RABU (01/01/2020), bakda shalat subuh, penulis mencoba melihat kondisi banjir melalui media sosial. Ada banyak komentar menggelitik. Sebagian ada yang insaf bahwa ini adalah ujian akibat ulah tangan manusia sendiri yang tak peduli dengan kebersihan.
Sebagian yang lain –dan lebih dominan– lebih suka mencari kambing hitam daripada evaluasi diri. Ada yang menyalahkan hujan sebagai biang keladi banjir. Bahkan, tak sedikit mengaitkan peristiwa banjir dengan ketidakbecusan Gubernur Jakarta dalam mengelola Jakarta. Sehingga tak jarang yang mention akun resmi beliau.
Dalam paradigma Islam, tidak ada yang namanya menyalahkan hujan. Hujan sendiri hanya menjalankan sunnatullah. Ia pun tidak ujug-ujug turun sebagaimana gambaran ilmiah saintifik.
Ada malaikat yang ditugasi untuk menurunkan hujan. Seperti Mikail. Sabda Nabi dalam riwayat Ahmad:
مِيكَائِيلَ الَّذِي يَنْزِلُ بِالرَّحْمَةِ وَالنَّبَاتِ وَالْقَطْرِ
“Malaikat itu adalah Mikail yang turun membawa rahmat, mengatur tumbuhan dan hujan.” Tak berlebihan jika dikatakan: bagi mukmin, di setiap tetes hujan ada malaikat yang ditugaskan Allah untuk mengaturnya.
Dalam Al-Qur`an (Ar-Ra’du [13]: 13) disebutkan bahwa secara umum malaikat bertasbih saat terjadi hujan dan guruh. Yang menunjukkan rasa takut mereka kepada Allah.
Saat kaum Luth mau disiksa dengan hujan batu, ada malaikat khusus yang ditugaskan untuk melaksanakannya. Ini semua menunjukkan perkara hujan hingga banjir dalam Islam tak melulu soal hujan sebagai fenomena alam biasa.
Dengan sudut pandang ini, hujan bisa menjadi rahmat sehingga menimbulkan manfaat. Terkadang juga menimbulkan bahaya yang bisa merupakan ujian, teguran bahkan siksaan.
Selain itu, Al-Qur`an memberi gambaran umum bahwa kerusakan yang terjadi akibat ulah manusia, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum [30]: 41)
Bila ini dijadikan acuan, maka orang yang tertimpa banjir tidak gampang menuduh pihak tertentu menjadi biang keladinya. Karena, kalau diperhatikan, terutama di Jakarta, problem banjir dihadapi oleh gubernur dari masa ke masa bahkan jauh sebelum kedatangan kolonial Belanda.
Dalam buku “Banjir Jakarta” karya Zaenuddin HM (2013: 11) disebutkan bahwa fenomena banjir di Jakarta sudah terjadi sejak Kerajaan Tarumanagara yang kala itu dipimpin oleh Raja Purnawarman pada abad kelima masehi. Buktinya, tertulis dalam Prasasti Tugu yang pada tahun 1878 ditemukan di Jakarta Utara.
Kembali ke paradigma Islam. Nabi dengan para Sahabat, setiap kali mengalami musibah, tidak pernah menyalahkan pihak lain. Yang mereka lihat justru diri mereka sendiri. Jangan-jangan itu akibat ulah dari kekhilafan, kealpaan, kesalahan atau bahkan maksiat yang dilakukan pribadi.
Hujan hanya menjalankan sunnatullah. Kalau sampai terjadi banjir, berarti ada hal yang tidak beres yang dilakukan manusia kepada lingkungannya.
Kita ambil contoh misalnya persoalan sampah. Menurut Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapelda) tahun 2000, di Jakarta masyarakat menghasilkan sampah sebanyak 25.700 meter kubik per hari. Bagaimana dengan tahun ini yang jumlah penduduknya kian bertambah?
Data yang dikeluarkan oleh Dinas Kebersihan DKI Jakarta pada sekitar tahun 2009 juga cukup mencengangkan. Produksi sampah per hari di Jakarta mencapai 29,364 meter kubik. Ini setara dengan 6.525 ton. Kalau per minggu jadi 45.675 ton. Kalau per bulan jadi 195.750 ton; dan per tahun menjadi 2.381.625 ton. Bagaimana dengan kondisi saat ini yang penduduknya kian bertambah?
Bayangkan jika saluran air yang semestinya menjadi jalan bagi air saat turun hujan kemudian terhalang oleh berton-ton sampah. Pasti akan terjadi penyimpangan air dari sunnatullah. Ini baru kasus sampah. Bagaimana dengan kerusakan lingkungan lain yang dibuat manusia yang turut berpartisipasi menyebabkan banjir?
Baca: Jangan Kutuk Hujan, Tapi Perbaikilah Diri Sendiri!
Dakwah Media BCA - Green
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Persoalan banjir Jakarta adalah persoalan kolektif. Jadi tidak arif ketika terjadi yang dijadikan kambing hitam hanya hujan, pemimpin atau pihak tertentu. Banjir di Jakarta, sehebat apapun pemimimpinnya jika, cara pandangnya hanya mencari biang keladi, tidak akan teratasi.
Mari tidak menyalahkan hujan; tidak menuduh pihak tertentu akibat banjir; bersama-sama (rakyat dan pemimpin) saling insaf dan evaluasi diri serta mencari solusi serta berdoa kepada Allah; semoga hujan-hujan selanjutnya akan memberikan manfaat kepada manusia. Sebagaimana doa:
اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا
“Ya Allah! Anugerahkanlah hujan yang bermanfaat.” (HR. Bukhari) Atau kalau dalam kondisi hujan lebat tak kunjung reda, bisa mengucapkan:
اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا ، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالظِّرَابِ ، وَبُطُونِ الأَوْدِيَةِ ، وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ
“Ya Allah (turunkan) di sekitar kami dan tidak menjadi bencana bagi kami, Ya Allah (mohon perhatikan) perbukitan, pegunungan, lembah-lembah dan hutan-hutan.” (HR. Bukhari)* Mahmud Budi Setiawan