Oleh: Beggy Rizkiyansyah
Sambungan dari halaman PERTAMA
BEBERAPA poin yang menimbulkan masalah dalam RUU ini terletak pada pasal 2 ayat 1 yang berbunyi;
“Perkawinan adalah sah bila dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan, dicatat dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut Undang-Undang ini dan/atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang.” (dalam buku
“Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia”, Jan S Aritonang, Jakarta: BPK Gunung Mulia).
Pasal ini ditolak umat Islam Karena keabsahan perkawinan bukan tegantung kepada pegawai pemerintah. Pasal lain yang mengundang penolakan adalah Pasal 11 ayat 2, yang berbunyi: “ Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, Negara asal, tempat asal, agama/kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan.”Pasal ini dipandang sebagai upaya untuk melegalkan pernikahan beda agama dan upaya pemurtadan umat Islam.
Beragam upaya dilakukan umat Islam untuk menyampaikan protes mereka, mulai dari menyurati pemerintah hingga aksi demonstrasi yang merebak hingga ke daerah.Protes mencapai puncaknya pada 27 September 1973, ketika Menteri Agama, Mukti Ali memberikan jawaban atas pemandangan umum fraksi-fraksi di DPR atas RUU tersebut.
Ketika ia hampir selesai berpidato, Sekumpulan mahasiswa Muslim berteriak dan memegang spanduk-spanduk protes bertuliskan ‘RUU Perkawinan adalah konsep kafir’ serta ‘RUU Perkawinan adalah tidak bermoral.’Ada pula terdengar tangisan sambil berkata Allahu Akbar.
Menyadari situasi tak kondusif, Menteri Agama dan banyak anggota parlemen meninggalkan ruangan.Tak lama, sekitar 500 mahasiswa menduduki ruangan tersebut.
Aksi protes terhadap RUU Perkawinan ini juga datang dari para ulama, salah satunya Buya Hamka yang mengecam pengajuan RUU Perkawinan ini.Menurut Buya:
“Inti Demokrasi yang memberi kesempatan luas bagi mayoritas, lalu si mayoritas memberikan peluang bagi minoritas, menjadi terbalk; si minoritas naik ke atas dan mayoritas dipersempit jalannya. Kalau mayoritas sadar akan haknya, lalu ia bersatu, maka diusahakanlah dengan berbagai jalan untuk memecahnya.
Buya Hamka kemudian menjelaskan secara gamblang kelemahan kaum Muslimin saat itu,
“Dalam saat-saat golongan lain melihat kulit luar, kaum Muslimin sedang lemah, dapat dikutak-katikkan, disaat itulah ditonjolkan orang suatu RUU Perkawinan yang pada pokok, azas dan prinsipnya ialah jalan memaksa kaum Muslimin, golongan mayoritas dalam negeri ini, meninggalkan syariat agamanya sendiri tentang perkawinan supaya menggantinya dengan suatu peraturan perundang-undangan lain yang maksudnya menghancurkan azas Islam sama sekali….,,Karena kalau RUU semacam itu hendak digolkan orang di DPR, semata-mata karena mengandalkan kekuatan pungutan suara, kegagah-perkasaan mayoritas, dengan segala kerendahan hati inginlah kami kami memperingatkan, kaum Muslimin tidak akan memberontak, tidak akan melawan, karena mereka terang-terangan lemah. Tetapi demi kesadaran beragama, undang-undang ini tidak akan diterima, tidak akan dijalankan. Malahan ulama-ulama yang merasa dirinya sebagai pewaris nabi-nabi akan mengeluarkan fatwa haram nikah kawin Islam berdasarkan undang-undang tersebut dan hanya kawin berkawin secara Islam. Dan barangsiapa kaum Muslim yang menjalankan undang-undang itu sebagai ganti rugi peraturan syariat Islam tentang perkawinan, berarti mengakui lagi satu peraturan yang lebih baik dari peraturan Allah dan Rasul. Kalau ada pengakuan yang demikian, kafirlah hukumnya.”
Pernyataan Buya Hamka tepat.Posisi kaum Muslimin saat itu memang lemah.Di luar parlemen seringkali mengalami berbagai kesulitan menjalankan dakwah.Di dalam parlemen, Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) hanya menguasai 94dari 460 kursi. Jika diadakan pemungutan suara, jelas pihak Islam yang telah dilebur menjadi PPP akan kalah, mengingat Golkar, ABRI dan sebagian di PDI menyetujui RUU tersebut. Maka PPP terutama dimotori tokoh-tokoh NU, demi menolak RUU ini melakukan berbagai manuver-manuver yang berani di bawah kepemimpinan KH Bisri Syansuri saat itu.
Melihat kerasnya reaksi umat Islam, rezim Soeharto mulai melunak dan bersedia untuk berkompromi.Namun bukan dalam parlemen melainkan di luar parlemen. Sejak Oktober 1973, pemerintah, terutama melalui ABRI mengadakan pembicaraan dengan tokoh-tokoh Islam, PPP. Termasuk dengan KH Bishri Syansuri.
