Oleh: Mohammad Ali Athwa
KETIKA ditanya tentang pengalaman melakukan tugas-tugas jurnalistik, dua wartawati dari sebuah stasiun TV swasta menjawab, Papua adalah tempat yang menarik. Daerah mana yang ngangeni (sangat dirindu) dan Anda dan ingin datang kembali ke sana? Dua-duanya kompak menjawab: Papua!
Selain penuh dinamika dengan persoalan-persoalan yang mengemuka, Papua bagai kawasan yang terus diperebutkan. Ujung-uungnya masyarakat Papua jua yang dirugikan.
Dalam kontek yang berbeda, dari sisi ‘ketertarikan’—kendati mungkin ada aspek kesamaan-kesamaan, misalnya tentang kemolekan alamnya, keramahan dan ke’orisinilan’ penduduknya, tentang kesederhanaan, tentang kekayaan hayati/alamnya, tentang kejujuran (saya berharap semoga penyakit korupsi tidak epidemic/endemi pula di Papua)– saya sepakat dan meng’amini’ tanah Papua memang eksotik dan menarik.
Belum lagi kisah tentang keragaman suku, bahasa dan budaya yang semuanya memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri. Bayangkan, ada lebih dari 300 suku di sana! Dan itu paling banyak di antara propinsi-propinsi di Tanah Air.
Tapi ada satu hal yang— dalam perspektif saya—tidak hanya sekadar menarik, tapi teramat penting untuk ditelusuri dan didalami. Dalam perjalanan jurnalistik ke Tanah Papua tahun 1998, saya mendapati fakta-fakta dan data yang seolah ‘telah ditelantarkan’ oleh sejarah. Muslim seolah langka di Tanah Papua. Sebab Papua selalu saja diidentikkan dengan Kristen atau missionaris, suku terasing, koteka dll
Sebenarnya itu hal yang mafhum. Sebagaimana jujur diakui, bahwa penulisan sejarah khususnya di Indonesia diawali oleh kalangan orientalis, yang sering di dalamnya mengandung muatan yang meminimalkan peran Islam.
Bersyukur oleh Allah SWT saya dipertemukan dengan Drs Kasibi Suwiryadi, seorang pemerhati sejarah Islam Papua di Jayapura, serta H.Ismail A.Bauw, SH(alm) tokoh asli Papua, anak H. Ibrahim Bauw, salah seorang Raja Rumbati Fak-fak, yang memberikan catatan berkas-berkas silsilah kerajaan Islam di Papua (namun saya masih punya ‘hutang’ belum silaturrahmi ke kepala burung kawasan tersebut khususnya Fak-fak), serta tokoh-tokoh Muslim lain baik kalangan pegawai, dosen, mahasiswa, politisi, serta jujur dakwah Muslim setempat.
Saya ‘berselancar’ menelusuri ke aneka sumber: Ada The Preaching of Islamnya Thomas Arnold, ada buku “Nieuw Guenea”-nya W.C. Klein, yang menceritakan, ”de Heer Pieterz maakte on 1664 eenwreks naar Onin. Indie raiswaren ook een aantal mensen uit Soematera, Waarin de Heer Abdul Ghafur betroken is” (Tuan Pieters pada tahun 1664 melakukan perjalanan ke Onin di mana ikut beberapa orang dari Sumatera, termasuk Abdul Ghafur) serta sejumlah buku lain versi Gereja dan aktifitas mereka di Tanah Papua(selengkapnya sejarah dan dakwah Islam di Papua, insya Allah dalam buku Papua saya yang kedua: Membongkar Fakta yang Tersembunyi yang merupakan kelengkapan dari buku yang pertama).
Saya semakin penasaran, mengapa ‘sekilas’ Papua begitu tertutup dan tak ada tempat bagi komunitas Muslim, padahal eksistensi mereka telah ada dan terlibat aktif dalam pembangunan kawasan Bumi Cenderawasih tersebut.
Bukti masjid-masjid, artefak, makam Muslim (dalam satu acara seminar tentang sejarah Islam di Papua, saya diberi sejumlah foto makam ulama Islam dan piring besar bertuliskan Allah dan Muhammad oleh Ketua Majelis Ulama kabupaten Sarmi, yang konon diperoleh dari kawasan itu), naskah kuno berbahasa Arab, dan perkampungan suku Muslim di Babo, Bintuni, Kaimana, Fak-fak, hingga suku-suku di kawasan Lembah Baliem, Jayawijaya.
Semakin ditelusuri semakin terbukalah bahwa, Penjajah Belanda telah membuat program satu paket jajahan dan ajaran —artinya ketika kaki mereka menginjakkan daerah jajahannya, seriring dengan itu hegemoni ‘kuasanya’ mencengkeram ke segenap aspek termasuk sosial religius. Lalu diikuti oleh pendeta-pendeta lain dari Australia, Amerika dll. Kita mengenalnya dengan semboyan 3 G: Gold, Glory dan Gospel—Emas, Kemenangan dan Injil). Dan di Tanah Papua program itu nyata dan berjalan simultan, sampai hari ini.
