Sambungan artikel PERTAMA
Oleh: Muhammad Cheng Ho
Jawaban dari Ibnu Sa’ud pun akhirnya datang. Lewat surat, beliau menegaskan bahwa perbaikan di Hijaz memang merupakan kewajiban kerajaan. Terkait ibadah haji, beliau akan memperbaiki pelayanan haji selama tidak melanggar aturan Islam. Soal madzhab, beliau sependapat bahwa pada umumnya umat Islam bebas menjalankan agamanya, kecuali, “Urusan yang Tuhan Allah mengharamkan dan tiada terdapat sesuatu dalil dari kitabnya Tuhan Allah dan tiada Sunnah Rasulullah s.a.w. dan tidak ada dalam madzhabnya orang dulu-dulu yang soleh-soleh, dan tidak ada dari sabda salah satu Imam empat.” [Majalah Oetoesan Nahdlotoel ‘Oelama’ 1 Rajab 1347 H/4 Desember 1928 Tahun 1 No.1 hlm. 14]
Mengenai keyakinannya, Ibnu Sa’ud menyatakan bahwa yang ia inginkan ialah apa yang tertera dalam Al-Qur’an dan hadits. Dan beliau hanya mengikuti orang-orang dulu yang soleh, yaitu para sahabat dan diakhiri oleh imam yang empat. “Adapun sesungguhnya semua barang dan kemauan kami, itulah mengajak kepada barang yang telah datang di dalam kitabnya Tuhan Allah dan haditsnya Rasulullah s.a.w. Itulah yang kami pakai agama terhadap kepada Tuhan Allah, dan dari fadholnya Tuhan Allah, kami menjalani di atas perjalanannya orang yang dulu-dulu yang soleh-soleh, permulaan orang yang dulu-dulu ialah sahabatnya Rasulullah s.a.w dan penghabisan orang yang dulu-dulu yaitu imam empat.” [Majalah Oetoesan Nahdlotoel ‘Oelama’ 1 Rajab 1347 H/4 Desember 1928 Tahun 1 No.1 hlm. 14]
Surat itu ditutup raja dengan sebuah do’a, “Kami memohon kepada Tuhan Allah Yang Esa, mudah-mudahan semua mendapat pertolongan pada jalan yang baik dan benar dan baiknya hari kemudian. Hal yang demikian itulah barang yang wajib menerangkannya, mudah-mudahan Tuhan Allah melindungi atas kamu sekalian. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”
Kembali ke kongres Al-Islam. Ketika Tjokroaminoto dan KH. Mas Mansur pulang dari kongres di Mekkah, diadakanlah kongres Al Islam keenam pada bulan September 1926 di Surabaya, untuk membicarakan hasil yang mereka dapatkan selama di sana. Sejak saat itu Centraal Comite Chilafat dibubarkan dan diganti Muktamar Alam Islam Hindi Syarqiyah (MAIHS) sebagai cabang Muktamar Alam Islam di Mekkah, yang dipimpin oleh Tjokroaminoto. [Majalah Pandji Islam 5 September 1938 No.25 Tahun 5 hlm.2746]
Sarekat Islam berusaha lebih maju dalam mempelopori gerakan Islam. Pada tahun 1927, Sarekat Islam membentuk Majelis Ulama yang dimaksudkan untuk membimbing kaum muslimin dalam menghadapi masalah-masalah yang diributkan. Majelis Ulama ini kemudian mensahkan terjemahan Tjokroaminoto atas The Holy Qur’an karangan Muhammad Ali.
Terjemahan ini diprotes oleh Muhammadiyah dan kelompok-kelompok Islam lain karena perbedaan masalah teologi dengan organisasi Muhammad Ali, yakni Ahmadiyah Lahore. Tjokroaminoto menjelaskan maksud menerjemahkan karangan Muhammad Ali ini sudah disetujui oleh Tokoh Muhammadiyah H.Fakhroddin dan diketahui Tokoh Muhammadiyah lainnya, KH. Mas Mansur. Tjokroaminoto menuduh Muhammadiyah dengan sengaja menghalangi penerbitan terjemahannya agar tafsir Al-Qur’an Muhammadiyah tak kehilangan pasar. Pada bulan September 1928, Majelis Ulama ini akhirnya mengubah bentuk menjadi sebuah departemen dari Partai Sarekat Islam saja.
