, fahmul ‘ilm). Setiap peradaban memiliki paham tersendiri tentang ilmu, demikian pula Islam. Bagi seorang muslim, epistemologi bukan sekadar teori. Epistemologi Islam adalah bagian dari akidah. Ini sudah dibahas oleh para ulama pada masa dahulu.
Dalam buku ‘Al-‘Aqaid an-Nasafiyah’ misalnya, adalah di antara buku akidah yang menjadi pegangan bagi ahlus-sunnah wal-jamaah. Buku itu sudah membicarakan apa yang hari ini disebut sebagai epistemologi. ‘Haqaaiq al-asy’ya tsabitatun wal-‘ilmu bihaa mutahaqqiqun khilafan li ash-shufastaiyyah’. (Hakikat sesuatu itu adalah tsabit (tetap). Dan pengetahuan kita tentang hakikat tadi adalah benar, berbeda dengan para sophist). Jadi, itu merupakan pembahasan soal epistemologi.
Cara Mendapatkan Ilmu
Adapun cara dan sebab musabab manusia menerima ilmu serta jalan mana saja memperolehnya (asbabul-‘ilm), yang pertama melalui panca indera yang lima (khawasul-khamsah). Dan jalan kedua adalah melalui al-‘aqlus-salim (akal yang sehat). Dan selanjutnya melalui khabar shadiq (berita yang benar). Melalui ketiga jalur inilah manusia bisa menerima ilmu.
Dalam bahasa kontemporer, dikenal sumber empiris (al-haqiqah at-tajribiyyah), sumber rasional (al-haqiqah al-‘aqliyyah), dan sumber otoritas (al-haqiqah al-muthlaqah). Jika kita mendapatkan ilmu dengan cara melihat, berpikir, dan menerima berita. Bagaimana Anda tahu bahwa burung gagak itu hitam? Benarkah pelangi itu berwarna-warni? Apakah bisa dipertanggungjawabkan bahwa warna cahaya matahari itu putih? Saya melihatnya sendiri. Melihat itu suatu bukti empiris yang paling dasar.
Dalam Al-Quran disebutkan, ???????? ?????????? ????? ?????????????? ???????? ???? ??????? ????? ???????? ????????? ?????? ??? ???????? ?????? ?????? ??????? ????? ?????? ??????? ???????
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An-Nahl (16) : 78).
???????? ????????? ??? ????????? ????????? ?????? ??????? ??????????? ????? ???? ?????? ??????????? ????? ?????????? ??? ??????? ???????????? ??????? ??????? ?????????? ??????? ??? ??????????
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga, yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj (22) : 46).
Nah, itu yang disebut tiga sumber memperoleh ilmu (asbabul ‘ilm). Pertama, sumber inderawi. Kedua, sumber ‘aqli. Ketiga, sumber yang bersifat khabari (berita).
Penglihatan adalah lambang dari panca inderawi dan pendengaran adalah lambang dari khabar shadiq, dan akal fikiran adalah lambang dari akal yang sehat. Jalan-jalan inilah yang bisa dijadikan mediator (wasilah) untuk mendapatkan ilmu.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-Araf (7) : 179).
Para ulama mengatakan bahwa hanya ada tiga saluran ilmu, karena mereka paham ada epistemologi lain selain itu. Sebab ada paham lain yang mengatakan, manusia itu tidak bisa tahu dan tidak bisa sampai pada pengetahuan (kebenaran). Jika premis awal yang dibangun bahwa manusia tidak bisa tahu (ma’rifat), maka pengetahuan, peradaban, dan agama tidak ada.
Paham ilmu seperti ini disebut sophisme atau sufasta’iyyah dan ini sangat ditolak oleh Islam. Inilah yang sering dipelajari dalam ilmu-ilmu filsafat yang keliru itu. Katanya, ilmu yang paling tinggi itu jika tidak tahu. Filsafat seperti ini disebut filsafat agnostic atau la adriyah. Makin tinggi ilmu seseorang, makin dia tidak tahu. Dan inilah puncak ilmu, katanya.
Ada pula yang berpendapat, kebenaran itu ada tetapi relatif dan nisbi. Tergatung orang dan zamannya. Kebenaran itu tidak dapat di-share. Betul, menurut Anda, tetapi belum tentu menurut saya. Betul pada masa dahulu, tetapi belum tentu betul untuk zaman sekarang. Atau betul di sebuah tempat, tetapi tidak betul di tempat lain.
Ataupun, betul bagi lelaki tetapi tidak betul bagi perempuan. Akhirnya, secara filosofis, mereka mengatakan, karena agama itu dibawa oleh para Nabi yang laki-laki, maka mereka tidak paham perempuan. Endingnya, muncul istilah agama yang bias gender karena itu mereka menganggap perlu penafsiran perempuan.