KH Bisri Syansuri adalah besan dari KH Hasyim Asy’ari. Beliau mertua dari KH Wahid Hasyim.Ia dikenal sebagai ulama yang keras dalam hal fiqih.Ia adalah benteng fiqih Nadhlatul Ulama saat itu. Para Jenderal seperti Soemitro, Daryatmo dan Soedomo mau tak mau harus berhadapan dengan KH Bishri Syansuri yang sudah sepuh namun tak mau berkompromi dalam hal fiqih. KH Bishri Syansuri mengumpulkan sembilan ulama besar di Jombang, dan membuat rancangan tandingan. Antara lain yang berhasil dimenangkan dalam kompromi tersebut adalah;
- – Perkawinan bagi orang Muslim harus dilakukan secara keagamaan dan tidak secara sipil.
- – Pernikahan setelah kehamilan diluar nikah tidak diizinkan. Dalam arti anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan.
- – Pertunangan dilarang, karena dapat mendorongke arah perzinahan. Pasal 13 RUU tersebut dihapus.
- – Pasal 11 yang menyebutkan perbedaan agama bukan halangan, dihapuskan.
- – Batas usia yang diperkenankan untuk menikah ditetapkan 16 tahun, bukan 18 tahun bagi wanita dan 19 tahun, bukan 21 tahun bagi pria (pasal 7).
- – NU menolak larangan melangsungkan perkawinan lagi antara suami-istri yang telah bercerai (pasal 10).
Protes Kristen dan Dewan Gereja
Pada akhir November ABRI dan para tokoh Islam telah menemui kesepakatan. Beberapa poin yang ditelurkan dari kompromi tersebut, yaitu; (1) Undang-Undang Perkawinan Islam tidak akan dikurangi atau diganti; (2) Peran Departemen Agama tidak akan dikurangi atau diganti; (3) Pasal dari Rancancang Undang-Undang yang bertentangan dengan hukum Islam akan di hapuskan; (4) Perceraian dan poligami akan diatur untuk menghindari kesewenang-wenangan; (5) Pasal 2 menjadi : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dengan kesepakatan ini pula UU Perkawinan menegaskan kekuasaan peradilan agama dan dengan demikian membuka pintu bagi pembuatan undang-undang khusus peradilan agama yang disahkan 15 tahun kemudian.
Pembahasan selanjutnya selama 16 hari sidang di DPR sebagian besar tidak mengalami hambatan berarti. Golkar dan PDI akhirnya tidak bisa berbuat banyak menolak poin-poin yang sudah disepakati. Tak bisa dipungkiri, kompromi ini merupakan keberhasilan umat Islam melakukan tekanan baik di parlemen maupun diluar parlemen. PPP sebagai partai Islam dibawah karisma dan keteguhan KH Bishri Syansuri sebagai Rais Am Majelis Syuro telah membuka mata pemerintah, betapa umat Islam tidak akan berkompromi dengan penggantian syariat Islam.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Mengetahui kompromi ini, pihak Kristen segera menyampaikan keberatannya.Tanggal 12 Desember 1973, Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI) dan Majelis Waligereja Indonesia (MAWI) menyampaikan ‘Pokok-Pokok Pemikiran BPH DGI dan MAWI’. Melalui keberatan ini mereka menekankan, “…dalam pembahasan RUUP sekarang, kami khawatir adanya kecenderungan bahwa Negara tidak hanya menjamin kebebasan agama, tetapi juga menimbulkan kesan akan mewajibkan pelaksanaan hukum-hukum agama, paling sedikit waktu perkawinan.” (Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, Jan S Aritonang, Jakarta: BPK Gunung Mulia).
Keberatan ini juga dimuat diharian Kompas yang dekat dengan Katolik dan Sinar Harapan, yang dekat dengan Protestan. Meskipun telah berupaya menggalang keberatan melalui organisasi agama dan media massa yang condong kepada mereka, namun upaya-upaya ini cenderung terlambat. RUU Perkawinan hasil kompromi tersebut diterima tanggal 22 Desember 1973 dan kemudian diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 menjadi UU No. 1 tahun 1974.
Tak disangsikan lagi ini adalah keberhasilan dari pihak Islam berhasil melakukan tekanan baik didalam dan luar palemen, meskipun umat Islam saat itu, khususnya di lapangan politik sudah mengalami tekanan-tekanan yang hebat.Kegigihan serta kekuatan aqidah yang menghujam kedalam dada para ulama, membuat mereka menolak mentah-mentah pasal-pasal RUU Perkawinan yang menggadaikan agama tersebut.Namun penting kita meninjau dari situasi saat ini, bahwa polemik dan kontroversi seputar UU Perkawinan hanyalah salah satu pertarungan dari pergulatan lebih besar antara ideologi dan pandangan hidup Islam dengan sekular di Indonesia.*
Penulis adalah pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)