Seperti diketahui, Ahmadiyah Lahore, melalui Mirza Wali Ahmad Baig diperkirakan menjejakkan kaki di Yogjakarta pada tahun 1924. Nama Ahmadiyah kala itu masih samar. Belum diketahui segala tindak tanduknya. Yang diketahui hanyalah Ahmadiyah yang menawarkan semangat yang hampir sama dengan semangat reformasi Islam yang sedang melanda tanah air. Ahmadiyah juga saat itu dikenal sebagai penentang gigih kristenisasi. Sehingga Ahmadiyah, mulanya diterima dengan baik oleh para aktivis Islam dari kalangan modernis, terutama Muhammadiyah. [Beggy Rizkiansyah, Jejak Tafsir Qur’an di Indonesia, http://jejakislam.net/?p=374 diakses pada Kamis 28 Januari 2016]
Di kongres Al-Islam kedelapan tahun 1927 di Malang, Muhammadiyah dan NU bersatu menentang ajaran-ajaran Ahmadiyah dan menolak Al-Qur’an terjemahan Indonesia ala Tjokroaminoto yang didasarkan pada naskah Inggris Ahmadiyah. [Harry J. Benda, Ibid, hlm.78]
Diduga Tjokroaminoto membaca dan tertarik pada Holy Quran hingga berupaya menerjemahkan tafsir tersebut lewat perkenalannya dengan Mirza Wali Ahmad Baig. Terlebih usaha penerjemahan ini mendapatkan persetujuan pribadi dari H. Fakhroddin, seorang tokoh Muhammadiyah dan Sarekat Islam.
Hubungan Sarekat Islam dan Muhammadiyah selanjutnya jadi kian memburuk. Pada tahun 1929, Sarekat Islam mengenakan sanksi disiplin umum kepada Muhammadiyah karena dianggap telah bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Hal ini tercermin dari sekolah-sekolah Muhammadiyah yang menerima subsidi pemerintah. Sarekat Islam menyebut sikap Muhammadiyah tidak nasionalis. Bahkan Tokoh Sarekat Islam Sukiman menilai Muhammadiyah sebagai organisasi anti politik bertopeng.
Sanksi disiplin itu mengharuskan anggota Sarekat Islam yang berada di Muhammadiyah memilih: Muhammadiyah atau Sarekat Islam. Resolusi keras Sarekat Islam ini rupanya tak hanya kepada Muhammadiyah, tapi juga organisasi Islam yang lain, salah satunya Persatuan Islam (Persis) yang akan dijelaskan setelah ini. Deliar Noer menyebut masa resolusi Sarekat Islam ini sebagai awal pengasingan Sarekat Islam dari organisasi Islam lain.
Masalah antara Sarekat Islam dan Persis lebih kepada perbedaan pandangan soal furu’. Sarekat Islam memandang perselisihan perkara furu’ yang dibesar-besarkan dapat menimbulkan perpecahan di antara umat Islam. Sedangkan Persis menilai pembicaraan perkara furu’ yang dikesampingkan, menyebabkan kemunduran Islam. Oleh karena itu, Persis menyeru anggota Sarekat Islam:
“Janganlah tuan-tuan biarkan cabang-cabang PSI (Partai Sarekat Islam –pen) mencela, mengeji-ngeji dan memusuhi kaum yang memerangi bid’ah dan membicarakan furu’, karena kejatuhan Islam ialah lantaran orang-orangnya meninggalkan pokok agama dan terganti dengan bid’ah. Adapun perkara yang tuan-tuan namakan furu’ ialah hukum-hukum yang sangat perlu bagi orang-orang yang menjalankan ibadah saban hari.
Kalau dilarang orang membicarakan furu’ berarti melarang orang membicarakan ibadah. Sungguhpun tuan-tuan tidak mementingkan hal-hal ibadah yang mana sebagian dari Islam, sebagaimana tuan mementingkan politik, tetapi hal itu menjadi penting bagi golongan yang merasa wajib menjalankan ibadah, walaupun belum merdeka.