Bahwa kehadiran Islam lebih awal dari missionaries Missionaris, adalah hal yang tak terbantahkan. Bahkan kehadiran mereka difasilitasi oleh aparatur kesultanan yang notabene beragama Islam. (wawancara penulis dengan Ibrahim Mayalibit, salah seorang yang disebut memiliki garis keturunan dengan tokoh Muslim yang mengantar Ottow dan Geisler, dosen Sospol Uncen di Jayapura).
Dalam buku putih yang dikeluarkan oleh Pemerintah Propinsi Papua yang dikutip oleh Dr. Mohammad Abud Musaad dalam bukunya ‘Di Balik Bayang-Bayang Ancaman Disintegrasi’ sangat jelas disebutkan Islam adalah agama yang pertama hadir di kawasan tersebut.
Lambat tapi Terus Menggeliat
Secara faktual, meski kehadiran Islam di Tanah Papua lebih dulu dibandingkan dengan agama Missionaris, akan tetapi dari segi pertumbuhan, jumlah penganut Missionaris lebih cepat. Sebenarnya kalau dicermati secara baik, hal itu tidaklah mengherankan, dengan beberapa alasan:
Pertama, missi Missionaris ditopang oleh kekuatan penjajah (Belanda, Spanyol, Portugis) baik langsung maupun tidak langsung.
Kedua, secara organisasi Missionaris telah memiliki pengalaman pengelolaan jemaat yang tertib, dari luar .
Ketiga, semangat Perang Salib (Cruside) nampaknya memengaruhi misi Missionaris—hingga nampak mereka begitu agressif, khususnya di Papua, hal ini terlihat misalnya saat Ibrahim Bau, Raja Rumbati, bermaksud mendirikan Muhammadiyah di Fak-fak yang diusir dan dipenjarakan oleh Belanda. Demikian juga ketika Daeng Umar datang ke Fak-fak tahun 1930 diusir keluar dari Papua.
Keempat, dukungan dana dan fasilitas yang maksimal. Keluar masuknya dana terkait dengan mengembangan misi Missionaris ini nyaris tidak terkontrol. Secara sepintas, dengan banyaknya yayasan Missionaris baik dalam dan luar negeri, serta sarana dan prasarana missionaries di Papua, nyaris dapat dikatakan PAPUA MILIK MISSIONARIS/Asing. Bahkan untuk berbagai penyuluhan pihak pemerintah daerah kerap menggunakan jasa pesawat mereka.
Kelima, mereka kerap melakukan pengMissionarisan secara massal sekaligus dilanjutkan dengan pembinaan dan santunan bagi warga pedalaman-pedalaman.
Keenam, tunjangan yang sangat memadai bagi para missionaries menyangkut tunjangan rumah dinas, gaji, transportasi, keluarga, dan tunjangan-tunjangan lain.
Ketujuh, mereka memiliki mentalitas tempur di medan keras dan berat seperti Papua, sehingga tetap bertahan melakukan pembinaan terhadap masyarakat Papua. Mereka juga menghadapi malaria ganas.Ottow meninggal karena malaria pada tahun 1862, sedang Geissler disebutkan menderita borok bernanah pada kakinya yang tak kunjung sembuh dan penyakit tuberculosis, sebelum akhirnya meninggal dunia pada saat mengambil cuti dari aktivitas missi, di Jerman tahun 1870.
Bila dihitung dari pergerakkan awal agama ini (Missionaris) masuk ke Tanah Papua 5 Februari 1855, dengan minimal ditopang 7 poin di atas, maka sesungguhnya pergerakkan ‘syiarnya’ relative kurang signifikan. Peta pertumbuhannya barangkali tidak terlalu terpaut jauh dengan dakwah Islam yang dikelola secara alamiyah, katakanlah rentang tahun 1518M- 1900-an.
Sebaliknya dakwah Islam yang dalam pengelolaan juga masih cenderung lamban, tradisional, dan alamiah , serta diselimuti semacam beban kekhawatiran, ketakutan, ‘rasa minder’ yang tidak bisa dikatakan kecil(sampai saat ini)—walau di sana banyak pahlawan mujahid-mujahid dakwah yang pantang menyerah, pertumbuhan Islam, kini semakin signifikan hingga mencapai 600 ribu jiwa (warga pribumi dan pendatang).
Bahkan data yang terbaru ada yang menyebutkan mencapai angka di atas 900 ribu jiwa dari 2,5 juta penduduk. Memang, peningkatan populasi Muslim tidak 100% masyarakat pribumi, akan tetapi sulit disangkal kehadiran Muslim dan dai-dai yang berkiprah di bumi Cencerawasih ini, semakin mencerahkan dan meningkatkan jumlah masyarakat Muslim setempat/pribumi di sana.
