Sambungan artikel PERTAMA
Tapi di mata rakyat Indonesia tampak suatu keanehan, kataBung Hatta, “Bahwa dalam segala matjam pendjadjahan orang Tionghoa selalu duduk di atas, ekonominja selalu baik.”
Pembawaannya sebagai pedagang menyebabkan perhatian orang Tionghoa pada politik kurang sekali. Ada memang beberapa orang yang ikut politik dengan duduk di dalam Volksraad (Dewan Rakyat). Ada juga yang ikut dalam pergerakan nasional Indonesia, bahkan sampai meringkuk di penjara dan dibuang ke Boven Digul. “Tetapi pada umumnja gerakan mereka tidak kentara,” ujar Bung Hatta.
Baca: Komunitas Muslim Tionghoa Nobatkan Habib Rizieq Man of the Year
Ketika kedaulatan sudah berada di tangan Indonesia, sebagian orang Tionghoa menjadi WNI, dan sebagian lainnya memilih kewarganegaraan Tiongkok. Tapi dalam pergaulan sehari-hari, tidak begitu kelihatan di mata rakyat mana yang sini dan mana yang sana. “Jang kentara, “kata Bung Hatta, “tjuma kedudukan ekonomi golongan Tionghoa lebih kuat dari sediakala.”
Penjajahan Belanda yang menimbulkan pertentangan kelas dan sejalan dengan perbedaan ras inilah,yang menurut Bung Hattamengakibatkan WNI keturunan Tionghoa hidup menyendiri, terpisah dari WNI lainnya.
Hadirkan Keadilan Ekonomi!
Dua golongan rakyat yang berabad-abad terpisah dalam keadaan, tujuan hidup dan tujuan politiknya, kata Bung Hatta, tidak dapat batinnya disatukan dengan Undang-Undang saja. Kita boleh menyamakan status WNI keturunan Tionghoa dalam hukum, tapi rasa saling curiga dalam hati rakyat tidak sirna dengan itu.
Rakyat Indonsia aslimenganggap, merekalah yang berjuang dan berkorban untuk kemerdekaan Indonesia. Setelah kemerdekaan direbut, tentu mereka ingin mendapatkan kedudukan yang baik dan juga punya kesempatan untuk memperbaiki nasibnya yang jelek selama ini. Tapi dalam upaya menggapai cita-citanya itu, mereka berhadapan dengan golongan Tionghoa yang sangat kuat kedudukan ekonominya, giat bekerja, sangat mahir dalam percaturan dagang dan siap menggunakan setiap kesempatan untuk mengembangkan perusahaannya.
Pada umumnya,mereka tidak bisa membedakan mana Tionghoa totok dan mana WNI keturunan Tionghoa. Selama bergerak di bidang ekonomi, keduanya dianggap bangsa Tionghoa. “Jang dipandang oleh rakjat Indonesia asli ialah bahwa lapangan ekonomi dikuasai oleh golongan Tionghoa. Sebab itu, ia menuntut, supaja pemerintah Indonesia memperlindungi ekonomi nasional dan memberi kesempatan kepada pengusaha nasional memperoleh kedudukan jang lajak dalam perekonomian masjarakat,” terang Bung Hatta.
Masalah ini menurutnya bisa diatasi dengan politik perekonomian yang tegas dengan menaikkan ekonomi rakyat yang lemah ketingkat golongan maju. “Dengan dasar-dasar jang berlaku di dalam kapitalisme masalah ini tidak dapat diselesaikan,” tegasnya.
Dalam psikologi seperti itu, lanjut Bung Hatta, bisa dimengerti mengapa WNI asli –dengan mengakui persamaan hak umumnya– sangat menentang persamaan hak atas tanah dengan WNI keturunan Tionghoa.
Bung Hatta menjelaskan, perlindungan hak tanah bangsa Indonesia bersendi kepada hukum adat, teristimewa desa, yang sanksinya ada di dalam Undang-Undang agrarian De Waal pada tahun 1870. Sementara orang Tionghoa –karena status politiknya terpisah dengan orang Indonesia– tidak ikut dalam hukum adat. Sehingga mereka tidak boleh mempunyai hak milik tanah, kecuali tanah eigendom (hak milik mutlak) di kota-kota.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Dengan tidak ada peraturan (hukum adat –Red) itu, tanah-tanah Indonesia akan djatuh dalam waktu jang singkat ke tangan kaum kapitalis besar. Dengan itu timbullah milik tanah besar, jang pada hakikatnja asing bagi Indonesia, dan dengan itu terdjadi kesengsaraan sosial, jang akan menjadi kaju api bagi revolusi sosial,” kata Bung Hatta mengingatkan.
Di sinilah, ujarnya, terletak bagi pasal 25 ayat 2 Undang-Undang Dasar yang menegaskan, “Perbedaan dalam kebutuhan masjarakat dan kebutuhan hukum golongan rakjat akan diperhatikan.”
Dengan menyimak pikiran Bung Hatta barusan, dapat disimpulkan bahwa inti persoalan WNI asli dengan WNI keturunan Tionghoa bukanlah diskriminasi ras/rasis atau SARA, melainkan ketimpangan ekonomi.
Karena itu, sudah seyogianya golongan yang ekonominya kuat toleran terhadap golongan yang ekonominya lemah.Dan pemerintah juga harus mengoreksi diri. Adanya ketimpangan ekonomi sekarang ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam tata kelola ekonomi. Segeralah hadirkan keadilan ekonomi bagi seluruhrakyatmu! Karena itu kewajiban konstitusional! Agarkonflik sosial tidak berkembang subur. Supaya akibat-akibat dari ganjalan sejarah dan psikologi kita tadi dapat lekas hilang. Dengan
begitu, baik WNI asli maupun keturunan Tionghoa, benar-benar merasakan persamaan dalam hak dan kewajiban, kedamaian, dan kemakmuran.Karena kita semuaadalah saudara sebangsa!
Penulis adalah pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)