Sambungan dari artikel KEDUA
Oleh: Susiyanto
Otoritas Vatikan
KEHDIRAN Kristen paling awal, dalam hal ini Katolik, di nusantara lebih tepatnya dimulai sejak penaklukan dan penjajahan bangsa Portugis pada 1511 terhadap Malaka.[ Drs R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid III, Cetakan III (Kanisius, Yogyakarta, 1973) hlm. 49-50]
Kedatangan Portugis ke wilayah Timur ini dapat dirunut dari semangat “penjelajahan” dunia yang tumbuh di Eropa pasca “penemuan” Amerika oleh Columbus dan Amerigo Vespucci. Semangat penjelajahan yang timbul dari upaya penemuan sumber rempah-rempah dan semangat perang salib di Eropa ini telah menciptakan kondisi persaingan yang mengarah pada konflik antara Spanyol dan Portugis.
Untuk menghindarkan efek lanjutan yang buruk atas konflik ini, Paus Alexander VI tergerak untuk melakukan intervensi. Melalui dokumen tertanggal 4 Mei 1493, Paus Alexander VI membagi dunia menjadi dua bagian. Sebuah garis imajiner ditarik ke kutub utara dan kutub selatan melewati kurang lebih 749 km sebelah Barat Kepulauan Azores atau Kepulauan Tanjung Hindia. Semua daerah yang terletak di sebelah timur garis yang kemudian di sebut “Timur” ditetapkan menjadi milik Portugis untuk dikuasai dan dikristenkan. Sementara semua daerah di sebelah barat garis yang kemudian disebut “Barat” ditetapkan oleh Paus menjadi tugas Spanyol.[ Avro Manhattan, Catholic Imperialism and World Freedom (Watts & Co, London, 1952) hlm. 34-35]
Ketidakpastian garis tersebut menimbulkan kesulitan diantara kedua kerajaan. Mengingat keduanya memiliki ambisi lebih besar, menginginkan lebih banyak dari yang telah ditentukan. Persetujuan baru tercapai dengan Perjanjian Tordesillas (7 Juli 1494). Garis yang ditentukan melalui 2738 km sebelah Barat Kepulauan Hijau untuk penemuan-penemuan pulau yang masih akan dilakukan dan 1850 km bagi semua hasil yang sudah ditemukan oleh Castilla sampai 20 Juni 1494.
Hal ini masih menimbulkan persengketaan ketika Spanyol tidak mau melepaskan Maluku. Paus kemudian memaksa Spanyol menjual Maluku kepada Portugis. Charles V menjual Pulau Maluku ini dengan harga 350.000 crusados dan mempertahankan semua daerah di sebelah barat Bujur Timur 17 derajat (Perjanjian Saragosa).[22] Kesepakatan yang terbentuk, Spanyol menguasai Philipina dan Portugis menguasai Maluku.[A.R. Disney, A History of Portugal and Portuguese Empire from Beginnings to 1807, Vol. I: Portugal (Cambridge University Press, Cambridge, 2009) hlm. 152]
Dengan adanya Portugis di Maluku maka berkembanglah agama Katolik. Pertentangan antara Portugis dan umat Islam mulai terjadi. Konflik semakin memanas ketika Portugis mulai ikut campur dalam pemerintahan.
Sultan Tabariji, raja Ternate, ditangkap oleh Portugis dengan tuduhan palsu dan dibawa ke Goa. Tuduhan ini tidak terbukti hingga 10 tahun kemudian. Maka Portugis hendak mengembalikan sang raja ke tahtanya, namun rakyat menolak dengan alasan sang raja telah menjadi kafir semasa dalam “tawanan” Portugis. Raja ini telah menganut agama Katolik dengan nama Manuel.
Portugis kemudian menggunakan tipu muslihat keji untuk melenyapkan penggantinya, yang bernama Sultan Hairun. Sultan yang terakhir ini dibunuh dengan sangat licik dan kejam. Putra Sultan Hairun, yaitu Sultan Baabullah kemudian memimpin perlawanan jihad terhadap orang-orang Portugis. Tidore dan beberapa pulau lainnya yang pada masa sebelumnya menyimpan konflik akhirnya mau bekerja sama untuk memusnahkan orang kafir. Dalam tahun 1575 benteng Portugis di Ternate jatuh, maka habislah riwayat mereka di Maluku Utara. Portugis masih dapat bertahan di Pulau Hitu (Ambon). Di Pulau ini nyatanya Portugis tidak disukai. Berulangkali rakyat Ambon berusaha mengusir mereka. Akhirnya berkat bantuan armada dari Seram dan Banda, pada tahun 1575, Portugis berhasil diusir juga dari Maluku Utara.[ Drs R. Soekmono, Sejarah Kebudayaan … Jilid III, hlm. 50]
Sebagai konsekuensi penetapan garis demarkasi tanah jajahan di atas, Paus memberikan syarat kepada kedua negara untuk memajukan misi Katholik Roma di tanah jajahan yang telah diserahkan. Pertalian gereja dan negara pada masa itu cukup erat. Raja-raja memiliki kerelaan hati untuk melayani kepentingan gereja.[Dr. H. Berkhof dan Dr. I. H. Enklaar, Sejarah Gereja, Cetakan IX (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1991) hlm. 235]
Spanyol misalnya, digambarkan oleh Dr. H. Embuiru SVD, merupakan negara Katolik dan sekaligus negara misionaris. Di mana ada Spanyol maka disana berdiri Gereja. Salib dan mahkota berjalan beriringan. Gereja dan negara merupakan satu kesatuan.[ Dr. H. Embuiru, S.V.D, Geredja Sepandjang Masa (Nusa Indah, Flores) hlm. 206]
Demikian juga Portugis secara sadar menuju ke Timur untuk berdagang dan menyebarkan agama, termasuk dalam cakupan ini adalah penjajahan.