Tokoh agama kadang ‘mengerem diri’ untuk menerima keislaman mereka karena ada rasa khawatir disalahartikan sebagai merebut keyakinan ke Islam. Padahal proses itu alami setelah interaksi dengan penduduk setempat yang lalu mereka memandang lebih pas dengan memeluk Islam(wawancara penulis dengan mantan anggota DPRD dan ketua MUI Jayawijaya KH Abu Yamin, alm)
Di bawah ini komposisi pupulasi penduduk di Papua berdasarkan agama yang dikeluarkan oleh kantor statistik propinsi di Jayapura dan Biro Pusat Statistik di Jakarta:
TAHUN Total Jmlh Penduduk Missionaris Protestan % Katolik % Islam % Lain-Lain %
1964 808,336 400,360 49.5 209,875 26.0 51,700 6.5 146,000 18.0
1975 991,537 619,067 62.4 289,614 29.2 65,435 6.6 17,421 1.8
1985 1,452,919 763,547 52.5 306,076 21.0 215,198 14.8 2,951 0.2
1991 1,744,946 998,406 57.2 401,405 23.0 340,632 19.5 4,458 0.3
1998 2,111,500 1,171,297 55.5 478,609 22.7 452,214 21.4 9,380 0.4
2002 2,288,410 1,235,670 54.0 543,030 23.7 498,329 21.4 11,672 0.5
2004* 2,516,284 1,503,124 59.7 422,126 16.7 583,628 23.1 7,406 0.3
* Data 2004 adalah data terakhir yang tersedia sebelum Papua dibagi menjadi dua propinsi: Propinsi Papua dan Propinsi Irian Jaya Barat. Katolik mengalami penurunan sebanyak 7%.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Di sinilah saya melihat peran penting dakwah yang dikembangkan oleh Al-Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN) yang dipimpin oleh Ustadz Fadzlan Garamatan. Tidak dapat disangkal sejumlah organisasi massa Islam dan lembaga dakwah di Tanah Air seperti Nahdlatul Ulama(NU), Muhammadiyah, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia(DDII), Hidayatullah, Al-Khairat, Jamaah Tabligh, Hizbutahrir, hingga Salafi dsb belakangan ini, telah menanamkan peran pentingnya masing-masing di Papua, akan tetapi AFKN dengan program-programnya yang ‘sangat Papua’, keistiqamahan dan ketekunan serta dikomandani oleh putra daerah setempat,menjadikan pencerapan terhadap kebutuhan dan ‘nafas’ masyarakat dapat ditangkap secara baik.
Saya melihat Ustadz Fadzlan dengan AFKN-nya memiliki ‘semangat tempur’ yang luar biasa potensial. Tidak mudah melawan ‘dominasi serba missionaris’ di Tanah Papua atau yang sering Ustadz Fadzlan dorong dengan nama Jazirah Nuu Waar, bila hanya dengan mental standar(saya ucapkan selamat atas menyematan gelar Tokoh Perubahan 2010 oleh Harian Republika di antara sejumlah orang kepada Ustadz Fadzlan Garamatan). Walhasil ribuan penduduk berhasil dikembalikan kepangkuan Islam, dan bukan hanya itu, tapi terus disantuni aspek social, material, dan spriritualnya.
Ustadz Fadzlan nampak telah membangun jembatan komunikasi yang sangat efektif antara Jakarta-Papua hingga terbangun program dua arah: membuka kran dukungan/partisipasi dakwah dari para aghniya, sekaligus memberikan penyantunan kepada para muallaf dan mustadzafin di Tanah Papua.
Saya pun sepakat bahwa misi dakwah Islam itu elegan dan damai. Ini sangat pas dengan semangat menjadikan Papua Sebagai Kawasan Damai untuk berbagai macam kelompok/kalangan. Dan begitulah sesungguhnya wajah dan jatidiri warga Papua yang cinta damai dan cinta persatuan, NKRI khususnya.
Maka ke depan persatuan, kekompakkan dari seluruh kaum Muslimin menjadi penting. Kesatuan ini bisa antar institusi, antar suku, antar organisasi, antar lembaga dakwah dsb yang berkiprah di Tanah Harapan Papua. Ada Yapis yang meramu ‘dua hati’ antara NU-Muhammadiyah sehingga dapat melahirkan sekolah-sekolah yang diperhitungkan ke 2 setelah sekolah Kristus Raja di Papua.
Ada Majelis Muslim Papua(MMP) yang barangkali bisa disandingkan program-programnya dengan AFKN, misalnya, sehingga menjadi kekuatan yang saling sinergis satu sama lain dan tidak dipecah oleh pihak luar. Demikian pula kekompakkan antar lembaga dakwah yang ada di sana.
Bila itu terjadi, maka sangat tidak mustahil kita akan menyaksikan pertumbuhan dan perkembangan dakwah yang ‘lebih dinamis’, serta munculnya daya dukung yang lebih optial ke sana. Tidak mustahil pula akan lebih ‘berbondong-bondong’ lagi kembalinya saudara kita ke pangkuan Islam dari kalangan warga setempat, sekaligus mengembalikan kegemilangan sejarah Islam di bumi Jabbal An Nuu Waar, Papua. Allahumma Amin.*
Penulis adalah wartawan dan penulis buku “Islam Atau Kristen Agama Orang Irian (Papua)”, kini tinggal Sidoarjo Jawa Timur