Mereka pada akhirnya masuk pada aliran kaum sophist, jenis aliran al-‘Indiyyah. Aliran-aliran seperti ini seolah-olah mengatakan, apa yang diketahui dan dipahami perempuan tidak bisa diketahui laki-laki. Sebaliknya, apa yang diketahui dan dipahami laki-laki, tidak bisa diketahui dan dipahami perempuan. Juga, apa yang diketahui zaman dahulu, sudah tidak benar di zaman sekarang. Akidah seperti ini sangat ditolak dalam ajaran Islam, khilafan li ash-shufastaiyyah (berbeda pendapat kita (Islam), bertentangan dengan kaum sophist).
Yang dikategorikan kaum sophist, terdiri dari tiga golongan. Pertama, kelompok al-la adriyyah (agnostik). Mereka selalu mengatakan tidak tahu dan ragu-ragu (skeptis) tentang keberadaan sesuatu dan meragukan sesuatu. Kedua, al-‘Indiyyah. Mereka mengatakan bahwa ilmu itu bersifat subyektif. Mereka menerima kemungkinan ilmu pengetahuan dan kebenaran tetapi menolak bahwa ilmu bisa dikomunikasikan. Baginya, ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah subyektif (‘indi, yaitu menurut saya). Ketiga, al-‘Inadiyyah (kelompok keras kepala). Mereka menafikan realitas dan menganggapnya sebagai fantasi. Kelompok al-‘Indiyyah ini disebut sebagai kaum nihilis.
Solusinya kita mesti memperkenalkan kembali para ulama kita yang mu’tabar (tepat) kepada kaum muslimin. Para sarjana muslim zaman silam seperti ‘Abdul Qahir Al-Baghdadi (wafat 1037), Abu Umar An-Nasafi (wafat 1142), Sa’duddin At-Taftazani (wafat 1387), dan Nuruddin Ar-Raniri (wafat 1658) hingga yang kontemporer seperti Syed Muhammad Naquib Al-Attas (lahir 1931), mengajarkan epistemology Islam secara sistematis. Kita mesti meyakinkan kembali bahwa para ulama’lah pewaris Nabi yang memimpin kita ke jalan yang lurus.
Memang, Rasulullah Saw memberi peninggalan Al-Quran dan As-Sunnah, tetapi beliau juga memberikan warisan, yaitu para ulama. Kalau keyakinan kita kepada para ulama sudah pudar, maka keyakinan kita terhadap Al-Quran dan As-Sunnah juga akan pudar. Kan, untuk memahami Al-Quran ada ilmunya, dan untuk memahami As-Sunnah juga ada ilmunya. Tanpa ilmu-ilmu itu –yang sudah dikembangkan oleh para ulama- tidak mungkin kita akan bisa memahami Al-Quran dan As-Sunnah dengan betul.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Ada ulama tafsir, ulama qiraah, ulama hadits, ulama fiqh, ulama ushul fiqh, ulama kalam, ulama bahasa Arab, yang bisa membantu umat memahami Al-Quran dan As-Sunnah dengan tepat. Kalau kita menolak ulama-ulama itu, dan kononnya kita ingin langsung mengambil dari Al-Quran dan As-Sunnah, kita menghadapi resiko reinventing a new wheel (menciptakan kembali roda baru) yang tidak perlu dan menghabiskan waktu. Yang harus kita lakukan sekarang adalah melanjutkan dan meneruskan apa yang diwariskan para ulama kepada kita. Ini juga bagian dari epistemologi Islam.
Seorang muslim wajib mengetahui ilmu yang fardhu ‘ain (ilmu-ilmu agama). Sebab dia beragama Islam. Jika ia tidak tahu, maka agamanya kurang sempurna. Ilmu-ilmu itu wajib diketahui, karena dia sudah menyatakan diri sebagai muslim/ah. Harus ada yang diketahui dan dipahami secara mendalam tentang keislamannya. Dan selalu ditingkatkan mutunya. Ilmu ini sangat mendasar karena menyangkut tentang ghoyah (puncak tujuan hidup)
Sedangkan ilmu-ilmu yang lain, adalah ilmu yang fardhu kifayah untuk menyelamatkan umat manusia. Ilmu ini berkaitan dengan wasilatul hayah (sarana kehidupan). Selama ini kita hanya mengetahui satu saja. Yang fardhu ‘ain saja, atau kebalikannya. Atau yang umum saja. Padahal, antara wasilah dan ghoyah tidak bisa dipisah-pisahkan, integral. Bahkan, bisa terjadi sarana dihukumi sebagai ghoyah (tujuan) tergantung kebutuhan.
“Dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula) karena Allah akan memberi balasan kepada mereka yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah (9) : 121-122).
Karena kita terjebak pada sikap dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum, akhirnya kita termarginalkan dalam percaturan global, tidak bisa berperan seperti dahulu dalam kepemimpinan ilmu. Berada di pinggir dalam memberikan konstribusi pembangunan peradaban dunia. [bersambung../hidayatullah.com]
Kudus, September 2009