Dr. W.B. Sidjabat dalam “Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini” (diterbitkan Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1964) berusaha melakukan pembelaan bahwa kristenisasi di Indonesia sama sekali tidak terkait dengan penjajahan Belanda. Ia berargumen dengan perlakuan Jepang pada masa Hideyoshi terhadap Belanda. Hideyoshi telah mengusir orang Portugis dan Spanyol sebab mereka menyebarkan Katolik di Jepang (1595). Sementara Belanda diperkenankan mendirikan loji di Jepang (1600), sebab negara kincir angin ini hanya memiliki motif berdagang, bukan menyebarkan agama Kristen.
Tulisan Sidjabat ini nampak sekali merupakan upaya apologetik untuk menghindar dari stigma bahwa “Kristen merupakan agama penjajah” di Indonesia. “Bukti” yang dikemukakan oleh W.B. Sidjabat ini sebenarnya tidak terlalu benar.
Jadi sudah benar jika pada tahun 1934 umat Katolik merayakan upacara meriah menyambut “400 Tahun Katolisisme di Hindia” yang buku kenangannya diterbitkan dalam nomor yubileum istimewa di Maandblad Sociaal Leven No. 15, nomor rangkap 2/3, Batavia, 1934. Juga tepat bila pada 8-12 Juli 1984 Pertemuan Nasional Umat Katolik Indonesia (PNUKI) merayakan “450 tahun Katolisisme di Indonesia” yang dihadiri 450 orang wakil keuskupan di Indonesia. Perayaan ini didasarkan bahwa pada 1534 terdapat orang Indonesia pertama yang dibaptis oleh pendeta Katolik yang datang satu rombongan dengan Penjajah Portugis.[ Dr. Huub J.W.M. Boelaars, OFM Cap., Indonesianisasi … hlm. 64]
Bagi kalangan misi Kristen, kolonialisme sebenarnya dianggap sebagai sesuatu yang lumrah terjadi. Kewajaran ini didasarkan pada analogi terhadap proses-proses kronologis yang pernah terjadi. Sejarah mencatat bahwa penguasaan suatu suku terhadap suku yang lain dengan dibungkus sebuah ideologi tertentu merupakan kenyataan sejarah yang telah berlangsung berabad-abad. Pandangan ini melahirkan pemikiran bahwa kolonialisme sebuah negara dan penaklukan suatu wilayah negara oleh negara lain adalah sebuah hal biasa. Pandangan ini diungkapkan dalam Ensiklopedia Gereja sebagai berikut :
Kolonisasi suatu suku bangsa atas suku-suku bangsa lain dalam suatu negara yang sama adalah biasa di Asia dan Afrika. Jadi kolonialisme dl bentuk yg sedikit berbeda terdapat pd segala masa dan daerah, dan tetap dibenarkan dgn ideologi-ideologi yg ‘bagus’. (sic!).[ A. Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja, Jilid V Ko – M, Edisi 4 (Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2005) Hal. 10]
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Memisahkan antara perdagangan, penjajahan, dan penyebaran agama dari motif ekspansi Barat di nusantara jelas akan menghasilkan gambaran yang parsial. Keuntungan yang diperoleh, baik dari kegiatan ekonomi maupun penjajahan, sebagian akan masuk ke kas gereja dan digunakan dalam pembiayaan operasionalnya, termasuk penyebaran agama. Gereja mendapatkan bagian sebesar sepuluh persen dari keuntungan tersebut. Inilah yang dalam kekristenan disebut dengan konsep perpuluhan.
Jadi, jika mereka datang bersama “penjajah” dan turut menikmati “kue” hasil dari proses “penjajahan” yang berlangsung, masihkah kita akan beranggapan bahwa missionarisme berjalan terpisah dengan penjajahan?
Penutup
Teori yang menyatakan bahwa Agama Kristen telah datang di Indonesia pada abad VII, tidak didasarkan pada fakta yang solid. Referensi yang digunakan sebagai pendukung argumen tidak kompatibel dan cenderung dipaksakan. Sumber Arab yang digunakan lebih merupakan deskripsi tentang wilayah yang ada di India, bukan di Indonesia. Deskripsi atas kawasan bernama “India” itu pun benar-benar meyakinkan bahwa wilayah yang dimaksud memang benar-benar India secara definitif. Buktinya pun terdapat dalam karya Arab Syaikh Abu Shalih Al-Armini. Hanya saja nampaknya bukti-bukti ini diabaikan dengan sengaja. Mungkin saja karena alasan menguatnya motif dan kepentingan tertentu.
Memaksakan sumber untuk wilayah lain dengan “mengubah”-nya menjadi “Indonesia” jelas akan menghasilkan konklusi yang tidak tepat. Teori kedatangan Kristen abad VII di Indonesia dan membentuk sebuah komunitas di Sumatra Utara hakikatnya merupakan klaim yang tidak berdasar. Catatan akhir yang perlu dikemukakan di sini bahwa kebenaran, dalam kasus seperti ini, tidak bisa dihasilkan dari proses memanipulasi sumber referensi.*
Penulis seorang pengajar dan penulis buku “Strategi Misi Kristen Memisahkan Islam dan Jawa”