Kalau tuan-tuan biarkan cabang-cabang melarang yang tersebut lantaran mereka merasa tidak perlu kepada furu’, nanti orang lain ada hak melarang orang-orang masuk kumpulan politik dengan alasan , yang demikian itu belum perlu sekarang. Jangan tuan-tuan biarkan orang-orang Islam menjalankan bid’ah, dan jangan salahkan kaum lain memerangi ahli bid’ah, dengan alasan hendak menjaga persatuan. Akan jadi sia-sia pekerjaan tuan-tuan, kalau tuan-tuan lakukan begitu, karena tak dapat tuan-tuan persatukan golongan sunnah dengan golongan bid’ah, walaupun sampai kiamat.”
Bagi Persis, masalah furu’ itu penting dan menentang bid’ah sebagai kewajiban berdasarkan ajaran Islam. Dan itu, tambahnya, tidak akan mengurangi kekuatan Islam dalam bidang politik. Justru kekuatan gerakan politik, menurutnya, hanya dapat diberikan oleh orang-orang anti bid’ah dan bukan oleh orang-orang yang pro bid’ah. Akibatnya, Sarekat Islam menskors banyak anggotanya yang berada di Persis Bandung dan Garut.
Ujian persatuan umat Islam juga datang dari luar. Di Kongres Sarekat Islam bulan April 1929, Sarekat Perempuan Islam Indonesia (SPII) berselisih dengan Persatuan Puteri Indonesia (PPI) soal poligami. PII mengatakan pengaruh poligami sangat buruk. Sedangkan SPII menegaskan Islam tidak mengharuskan poligami, namun membolehkannya. Poligami, lanjutnya, juga baik untuk mencegah pelacuran mengingat banyaknya jumlah perempuan.
Organisasi Aisyiyah juga sependapat dengan SPII.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Ujian lainnya, pemerintah kolonial dibantu kaum adat berusaha melenyapkan hukum Islam di Indonesia. Hal itu tampak di dalam ordonansi tahun 1929-1937. Di ordonansi 1929, kepala adat dalam kewenangannya sebagai pegawai urusan perkawinan, menyiapkan ketentuan-ketentuan hukum bagi prosedur-prosedur yang berhubungan dengan perkawinan Islam.
Di ordonansi 1931, wewenang hakim-hakim agama dalam mengurus perkara warisan dihilangkan. Akibatnya, masalah warisan dialihkan ke mahkamah pribumi reguler dan sejak saat itu, masalah warisan tidak lagi diadili dengan hukum Islam, tapi berdasarkan hukum adat. Celakanya lagi, kaum adat juga meminta status quo (ketetapan) hukum, yang berakibat semua pintu usaha tokoh-tokoh Islam tertutup untuk mengembangkan kehidupan sosial. Berkurangnya kewenangan hukum Islam secara tiba-tiba ini, mendorong tokoh-tokoh Islam mendobrak pintu tersebut.
Di ordonansi 1937, pemerintah kolonial mencoba mengajukan undang-undang yang mewajibkan kaum muslimin mencatatkan pernikahannya dan mengharuskan monogami. [Mujiburrahman, Disertasi Feeling Threatened: Muslim-Christian Realtions in Indonesia’s New Order, Amsterdam University Press:Leiden, 2006, hlm. 158]
Sontak, tokoh-tokoh Islam gencar melayangkan protes. Mereka tidak bisa menerima dan membiarkan ulah pemerintah kolonial yang sudah ikut campur dalam urusan Islam.
Menggalang Persatuan
Setelah kongres Al-Islam berhenti pada 1928-1930 –seolah-olah selama tiga tahun itu, ikatan tali persatuan umat renggang-, Partai Sarekat Islam berganti nama jadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1930, berusaha mengencangkan tali itu dengan mengadakan dua kali Konferensi Komite Al-Islam pada tahun 1931 dan 1932. Namun PSII memerlukan momen khusus untuk membangkitkan partainya di kalangan organisasi-organisasi Islam lain dan dunia pergerakan. [Safrizal Rambe, Sarekat Islam, Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-1942,Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia:Jakarta, 2008, hlm.278].* (bersambung)
Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)