oleh: Sholih Hasyim
Hidayatullah | DINUL ISLAM adalah ummun ni’am (induk kenikmatan). Karena, hanya diberikan kepada hamba yang dicintai-Nya. Sedangkan mata’ud dunya (kesenangan yang dekat, sesaat) diberikan kepada siapa saja tanpa pandang bulu. Baik hamba-Nya itu kafir atau mukmin. Baik yang taat ataupun yang durhaka.
Berbeda dengan agama lain, di samping Islam sebagai agama juga sebagai peradaban. Secara historis telah membuktikan statemen di atas.
Perkembangan dunia modern juga menjadi penguat bahwa Islam memiliki potensi untuk membangun, memurnikan, memartabatkan, memimpin peradaban. Tulisan ini mencoba memberikan titik tekan bahwa di samping Islam mengatur secara apik hubungan vertikal (hablun minallah) dan horizontal (hablum minannas).
Memadukan potensi ruhiyah, rupiah, duniawiyah dan ukhrawiyah, ibadah qalbiyah, lisaniyah dan ‘amaliyyah jasadiyah sekaligus. Jadi, Islam adalah din (agama) dan tamaddun (peradaban).
Islam Sebagai Din
Jika merujuk perkataan Arab din (dal, yak, nun) sudah menggambarkan tentang sistem kehidupan. Din, dayn, idanah, dayyan, memiliki makna yang saling terkait, menyiratkan makna peradaban.
Yakni, ketaatan, berhutang kepada Allah SWT, susunan hukum, komposisi kekuasaan, kemunitas yang merindukan pemimpin yang adil. Antara din (ketaatan) dan dayn (berhutang), merupakan satu kesatuan.
Tidak dapat dipungkiri, manusia berhutang budi kepada Allah SWT secara totalitas. Kehadirannya di muka bumi ini, pemeliharaan-Nya atas eksistensi dirinya, diberinya rizki, adalah fasilitas kehidupan yang tiada taranya.
يٰۤاَيُّهَا الۡاِنۡسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الۡكَرِيۡمِ
الَّذِىۡ خَلَقَكَ فَسَوّٰٮكَ فَعَدَلَـكَ
فِىۡۤ اَىِّ صُوۡرَةٍ مَّا شَآءَ رَكَّبَكَؕ
“Wahai manusia. Mengapa kamu kafir (terpedaya) kepada Tuhanmu yang Maha Pemurah. Tuhan yang telah menciptakan kamu, kemudian menyempurnakan kejadianmu, dan menjadikan kamu tegak. Dalam bentuk yang Allah kehendaki.” (QS: Al Infithar (82) : 6-8).
الَّذِىۡ خَلَقَنِىۡ فَهُوَ يَهۡدِيۡنِۙ
وَ الَّذِىۡ هُوَ يُطۡعِمُنِىۡ وَيَسۡقِيۡنِۙ
وَاِذَا مَرِضۡتُ فَهُوَ يَشۡفِيۡنِ ۙ
وَالَّذِىۡ يُمِيۡتُنِىۡ ثُمَّ يُحۡيِيۡنِۙ
“Tuhan yang telah menciptakan aku. Tuhan yang telah memberikan petunjuk kepadaku. Dan Tuhan yang telah memberikan makan dan minum kepadaku. Ketika aku sakit Tuhankulah yang menyembuhkan aku. Dan Tuhankulah yang mematikan aku, kemudian kelak akan menghidupan aku kembali.” (QS: Asy Syu’ara (26) : 78-80).
كَيْفَ تَكْفُرُوْنَ بِاللّٰهِ وَكُنْتُمْ اَمْوَاتًا فَاَحْيَاكُمْۚ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ ثُمَّ اِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
“Wahai manusia, mengapa kalian ingkar kepada Allah? Padahal semula kalian tidak ada, lalu Allah ciptakan kalian bernyawa. Kemudian Allah mematikan kalian, lalu menghidupkan kalian kembali. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah (2) : 28).
Disebabkan hutang yang tiada taranya, manusia tidak mampu membayarnya. Kecuali apabila diri manusia itu dikembalikan kepada pemilik-Nya. Sekalipun demikian, tidak akan terbayarkan seluruhnya.
Tetapi, pengembalian diri itu adalah jalan yang terdekat /paling mungkin untuk membayar hutang itu. Dengan kata lain, untuk membayar hutang itu manusia mengembalikan dan memulangkan dirinya kepada yang menguasai alam ini.
Proses pengembalian dan pemulangan diri inilah dikenal dengan din. Sebagaimana istilah hujan menggunakan kata Ar Raj’i (kembali) yang terdapat pada Surat 86 ayat 11.
Umumnya, manusia berhutang, maka ia akan merugi. Menghutangi sebanding dengan memberikan sedekah setengahnya. Dengan pengembalian dan pemulangan diri kepada Al Malik (berkhidmat), sebagai cara tidak saja menutup kerugian, pula mendatangkan keuntungan.
Sebagaimana ungkapan berikut
ُمَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّه
Man arafa nafsahu arafa rabbahu.
“Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”
Barangsiapa yang memperhambakan dirinya, maka dia akan beruntung. Orang yang cerdas adalah orang yang memperhambakan dirinya dan beramal untuk sesudah mati.
Dengan mengembalikan dan memulangkan diri kepada Al Khalik, dengan jalan takwa. Yaitu selalu menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, selalu ingat kepada Allah dan tidak melupakan-Nya, selalu mensyukuri nikmat Allah dan tidak mengkufuri-Nya, selalu taat kepada Allah dan tidak mendurhakai-Nya, yang semula manusia itu rugi akan mendapatkan balasan yang berlipat ganda, yang tidak saja menutup kerugiannya, pula memperoleh keuntungan yang besar dari keberadaannya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Berdasarkan uraian di atas maka salah satu makna din yang paling fundamental adalah cara pengembalian dan pemulangan diri kepada Pemiliknya. Jadi, din adalah makna beragama yang lebih tepat. Din dan aslama (penyerahan diri) memiliki makna yang beririsan. Hal ini dapat dilihat dari firman Allah SWT berikut:
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَٱتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَٰهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَٱتَّخَذَ ٱللَّهُ إِبْرَٰهِيمَ خَلِيلًا
“Siapakah yang lebih baik agamanya (din) dari pada orang yang tulus menyerahkan dirinya (aslama) kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti ajaran (millah) ibrahim yang lurus.” (QS: An Nisa (4) : 125).
Di samping itu, jika merujuk kepada pendapat Dr. Ahmad Amin, Islam sesungguhnya memiliki kata turunan (derivat) yang melukiskan makna peradaban. Kata turunan Islam adalah salim (ikhlas) – prinsip akidah – , taslim (tunduk lahir dan batin) – prinsip ibadah, – silm (damai) – prinsip pergaulan -, salam (sejahtera) – prinsip ekonomi -, salima (selamat) – prinsip jalan hidup -, salamah (menyelamatkan lingkungan) – prinsip membumikan islam dalam lingkungan sosial -, sullam (tangga) – metode dakwah.*
Anggota Dewan Murabbi Pusat Hidayatullah